[MOJOK.CO] “Transliterasi kata berbeda dari penyerapan kata, Mbak.”
Beberapa teman saya mengirimkan tautan artikel Mojok.co yang terbit pada 22 Oktober 2017 kepada saya melalui WhatsApp dan Facebook. Artikel yang ditulis oleh Pemred Mojok Prima Sulistya itu berjudul “Menyalahkan Bahasa Orang Lain dengan Senjata Kata Baku dan Tidak Baku”.
Sebenarnya, saya tidak ingin menanggapi tulisan buruk itu, apalagi membuat tulisan seperti ini untuk membalasnya. Namun, setelah saya pikir-pikir, saya perlu membalas tulisan tersebut untuk menyelamatkan pembaca dari tulisan yang menyesatkan itu.
Kekonyolan terbesar Prima dalam tulisan tersebut adalah menganggap bahwa kata baku di dalam KBBI harus harmonis dengan pedoman transliterasi Arab-Latin.
“KBBI memang menyatakan yang baku adalah ustaz, tapi dalam pedoman transliterasi, ذ itu ditulis dengan z yang dikasih titik di kepalanya (ż), sedangkan z yang polos adalah transliterasi ز. Kalian yang pernah ngaji tahu kan beda ucapan dua huruf Arab itu: sekilas sama-sama terdengar berbunyi [za], tapi yang satu lidah di dalam, yang satu lidah di gigi. Gara-gara transliterasi nggak harmonis dengan KBBI itu, Bana menyatakan ia akan pakai ustadz,” kata Prima dalam salah satu paragraf tulisannya.
Prima juga mempersoalkan hal itu pada kata selawat dan salawat.
“Buka pedoman transliterasi Arab-Latin Indonesia dulu. Huruf ص [Șad] apabila diindonesiakan menjadi Ș. Huruf [es] besar dengan titik di bawah. Masalah bukannya selesai, malah semakin ribet. Nggak lucu kan kalau Mojok dikira situs web Kazakhstan hanya karena memakai Șalawat. Ribet amat sih, Tong. Langsung pakai selawat aja kenapa? Batin saya yang memang tabiatnya suka gampang menganjurkan. Njir, aneh. Kapan saya dengar orang menyebut selawat? Nggak pernah. Dan rasanya meleset jauh dari kata Arabnya. Lah kok nggak pakai salawat aja sebagaimana kamu memakai salat, bukannya shalat? (FYI, salawat [apa pun cara nulisnya deh] adalah bentuk jamak dari salat),” demikian kata Prima dalam bagian lain tulisannya.
Saya sudah menulis persoalan ini pada Pikiran Rakyat edisi 13 November 2016 dengan tulisan berjudul “Takut Dosa”.
“Transliterasi berbeda dengan kaidah bahasa Indonesia. Kata hasil transliterasi harus ditulis miring karena merupakan kata asing, sedangkan kata serapan bahasa Arab dituliskan sebagaimana kata dalam bahasa Indonesia sebab bukan lagi kata asing. Karena itu, meski Jum’at mengandung tanda baca /’/ dalam pedoman transliterasi, kata itu mesti ditulis Jumat (lurus/tidak miring) karena sudah diserap menjadi bahasa Indonesia.” Begitulah salah satu paragraf dalam tulisan saya pada Pikiran Rakyat itu.
Pedoman transliterasi—dari bahasa Latin translittera ‘antarhuruf’—berbeda dengan pedoman penyerapan. Kata hasil transliterasi adalah kata asing yang dialihaksarakan ke dalam aksara lain, misalnya dari aksara Arab ke aksara Latin. Oleh sebab itu, alih aksara (transliterasi) boleh menggunakan tanda diakritik tertentu untuk menuliskan bunyi yang tidak ada dalam ejaan bahasa Indonesia. Sementara itu, kata hasil penyerapan sudah sah menjadi kata bahasa Indonesia sehingga harus tunduk pada aturan ejaan bahasa Indonesia.
