Tanya
Salam kenal Om Haryo, saya seorang mahasiswa yang punya masalah dengan manajemen keuangan. Saya boros, Om. Padahal, uang saku saya sebulan dua juta, kadang lebih. Sering juga saya mendapat uang hasil jadi asisten dosen atau jadi moderator di acara-acara kampus. Tapi, entah kenapa saya nggak pernah bisa mengatur pengeluaran.
Kira-kira ini yang jadi masalah saya, Om. Pertama, saya itu orangnya nggak enakan. Kalau ada teman mau pinjam uang, pasti saya kasih. Atau kalau saya sedang dapat uang, entah hasil jadi asisten dosen maupun moderator, pasti sebagian besar saya pakai buat mentraktir teman. Soalnya, kata Bapak saya jadi orang itu nggak usah kedunyan (terlalu memikirkan hal duniawi).
Kedua, setiap jalan ke cafe atau tempat makan bersama pacar, saya selalu nggak tega kalau dia harus membayar sendiri. Jadi, ya saya traktir. Kalau dia minta baju atau sepatu, saya juga nggak bisa menolak. Sudah saya niatkan untuk menolak, tapi pas berhadapan sama dia, selalu saja niat saya runtuh seketika.
Ketiga, kalau di awal bulan, saya suka berpikir “Ah, belanja dulu deh, mumpung uang masih banyak.” Boleh dibilang saya merasa aman secara keuangan kalau sedang awal bulan atau dapat uang-uang kerja sampingan. Akibatnya, saya jadi jarang mikir panjang kalau beli sesuatu. Begitu sadar, uang saya sudah habis.
Saya bingung, saya ingin berhemat dan menabung, Om. Saya sudah mencoba berbagai cara, mulai dari membeli rice cooker agar bisa masak nasi sendiri, sampai membeli banyak kopi harapannya supaya nggak akan sering ngopi di kedai. Tapi, semua itu sia-sia. Sampai sekarang saya masih boros. Saya masih suka tergoda untuk membeli banyak barang dan tetap nggak enakan, entah dengan teman maupun pacar.
Pertanyaan saya adalah, apa yang harus saya lakukan supaya bisa memperbaiki manajemen keuangan saya Om? Soalnya saya ingin sekali jadi mahasiswa yang rajin menabung. Semoga Om Haryo punya solusi untuk memecahkan masalah-masalah saya tersebut.
Terima kasih banyak. Om.
Jawab
Halo Mas Mahasiswa tajir yang saking sosialnya sampai nggak bisa nabung,
Om tidak sedang nyinyir, tetapi mangkel sekaligus iri. 2 juta bukanlah angka yang kecil! Untuk mahasiswa di luar kota Jakarta, angka sebesar itu sudah memenuhi syarat disebut mahasiswa yang tidak saja kaya tetapi juga sejahtera. Apalagi itu judulnya uang saku; kos sudah ditanggung orang tua, buku ada anggaran tersendiri, kalau sumuk kamarnya ada AC. Itu belum kalau mamamu trenyuh dengan kondisimu di perantauan.
“Pah, sama anak sendiri mbok ya jangan pelit. Masa 2 juta doang per bulan. Itu cuma seharga mama beli bawang merah, cabe dan pete”
Si Papah yang baru mendarat dari kantor perusahaan minyak ternama menjawab, “Halah, Papah ini kan dulu juga sebulan cuma dapat kiriman kalau nilai sekarang sekitar 500 ribu per bulan doang, Ma. 2 juta dah lebih dari cukup!”
“Papah…! Ih sebel deh. Apa salahnya nambahin uang saku, toh kondisi kita sudah berlebih”
“Mah, masa lupa. Dulu Papah tuh termasuk mahasiswa kéré. Mamah tetep cinta mati ama Papah, ampe ngejar-ngejar”
“Ihhh Papah… cubit nih cubit. Bikin gemess!”
Si Mamah melirik manja pura-pura marah, sementara rumah tengah sepi dan di luar hujan tengah lebat-lebatnya. Hadehh… stop stop stop. Ini forum konsultasi keuangan kok malah Om malah jadi terbawa suasana romantisme berkeluarga.
Hingga tahun 1990an, masa dimana beberapa universitas negeri favorit belum berubah status menjadi BHMN dan kemudian seperti sekarang ini, PTN Badan Hukum. Pemandangan mahasiswa kéré di kampus bisa dikatakan melimpah ruah. Kalau siang muka-muka pucat kurang makan tapi tidak kurang air mudah ditemui.
