MOJOK.CO – Menjadi redaktur Mojok di rubrik Versus, saya merasa bagaikan uang koin: di satu sisi tahu aturan, tapi di sisi lain kerap menggunakan gaya bahasa admin Mojok yang absurd itu.
Di masa-masa awal bekerja di Mojok, saya mengalami apa yang disebut banyak orang sebagai culture shock. Karena posisi saya adalah redaktur, shock paling besar yang saya rasakan adalah gaya bahasa yang Mojok pakai di media sosial dan beberapa artikel.
Maksud saya, kenapa, sih, admin Mojok—dulu Karjo dan Romlah, tapi sekarang Mila dan Jimi—hobi sekali menggunakan tanda tilde (~) di setiap update-annya??? Terus, gimana jugga cara bacanya coba??? Apakah mereka ngomong “uwuwu” sambil goyang-goyang, kayak emotikon Jepang yang pakai tanda tilde semacam ini ~(˘▽˘~) ~(˘▽˘)~ (~˘▽˘)~, hah???
Belum habis rasa penasaran saya, muncul juga bahasa-bahasa lain yang, saya rasa, memang baru saya temui di Mojok, sekalipun mungkin telah banyak dijumpai digunakan beberapa orang. Sebagai contoh—yang paling sederhana—adalah penggunaan kata “nga” untuk menggantikan “nggak” atau kata “tyda” untuk menggantikan “tidak”.
Please, deh, Mil, Jim, “nga” dan “tyda” itu terdengar tidak aesthetic dan tidak Ivan-Lanin-approved, tahu!!!11!!!1!!
Ups. Tanpa sadar, saya baru saja menggunakan kumpulan tanda seru yang juga Mojok banget. Hih!
Seperti yang kita ketahui, penggunaan tanda baca berturutan umumnya terdiri dari pengulangan tiga kali, misalnya: “!!!”. Tapi, dasar admin Mojok suka sesuatu yang heboh, ia malah dengan entengnya menambahkan lebih banyak tanda seru PLUS angka “1” di tengah-tengahnya. Apa alasannya?
“Ceritanya, sih, kepencet.”
Ya, ya, ya, kalau kita perhatikan, tanda baca “!” dan angka “1” memang berada di satu tombol yang sama. Untuk menekan “!” menggunakan keyboard laptop atau komputer, kita harus menekan tombol Shift. Nah, apa jadinya kalau tombol Shift nggak sengaja nggak kepencet saking semangatnya kita? Jawabannya, tentu saja angka “1” akan muncul di sana.
Yang lebih menyebalkan dari kesemua gaya bahasa ini adalah: tulisan-tulisan pertama saya di Mojok secara ajaib, saat itu, diedit menggunakan gaya bahasa aneh tersebut demi menyesuaikan diri dengan karakter Mojok. Saya—sebagai anak baru kala itu—cuma manggut-manggut aja, padahal dalam hati, sih, gondok setengah mati.
Lebih gondok lagi, suatu hari, saya ditegur seorang senior karena gaya bahasa admin Mojok yang akhirnya saya ikuti tersebut. Padahal, saya melakukannya karena sejak awal diarahkan untuk meneladaninya, persis seperti anak SD kalau lagi nyontek PR temennya. Sungguh, rasanya kesal berlipat ganda, tapi saya cuma bisa jawab, “Oke, Mas, nanti saya ganti.”
:(((((
Bukan cuma itu saja, ya, Mil, Jim. Kalau lagi selow dan nggak ada kerjaan—yang berarti kira-kira hampir setiap hari—saya suka mengamati twit-twit di akun media sosial Mojok hanya untuk dibuat gatal untuk komentar, tapi tidak saya lakukan karena saya masih mencintai pekerjaan saya.
Tapi, sudahlah—sebodo amat. Kali ini, saya tidak tahan lagi!!!!1!!!1!!!
Pada sebuah twit yang membagikan artikel berikut ini, misalnya, mari kita telaah bersama.
*JENG JENG JENG*
kalo kata mba @estydi, nga apa apa kalo ukhti ukhti merasa lelah dan menyerah lalu ingin meniqa saja~ #Terbaru #Esai https://t.co/LEJsHBYs2K
— Mojok.co (@mojokdotco) May 12, 2019
“kalo kata mba @estydi, nga apa apa kalo ukhti ukhti merasa lelah dan menyerah lalu ingin meniqa saja~”
Gimana, gimana??? Sudahkah kamu merasa gatal, seperti saya???
Maksud saya, ayolah kita lihat dari awal kalimat: kenapa admin Mojok nggak pernah memulai kalimat dengan huruf kapital, sih??? Sesulit itukah menekan tombol Capslock atau Shift demi menciptakan huruf kapital??? Atau, ini sesungguhnya bentuk perlawanan dari admin Mojok pada kapitalisme, dan ia tidak suka huruf kapital karena ada kata “kapital” seperti yang ditemui dalam kata “kapitalisme”???
Saya belum nanya Mila atau Jimi soal ini, tapi yang jelas ini tidak bisa dibiarkan.
Berikutnya, kita tentu sepakat bahwa ada kata-kata yang tidak baku dan ditemui dalam kalimat di atas, misalnya “kalo”, alih-alih “kalau”. Namun, yang lebih mengganggu saya sesungguhnya adalah kata “nga apa apa” dan “ukhti ukhti”.
Perkara kata “nga”, tentu kita paham bahwa seharusnya ia bermakna sama dengan kata “nggak”, tapi, bagaimana dengan kata “apa apa” dan “ukhti ukhti”?
Satu hal terbesar yang hilang dari kedua kata tersebut adalah tanda hubung alias tanda strip (-).
Ya ampun, Mila, Jimi, apa susahnya sih menekan tombol (-) untuk dipakai sebagaimana mestinya? Sesusah apa, sih, bergerak sedikit sampai akhirnya kata “apa apa” ini menjadi “apa-apa”, dan kata “ukhti ukhti” menjadi “ukhti-ukhti”? Memangnya, kamu nggak memikirkan perasaan tanda baca strip (-), ya, selama ini? Bukankah ditinggalkan dan dilupakan itu sakit, Mil, Jim???
Dalam kalimat di atas, selanjutnya, kita juga menemukan kata yang tak kalah aneh: “meniqa”.
Kenapa, sih—serius ya—orang-orang hobi sekali mengganti huruf “k” dengan huruf “q”??? Alih-alih menulis “menikah”, kenapa jadinya malah “meniqa”??? Apakah ini sengaja dilakukan Mila dan Jimi karena huruf kaf dan qaf dalam huruf Hijaiyah sama-sama ditemui sebagai huruf dalam hukum ikhfa haqiqi??? Hmm???
Tentu saja, hal teraneh dalam cuitan si admin Mojok dengan gaya bahasa absurd tersebut adalah: ketiadaan tanda baca titik untuk mengakhiri kalimat. Alih-alih tanda titik, kita malah menemukan tanda baca tilde.
Mungkin, bagi si admin, tilde itu jauh lebih puitis untuk mengakhiri kalimat daripada tanda titik, karena tilde berarti kepanjangan dari till death do us part. Eaaa~
Eh, lah itu kok saya jadi ikut-ikutan mengakhiri kalimat pakai tanda baca tilde?!