Oleh sebab itu, ustaz dan selawat adalah kata baku, sedangkan ustadz dan salawat bukan kata baku. Kata ustaz dan selawat sudah dibakukan sejak dulu ke dalam kamus-kamus bahasa Indonesia, antara lain, Kamus Modern Bahasa Indonesia (1951) yang disusun oleh Sutan Muhammad Zain dan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) susunan Poerwadarminta, hingga KBBI I, II, III, dan IV. Kamus Dewan Bahasa Malaysia juga membakukan ustaz dan selawat. Oleh karena disusun secara diakronis, KBBI V juga mencatat ustaz dan selawat sebagai kata baku sebagaimana dua kata itu dibakukan oleh kamus bahasa Melayu dan Indonesia yang terdahulu.
Dengan demikian, jika diajukan satu pertanyaan terhadap judul tulisan Prima itu, “Bisakah kata baku digunakan untuk menyalahkan bahasa orang lain?” jawabannya bisa (walaupun tidak selalu), tetapi dari segi bentuk kata, bukan dari segi fungsinya. Bukti bahwa kata baku bisa digunakan untuk menyalahkan orang lain adalah kata ustaz dan selawat, tentunya dalam tulisan yang menuntut pemakaian kata baku, misalnya dalam tulisan pada ragam resmi. Untuk tulisan pada media seperti Mojok, pemakaian kata baku tidak diharuskan.
Bagaimana dengan pelafalannya? Kata ustaz lebih susah dilafalkan daripada kata ustadz, dan kata salawat sudah biasa diucapkan penutur bahasa Indonesia daripada kata selawat. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa bahasa lisan berbeda dengan bahasa tulis. Bahasa lisan tidak punya aturan karena yang terpenting dalam bahasa lisan adalah sampai atau tidak sampainya pesan yang disampaikan pemberi pesan kepada penerima pesan.
Sementara itu, bahasa tulis memiliki kaidah. Pada kasus ustadz, bahasa Indonesia memiliki kaidah konsonan rangkap, yakni /kh/, /sy/, /ny/, dan /ng/. Gugus konsonan /dz/ pada kata ustadz tidak termasuk konsonan rangkap dalam bahasa Indonesia. Jadi, dalam bahasa tulis, terutama dalam ragam resmi, kata ustadz adalah kata yang tidak baku. Sementara itu, dalam ragam lisan, silakan memakai kata itu karena tidak orang melarangnya. Demikian pula pada kata salat dan selawat. Tulislah salat, selawat, dan ucapkanlah salat, shalat, atau sholat, dan salawat.
“[S]alawat [apa pun cara nulisnya deh] adalah bentuk jamak dari salat.” Apa masalahnya? Apakah selawat harus ditulis salawat karena bentuk jamak dari salat? Makna salawat dalam bahasa Indonesia tidak akan berubah jika ditulis selawat! Pada pendahuluan buku Ilmuwan dan Bahasa Indonesia (ITB 1988), Adjat Sakri mengatakan, “Mengenai ketetapan arti, orang tahu pula bahwa kata hanyalah bunyi yang dipilih secara acak oleh penutur bahasa bersangkutan untuk melambangkan arti yang terdapat dalam diri penutur. Dengan kata lain, arti tidak terdapat pada kata, melainkan pada diri kita sebagai penutur bahasa.”
Pembakuan kata selawat dari salawat juga sesuai dengan pola kecenderungan penyerapan kata bahasa Arab yang vokal /a/ pada suku kata pertama kata Arab diganti dengan huruf /e/ (meski tidak untuk semua kata/cenderung), seperti pada kata sekarat dari sakarat, jemaah dari jamaah, selamat dari salamah, keramat dari karamah, sejarah dari syajarah, dan berkah/berkat dari barakah.
Bukankah bahasa Arab tidak mengenal huruf /e/? Betul. Namun, bahasa Indonesia memiliki huruf /e/. Karena itu, kata serapan dari bahasa Arab disesuaikan polanya dengan pola kata bahasa Indonesia. Kita semestinya memperlakukan kata dari bahasa apa pun yang sudah diserap menjadi bahasa Indonesia sebagaimana kita memperlakukan kata dalam bahasa Indonesia.