Serius. Itu masa dimana orang kismin masih berani memelihara harapan untuk mengubah nasibnya melalui pendidikan. Masa dimana orangtua para mahasiwa yang berprofesi guru belum sesejahtera saat ini, masa dimana yang berprofesi petani nasibnya sama aja dengan sekarang.
Saat itu tidak sedikit mahasiswa yang lebih banyak puasa sunah karena alasan ngirit dibanding karena perintah agama. Eh, jangan dikira om melakukan penistaan agama ya. Variasi uang sakunya pun kalau dinilai dengan uang sekarang 200 ribu – 2 jutaan per bulan. Belum jadi menteri urusan ekonomi, mereka telah terampil mengimplementasikan kebijakan uang ketat (tight money policy).
Itu juga masa dimana orang tua mahasiswa non perantau seperti orang tua Om cepat memindai tampang lapar mahasiswa perantauan ketika sedang menyambangi anaknya dengan alasan mengerjakan tugas dan segala alasan lain yang kalau ditelisik sampai sanubari terdalam berharap ditawari makan.
Problem tiap jaman sebenarnya proporsional. Dengan nilai uang yang sama, kalau dipikir-pikir tantangan mahasiswa yang memiliki uang 2 juta dimasa lalu tidak akan seberat mahasiswa saat ini. Lha iya apa beratnya hidup di masa jajanan paling hits cuma burger? Jaman dimana coffeshop belum menjamur seperti saat ini serta lebih cocok jadi tempat nongkrong om-om atau kawula tua. Seandainya pacar ngajakin makan pun tidak membahayakan dan juga tidak mengagetkan.
“Sayang… yuk nanti malem nyobain warung mie ayam depan Hotel Santika. Rameee kayaknya enak”
Itu pacar apa Sopir truk ya? Cepat mengambil kesimpulan kalau makan di tempat yang rame pengunjungnya pasti enak. Kalau permintaannya kaya gitu ya tidak terlalu berat. Di dompet bawa uang 50 ribu sudah serasa 5 juta. Nah kalau pacar jaman sekarang ngajakin makan malam situasinya akan penuh ketidakpastian.
“Hon.. ntar sore abis ngampus mampir coffeeshop yang baru itu yuk”
Dituruti bakal cepat merontokkan dompet, ditolak kok tidak tahan membayangkan asyiknya duduk berduaan sambal membicarakan masa depan yang belum tentu cerah.
Baru mau rebahan karena cekot-cekot habis setor uang ke pengusaha café yang minumannya tidak seenak bikinan sendiri, eh kok ada pesan menyelusup masuk ke gawai kita.
“Bro, udah ngerjain tugas dari Pak Mahfud belum? Kita ngerjain di Café Duyung Yuk. Tapi ntar traktir dulu ya. Bokek nih, besok gantian deh”
Modarrr nggak tuh? Kalau jaman belum ada WhatsApp kita bisa pura-pura pingsan atau sesak nafas. Lha ini pingsan di WhatsApp bagaimana caranya? Ini bukan soal kita memikirkan kadunyan atau tidak seperti katamu. Tetapi soal tegas pada diri sendiri. Kalau nggak bisa sementara uang mepet?
Itu heart rate bisa tembus 170/min deg-degannya. Ga beda kaya kalo Om waktu ngegym lari 5 km lanjut push up. Iya kalau tempat ngopi kelas berdua cukup nyiapin 50 ribu. Lha kalau bablas sampai 200 ribu? Sekali masuk warung menggerogoti 10% keuangan kita. Jangan salah ya, ini bukan perkara matre atau tidak. Tetapi memang kita sudah masuk babak selanjutnya dari budaya konsumerisme. Babak baru dengan slogan “jajan kok milih yang murahan”.
Nah sekarang kita kalkulasi “penghasilanmu” per bulan. Ini penting untuk mengetahui kemampuanmu dalam menabung, sementara kalau kemampuan pengeluaran nggak perlu dihitung. Ngabisin duwit itu memang paling enak dan gampang. Kalau dari ilustrasimu, kiriman dari orang tua minimal 2 juta. Sementara penghasilan sebagai asisten dosen dan pekerjaan sampingan lain paling sedikit 500 ribu per bulan.
Dengan penghasilan sebesar 2,5 juta rupiah, seharusnya kamu dapat menyisihkan uang untuk ditabung sebesar 500 ribu rupiah (20%). Ingat ya pake metode tabung paksa, bisa dengan rekening khusus penampungan tanpa menggunakan atm atau di rekening yang ada atm-nya sekalian latihan disiplin untuk tidak colak colek. Tabungan lebih difungsikan untuk dana darurat dan membuka mata bahwa kamu sebenarnya dapat hidup layak dengan jumlah kurang dari itu.
