MOJOK.CO – Gara-gara sistem pendidikan kita yang masih acak adul, kita harus ikut bimbel mahal karena hasil belajar di sekolah dianggap belum cukup untuk masuk PTN.
Sahabat Celenger yang peduli politik tapi kurang peduli pendidikan,
Bisa jadi sebagian milenial di tahun terakhir sekolah menengah saat ini tidak memusingkan pilpres sama sekali. Banyak dari mereka yang lebih memusatkan pikirannya untuk mempersiapkan “hajat besar tahunan”, ujian nasional untuk menentukan kelulusan dan ujian masuk perguruan tinggi negeri (PTN) untuk jenjang pendidikan tinggi. PTN sampai sejauh ini masih dianggap jalan menuju kesuksesan.
Beberapa waktu ini timeline kita diguncang peristiwa yang lumayan bermutu. Sudah pasti bukan peristiwa “Luna yang berusaha, Syahrini yang memanen”, tetapi tentang kegalauan salah satu permata milenial Indonesia, Maudya Ayunda, yang bingung memilih hendak meneruskan pendidikan pascasarjananya di Harvard ataukah Stanford.
Bayangkan, itu terjadi di saat kalian masih berdebat remeh, apakah sebaiknya makan soto nasinya dicampur atau dipisah, lebih afdol berasesoriskan kerupuk atau tempe mendoan, dan tempe mendoannya sebaiknya yang crispy apa yang melambai.
Hebatnya Momod, apa yang diraihnya merupakan buah konsistensi. Di pendidikan S1, dia sudah berhasil menembus salah satu universitas bergengsi di Inggris, Oxford. Sama halnya dengan Cinta Laura, saat kuliah S1 sudah sukses menembus salah satu universitas ivy league julukan untuk 5 besar unversitas bergengsi di Amerika Serikat yang untuk masuknya pun sudah kebayang susahnya.
Bentuk soal ujiannya bagaimana, tingkat kesulitannya seperti apa, belum kendala harus menerjemahkan dulu baru bisa kita memikirkan jawabannya. Serius, kalau bukan penutur aseli, algoritma berpikirnya kan sangat mungkin berbeda. Baca soalnya dalam bahasa inggris, diulang 2-3 kali, kemudian baru diterjemahkan. Baru kemudian manggut-manggut, “Oh maksud pertanyaanya begituuu… ya ya ya paham. Hmmm gimana ya mengerjakannya?”. Hahaha.
Lolosnya 2 artis perempuan menembus 2 universitas bergengsi tingkat dunia sudah sewajarnya kalau kita maknai lebih. Pertama, setidaknya mematahkan stereotip bahwa artis itu tidak ada yang pintar. Kedua, pendapat cacat bahwa perempuan cantik cenderung tidak pintar dan hanya mengandalkan kecantikannya. Ketiga, respon atas berita sukses tersebut, “Maudya Ayunda dulu bimbel dimana ya, kok bisa sepintar itu?”
Standar berpikir orang tua dari masa ke masa memang begitu. Tau ada anak yang lolos ujian masuk PT, hal yang pertama ditanyakan, ”SMA dimana?”
Begitu SMA yang disebutkan dianggap biasa-biasa saja atau bahkan malah baru didengar, pertanyan susulannya menjadi, “Bimbelnya dimana sih?”
Kembali ke berita artis yang menembus universitas bergengsi. Bagaimana pun juga hal tersebut tetap harus diapresiasi. Setidaknya orang bersedia sejenak mengambil jeda untuk membahas pendidikan anak dari pada membicarakan politik. Bagaimana pola pengasuhannya, bagaimana berkomunikasi dengan mereka, bagaimana mengetahui kita sudah berada di jalur yang benar atau belum, dan peran orang tua dalam memberikan pendidikan atau memilihkan pendidikan.
Jamak terjadi orang tua mendidik anaknya dengan cara memilihkan sekolah atas dasar “prestasi akademis sekolah yang terpampang dalam bentuk angka”. Tanpa melihat apakah sekolah tersebut, melalui guru-gurunya, akan lebih menekankan pada penanaman nilai-nilai yang bermanfaat atau tidak.
Tidak jarang, orang tua akhirnya hanya menjadi kepanjangan tangan sistem pendidikan nasional yang masih acak adul. Mau bagaimana lagi wajah pendidikan secara umum di negeri kita memang memilukan. Sekolah sudah full day sekali pun, anak masih diharuskan mengambil les tambahan di luar sekolah.
Apakah yang dipelajari di sekolah dianggap tidak cukup sebagai bekal untuk menembus ujian masuk (UM) Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit. Apakah belajar secara mandiri harus menyerah kalah oleh industri les-lesan?
Apa mungkin kita ini sebenarnya hanya meniru sosok bapak yang hidup ribuan tahun silam, Filipus. Seorang bapak yang saya anggap merupakan cikal bakal orang tua meleskan anaknya. Dia tidak hanya sekadar menyekolahkan anaknya, tetapi juga mencari guru privat untuk anaknya, Mégas Aléxandros, atau yang lebih kita kenal sebagai Alexander The Great atau Iskandar Agung. Filipus memilih Aristoteles, sang filsuf agung, yang dapat menjadi kepanjangan tangan dia.