Cara kita memperlakukannya ialah memaknainya dengan logika bahasa Indonesia, bukan dengan logika bahasa asal kata yang diserap itu.
Adapun mengenai kata yang baku jemawa, bukan jumawa, kata jemawa sudah lama dikodifikasi ke dalam berbagai kamus, seperti yang terdapat pada Kamus Modern Bahasa Indonesia, Kamus Umum Bahasa Indonesia, dan Kamus Dewan Bahasa Malaysia. Kata jemawa bahkan terdapat pada Kitab Pengetahuan Bahasa: Kamus Loga Melayu Johor, Pahang, Riau, dan Lingga (1928) yang disusun oleh Raja Ali Haji. Oleh sebab itu KBBI I hingga V membakukan jemawa. Bahwa jumawa lebih familier dan sering dipakai daripada jemawa, itu soal lain. Apakah jumawa kata yang salah? Secara bentuk, kata itu salah, sedangkan secara fungsi ia tidak salah. Apakah salah memakai jumawa? Kata itu tidak salah dipakai dalam tulisan yang tidak mengharuskan pemakaian kata baku.
Sebenarnya, persoalan kata lebih tepat dipandang dari segi berterima atau tidak berterima bentuknya daripada dikatakan salah atau tidak salah karena kaidah ejaan dipengaruhi, bahkan tunduk pada nilai-nilai sosial dan politik. Meskipun suatu kata salah secara morfologi, kata tersebut tidak serta merta menjadi salah atau tidak berterima bentuknya. Kata baku pun tidak selalu mengikuti kaidah morfologi.
Misalnya, seandainya kata telepon dalam bahasa Indonesia diserap dari telephone (bahasa Inggris), sementara ortografi /ph/ dari bahasa Inggris diserap menjadi /f/ dalam bahasa Indonesia, seperti yang terdapat pada kata fonologi (phonology), paragraf (paragraph), dan foto (photo), sehingga seharusnya telephone menjadi telefon, kata telepon tidak salah karena ia berterima. Ini hanya contoh karena sebenarnya kata telepon diserap dari bahasa Belanda, telefoon.
Contoh lainnya adalah kata kabar. KBBI membakukan kabar yang berasal dari khabar. Sebenarnya, bentuk khabar sudah sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia (konsonan rangkap /kh/), tetapi yang dipakai adalah kabar karena ia berterima oleh masyarakat penutur bahasa Indonesia, sedangkan khabar tidak berterima.
Dengan alasan itu pula, kata perduli yang dipakai Pramoedya dalam novel Bumi Manusia itu tidak berterima bentuknya karena tidak jelas asal-usulnya. Kata peduli diserap dari bahasa Arab, yakni faduli. Tidak ada huruf /r/ pada kata faduli. Kata peduli juga terdapat pada Kamus Modern Bahasa Indonesia, Kamus Umum Bahasa Indonesia, dan Kamus Dewan Bahasa Malaysia.
Ketidakjelasan asal-usul kata perduli sama dengan ketidakjelasan asal-usul kata merubah. Bentuk baku merubah adalah mengubah, yang diturunkan dari morfem ubah dan diberi awalan me-. Merubah adalah bentuk yang tidak berterima meskipun sejak dulu hingga kini banyak orang memakai kata itu. Dari jabaran di atas, perduli merupakan bentuk yang tidak berterima meskipun banyak orang memakainya, termasuk orang sekelas Pramoedya. Jadi, sudah jelas bahwa kepopuleran sebuah kata tidak menjamin ia betul secara bentuk dan berterima.
Dari semua kekonyolan yang ditulis oleh Prima dalam tulisannya itu, saya menyarankan Prima belajar kentut dulu sebelum bicara. Seseorang yang levelnya baru pantas memberikan pertanyaan sebaiknya jangan memberikan pernyataan karena banyak orang akan tersesat karena itu.