MOJOK.CO – Sony Xperia C5 Ultra adalah hape paling memorable di benak saya. Namun, hape ini tak berusia panjang karena tergusur perkembangan software.
Sony adalah brand yang keren, saya akui. Walau tiga tahun terakhir saya menggunakan Xiaomi, saya pernah menggunakan dua smartphone keluaran Sony, menyisakan kenangan Sony Xperia C5 Ultra di hati saya.
Kisah pertemuan dengan Sony Xperia C5 Ultra ini berawal dari wafatnya BlackBerry Gemini saya pada 2014. Dari BB, saya memutuskan membeli Android pertama. Pilihan itu jatuh Sony Xperia M1. Sebetulnya waktu itu saya punya dua pilihan, Sony atau Samsung Galaxy Core I8260. Namun, Sony lebih menggiurkan buat saya karena terkesan edgy banget. Memakai Sony bikin saya bangga dan merasa jadi orang paling anti-mainstream. Padahal kalau ditilik dari spesifikasinya, dua hape itu nggak beda jauh. Bahkan si Samsung lebih murah ketimbang Sony.
Tetapi masa bakti si Sony Xperia M1 itu hanya berlangsung dua tahun. Gara-garanya, saya secara sengaja me-root hape ini cuma karena bosan dengan UI-nya yang gitu-gitu aja. Selidik punya selidik, dari sejumlah informasi di forum pengguna Sony dan Android, rupanya kebanyakan smartphone Sony memang kurang friendly buat para developer alias nggak luwes diotak-atik.
Tewasnya smartphone kece itu membawa kekecewaan sekaligus pelajaran berharga: hasrat ngotak-ngatik hape langsung padam. Saat itu momen yang berat karena saya harus turun standar, beralih menggunakan smartphone entry level Lenovo harga satu jutaan gegara kondisi mendesak.
Perlahan, saya menikmati diri menjadi pengguna Lenovo Vibe P1M dan merawatnya seapik mungkin. Tapi momen tak terduga tiba-tiba datang. Abang saya hendak menjual Sony Xperia C5 Ultra dan beralih memakai Samsung Galaxy S6 edge+. Alasannya, memori internal Sony Xperia C5 Ultra itu terlalu kecil buat ukuran fotografer.
Untungnya, Sony abang saya tidak laku-laku. Kebanyakan calon pembeli tidak begitu berminat pada smartphone kelas mid-range ke atas pada zamannya. Abang saya menyerah menjualnya dan meneruskan hape itu kepada saya. Si Lenovo lalu saya oper buat Ibu di rumah. Meski secara teknis saya adalah pengguna barang bekas, rasa bangga saya kembali menyeruak. Tangan saya kepalkan untuk menepuk bahu, “Penggemar Sony nich!”
Tentu saja rasanya senang. Dibanding Sony Xperia M1, hape baru tapi bekas ini punya spesifikasinya lebih baik. RAM Xperia M1 sebesar 1 GB, sementara Xperia C5 Ultra punya 2 GB. Memori internalnya 4 GB vs 16 GB. Baterainya juga beda sekali, 1750 mAh vs 2930 mAh. Tak hanya itu, Xperia C5 Ultra juga punya kamera yang ciamik abis dengan resolusi 13 MP dan mampu merekam video hingga 1080 p/30 fps disertai fitur NFC yang masih jarang pada masa itu.
Walaupun ukurannya lebar hingga 6 inci, namun panel layarnya sudah menggunakan panel IPS dan dibalut anti-gores. Artinya, warna Xperia C5 Ultra ini sudah memanjakan mata dengan kualitas foto brilian di kelasnya. Kualitas audionya pun jauh lebih menggelegar dibanding Xperia generasi sebelumnya, dengan earphone khas Sony yang emang terbaik.
Sony Xperia C5 Ultra juga ditenagai MediaTek MT6752 sehingga punya performa oke buat urusan multitasking. Untuk menunjang aktivitas hiburan seperti menonton film, menikmati musik, dan fotografi, saya menambahkan memori eksternal biar nggak memakan memori internal yang pas-pasan. Hasil jepretan dan kualitas audio yang mumpuni kerap bikin saya asyik sendiri.
Berbekal pengalaman pahit, alarm peringatan di dalam kepala saya berbunyi nyaring, “Nggak usah sok-sok ngoprek lu, ntar jebol lagi!” Berhubung Xperia C5 Ultra ini adalah barang idaman, saya bertekat merawatnya seapik mungkin.
***
Masalah mulai muncul di pengujung tahun pertama. Seiring update aplikasi yang menghadirkan fitur-fitur terbaru, Xperia C5 Ultra ini mulai kewalahan. Ini kekurangan Xperia C5 Ultra yang tidak saya sangka, dan terus bertambah parah dari hari ke hari. Hape saya jadi berat, meskipun tidak banyak meng-install aplikasi. Alhasil, tiap beberapa bulan sekali hape harus rajin di-reset biar performanya mulus.
Saya sih masih bisa berkompromi dengan kekurangan satu ini. Tapi masalah nggak berhenti sampai situ. Xperia C5 Ultra ini jadi makin sering kepanasan, bahkan ketika diajak multitasking ringan, seperti chatting, nonton YouTube, dan scroll Instagram. Si Xperia kerap crash saat berpindah-pindah aplikasi dan membuat kepala saya pusing bukan main.
Hal yang lebih menyebalkan terjadi saat saya magang sebagai reporter dan harus merekam wawancara atau memotret. Suhu si Xperia C5 Ultra sering kali panas di tingkatan yang nggak wajar, seakan-akan habis digunakan main game berjam-jam. Daya tahan baterainya jadi menurun hingga akhirnya soak sama sekali.
Permasalahan itu membawa saya pada suatu dilema yang menyiksa. Hape ini seperti hidup segan mati tak mau. Mahalnya harga baterai Xperia C5 Ultra dan kelangkaan stok yang melanda membuat kepala saya tambah pening. Pasalnya, harga baterai Xperia C5 Ultra hampir setara smartphone entry level terbaru asal Tiongkok. Sementara keuangan saya juga memprihatinkan.
Segala daya dan upaya merawat smartphone idaman ini akhirnya berujung perpisahan. Rupanya sulit sekali menyeimbangkan keinginan ponsel canggih dengan dana terbatas. Dan demikianlah awal mula kisah saya menjadi pengguna Xiaomi sampai sekarang.
BACA JUGA Pindah dari Android ke iOS Adalah Keputusan yang Saya Sesali dan tulisan Muhammad Yusuf lainnya.
Penulis: Muhammad Yusuf
Editor: Prima Sulistya