Hasilnya luar biasa, Iskandar di usia 16 Tahun sudah memimpin bala tentara Macedonia dalam upayanya menggayang jagad. Beberapa tahun kemudian menjadi raja muda yang memimpin “seribu penaklukan” tanpa sekalipun pernah kalah, kecuali oleh penyakit yang merenggut nyawanya di usia yang terbilang muda. Bayangkan, anak kelas 2 SMA jika ditarik ke kehidupan saat ini ya nggak jauh-jauh dari bayangan kita tentang Dilan, mau cium ceweknya saja harus bertanya, “ini diwakilin (sambil menyorongkan jari-jarinya) atau langsung?”
Ini bukan tentang keinginan untuk menciptaan para penakluk baru atau agressor seperti halnya Iskandar Agung. Ada hal lain yang lebih penting untuk kita wujudkan hari ini, yakni menciptakan generasi yang lebih humanis. Bukan sekadar generasi yang lebih mementingkan yang penting kuliah di PTN top.
Tetapi disalahkan sepenuhnya juga mustahil, masuk ivy league lokal, universitas bergengsi level nasional memang dapat dianggap sebagai investasi. Bahkan dapat dikatakan, dengan lolos ujian masuk PTN, sepertiga kesuksesan sudah ada di dalam genggaman. Faktanya, suka tidak suka Graduate employability (lulusan yang diminati dunia kerja) memang terlanjur melekat di universitas top. Di Indonesia barat ada UGM-UI-ITB-ITS-UNAIR-UNIBRAW-UNPAD-UNDIP-UNS, di Indonesia timur ada UNHAS-UNAND-UNUD.
Bagian tidak enaknya, kengototan orang tua yang menginginkan anaknya masuk di PTN tercium oleh industri pendidikan luar sekolah yang lebih kita kenal sebagai bimbel (bimbingan belajar). Bimbel tidak hanya menawarkan tambahan jam belajar saja, tetapi mengemasnya ke dalam istilah-istilah yang berkaitan dengan harga yang fantastis. Dari kelas reguler yang harganya ada di kisaran 5-10 juta hingga, kelas intensif, super intensif dan super camp yang nilainya melonjak hingga 50 juta.
Kok laku? Itulah yang disebut supply creates its own demand. Dibandrol 100 juta pun akan laku. Penyelenggara tinggal menambahkan kecapan bombastis, 95% diterima di PTN! Kalau tidak diterima akan dikembalikan 50%. Tetap untung, karena itu “perjudian usaha yang paling rasional”. Dari katakanlah 100 murid, ada saja yang memang dasarnya anak rajin. Untuk peminatan jurusan tertentu dengan passing grade tinggi, seperti sudah tersaring alamiah, tidak les pun sebenarnya akan diterima di PTN.
Dari yang namanya Ganesha Operation yang merujuk ke gajah duduk, maskot ITB, hingga lembaga yang menyebut dirinya Karantina UI, program karantina yang dibentuk lembaga Bimbel & Les Privat Terbaik Laskar UI untuk mempersiapkan siswa kelas 12 SMA/ Sederajat maupun alumni yang memiliki impian masuk UI atau PTN unggulan lain di Indonesia melalui jalur SBMPTN / SIMAK UI dan ujian mandiri Universitas lainnya dengan sistem belajar intensif dan try out setiap pagi selama 30 hari. Itu saya kutipkan langsung dari laman webnya. Di Jogja, juga ada nama-nama yang dikaitkan dengan UGM seperti Primagama dan Gama exacta.
Pertanyaan pentingnya, mengapa SMA di negeri ini tidak dilikuidasi seluruhnya saja dan diganti dengan bimbingan belajar saja kalau kurikulum di SMA ternyata tidak cukup jadi modal untuk masuk ke PTN?
Situasinya memang serba sulit untuk orang tua. Kalau anaknya tidak diikutkan les ada beban tersendiri untuk anak, sementara mayoritas temannya masuk bimbel. Secara finansial bisa saja angka-angka tersebut di atas dipenuhi.
Tetapi bagaimana untuk kelompok pendapatan UMR dan LSA, Lebihnya Sedikit Aja? Ikut bidikmisi belum tentu lolos. Ada cara murah untuk masuk PTN tanpa les. Pertama, beli kitab “Sukses Menembus SNMPTN 2019”. Kedua, mengandalkan keberuntungan. Ketiga, gunakan uang lesnya untuk membeli kambing bunting dan titipkan ke peternak. Di tahun ke 5 sudah dapat digunakan untuk ujian masuk pascasarjana di PTN.
Semua orang juga tahu, masuk ke PTN di tingkat sarjana selalu lebih sulit dari pascasarjana. Jadi gunakan cara itu kalau hanya ingin mengincar ijazahnya ada stempel PTN. Tetapi sedikit orang yang mau untuk mengakui bahwa kualitas PTS seperti Binus, Unpar dan lainnya pun sudah melompati beberapa PTN tersebut di atas. Hassh memang ada-ada saja kelakuan penduduk negara berkembang itu.