Om paham, bisa jadi penghasilanmu riil antara 3-5 juta. Tetapi mari kita coba jembreng lembar demi lembar bagaimana dengan uang 1,75-2 juta kamu masih bisa hidup nggaya, tidak kekurangan uang di akhir bulan dan jiwa sosialmu tersalurkan. Pernah mencoba menghitung pengeluaranmu terkait itu? Berapa biaya sekali jalan dengan pacar atau teman? Berapa kali frekuensinya?
Hal pertama yang harus kamu lakukan identifikasi kebutuhan dan keinginan. Kalau dari paparanmu, pos terbesar pengeluaranmu itu justru di gaya hidup baru kemudian kebutuhan sehari-hari. Ngafe itu derajatnya lebih berat ke keinginan, tetapi sebagai makhluk sosial kamu juga membutuhkan. Informasi tersebut penting untuk tidak mencerabutmu dari lingkungan sosialmu. Berita baiknya kamu sudah paham kelemahanmu tetapi memang salah menerapkan solusinya.
Berhemat itu solusinya bukan dengan memiliki rice cooker, beli sekian kilo biji kopi, atau serenteng kopi kaya di warmindo. Maksudnya jangan karena boros mengikuti gaya hidup terus menekan kebutuhan keseharian yang tak kalah pentingnya. Bagi mahasiswa lain yang kekurangan, cara mereka melakukan survival bisa jadi gila tapi dapat dimaklumi, sehari satu bungkus mie instan. Tetapi kamu kan tidak menghadapi situasi segawat itu?
Nah, sekarang langkah-langkah konkritnya bagaimana?
1. Batasi Pengeluaran
Pengeluaran untuk hangout maksimal 500 ribu per bulan, frekuensi terserah saja ngaturnya karena tidak jarang kita mendapatkan undangan teman. Apakah cukup? Ya dicukup-cukupin! Bisa mengurangi frekuensinya atau menurunkan kelas tempatnya tanpa mengorbankan kualitas hubungan. Anggaplah itu investasimu untuk memelihara hubungan
2. Tegas
Mulailah belajar tegas. Sudah bukan jamannya cowok harus traktir cewek karena gengsi atau menganut prinsip atas nama kepantasan dan sopan santun. Kurang sopan santun itu kalau perempuan ngangkat galon sementara ada kamu di situ cuma ngeliatin. Kalau urusan traktir mentraktir, uang tidak lagi mengenal gender. Bisa saweran atau gantian bayarnya. Itu akan lebih menyehatkan kondisi keuanganmu.
Kalau tidak berani tegas kamu akan selalu dihantui ketertekanan. Dalam hati ngomel kok pacarku tidak pengertian, kok temenku enak saja ngajakin ngopi. Padahal itu semua berawal dari kebiasaanmu menanggung pengeluaran mereka. Apa salah kalau akhirnya mereka menganggapmu berlebih dan mulai menyingkirkan rasa sungkan?
3. Mengoptimalkan pengeluaran
Kalau ritme hidupmu sudah nyaman dengan biaya ngafe 500 ribu dan uang makan 1,5 juta, baru itu yang namanya rice cooker akan lebih menyejahterakanmu. Kebutuhan nutrisi yang dapat dibeli dengan 50 ribu sudah lebih dari cukup. Pagi sarapan buah, siang beli gado-gado, malam nasi putih dengan sayuran tanpa lauk atau daging dengan sauran tanpa nasi.
Ini bonus konsultasi aja. Sebagai Bapak Diet Indonesia tidak akan memaafkan diri Om kalau sampai memberikan cara hidup irit tanpa gizi. Bagaimana cara hidup irit tanpa meninggalkan asupan nutrisi yang ada di banyak superfood murah, itu yang harus terus diupayakan.
Dengan pola makan baru, paling tidak akan ada tambahan uang penghematan sebesar 100-150 ribu per bulan. Sebagai calon intelektual dan agen perubahan, manfaatkan! Belanjakanlah untuk buku. Sebenarnya lebih keren dapat terus membeli buku dibandingkan secara khusus menganggarkan lebih untuk sekedar dolan.
Terakhir soal pacar, banyak mahasiswa yang selama ini salah arah. Ingat, pacarmu itu seperti halnya kamu. Sama-sama masih mengandalkan orang tua sebagai donor utama. Tidak ada dalil dalam kitab suci percintaan terbitan manapun yang merentang masa ribuan tahun yang berbunyi, “Sesungguhnya setiap mahasiswa tanpa terkecuali diwajibkan menanggung hidup pacar-pacarnya sampai pernikahan tiba ”.