Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Komen Versus

Harus Banget, ya, Hakim Dipanggil “Yang Mulia”?

Aprilia Kumala oleh Aprilia Kumala
24 Juni 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Mendengar hakim dipanggil “Yang Mulia” ternyata bukan barang baru. Praktik ini berlangsung sejak kamu bahkan belum jadi zigot.

Pelajaran PKn alias Pendidikan Kewarganegaraan di kelas 9 SMP cukup berkesan bagi saya. Waktu itu, Ibu Guru meminta kami melakukan simulasi jalannya persidangan atas suatu kasus di setiap kelompok. Semacam drama, singkatnya—hanya saja terjadi dalam sebuah persidangan.

Saya, yang saat itu masih terngiang-ngiang betapa anggunnya Elle Woods dalam Legally Blonde (walaupun film pertama ini sudah berlalu bertahun-tahun sebelumnya), langsung bersemangat membuat skrip untuk kelompok saya. Sungguh, rasanya tak sabar berada dalam sebuah persidangan yang—bagi saya kala itu—seru seperti dalam film.

Sayangnya, di hari H drama kelompok kami, kakek saya meninggal. Alih-alih ikut berperan sebagai saksi yang harus menjelaskan bukti-bukti dan melihat betapa hakim dipanggil “Yang Mulia”, saya malah menghabiskan hari itu sambil menangis habis-habisan.

Tapi, teman saya bilang, simulasi persidangan kami berjalan lancar dan itu cukup melegakan.

Saya bukan pengacara seperti Elle Woods walaupun sempat bercita-cita menjadi pengacara sebelum akhirnya malah memutuskan masuk ke Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Namun yang jelas, sebuah jalannya persidangan memang menarik perhatian saya mengingat di sana semua orang tampak begitu serius, berbicara formal, sekaligus bersenjatakan argumen-argumen kuat yang menarik didengar.

Kamu tahu—rasanya seperti mendengar orang yang “marah”, tapi santun.

Tapi, selain itu—mungkin karena saya orang bahasa—saya jadi tertarik pada suatu hal yang lain: Kenapa, ya, kok hakim dipanggil “Yang Mulia” dalam persidangan? Bukankah itu julukan yang diberikan pada raja dan ratu?

Mari kita kupas bersama~

*JENG JENG JENG*

Penyebutan “Yang Mulia” merupakan panggilan resmi yang berasal dari praktik feodal kuno. Ia ditujukan pada orang-orang yang memiliki gelar, termasuk para ksatria, sebelum akhirnya digunakan juga pada para hakim. Kebiasaan ini berlangsung terus hingga memasuki pertengahan tahun 1600—tahun di mana kamu bahkan belum muncul dalam bentuk zigot.

Dalam perkembangannya, gelar “Yang Terhormat” memang digunakan untuk merujuk pada banyak posisi berbeda: anggota DPR, Senat, Sekretaris Kabinet, hingga walikota di beberapa negara. Hal ini dilakukan dengan maksud yang sama sebagaimana hakim dipanggil “Yang Mulia”: untuk menunjukkan rasa hormat.

Apakah hakim menjadi satu-satunya orang yang harus dihormati dalam persidangan?

Pada dasarnya, ruang sidang adalah tempat yang sangat formal—inilah yang saya anggap menarik karena kita harus berpakaian dan berbicara formal pula. Lebih lengkapnya lagi, kita pun harus bersikap formal, alias menunjukkan etiket yang baik.

Iklan

Nyatanya, selain hakim dipanggil “Yang Mulia”, telah menjadi “aturan umum” bahwa posisi yang lain juga harus diberi sapaan yang sesuai. Misalnya, para saksi, terdakwa, penggugat, atau pengacara disapa dengan sapaan Mr atau Mrs dalam bahasa Inggris—atau “Saudara” dalam bahasa Indonesia.

Di Indonesia sendiri, aturan yang menyebutkan hakim dipanggil “Yang Mulia” memang tidak secara terang-terangan tertulis. Namun begitu, aturan untuk bersikap hormat telah diatur dalam Undang-Undang.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 19 Tahun 2009 tentang Tata Tertib Persidangan—seperti dikutip dari Hukumonline.com—menyebutkan bahwa menjadi kewajiban seluruh pihak, saksi, ahli, dan pengunjung sidang untuk menghormati hakim, yang dinyatakan sebagai berikut:

a. Menempati tempat duduk yang telah disediakan serta duduk tertib dan sopan selama persidangan;

b. Menunjukkan sikap hormat kepada Majelis Hakim dengan sikap berdiri ketika Majelis Hakim memasuki dan meninggalkan ruangan sidang;

c. Memberi hormat kepada Majelis Hakim dengan membungkukkan badan setiap memasuki dan meninggalkan ruang persidangan.

See? Tidak ada aturan untuk menyebut hakim sebagai “Yang Mulia”, bukan? Tapi yang jelas, semua pihak harus menunjukkan rasa hormat kepada Majelis Hakim Konstitusi.

Artinya, adanya hakim dipanggil “Yang Mulia” sesungguhnya merupakan cara untuk menunjukkan sikap hormat tersebut.

Meski dipandang berlebihan bagi beberapa orang, banyak pihak percaya bahwa penyebutan ini bisia bermakna sebagai sebuah doa. Dianggap berkedudukan mulia, tentu para hakim ini diharapkan bisa memutus persidangan dengan bijaksana, adil, dan tidak berpihak.

Tapi—ingat—hakim dipanggil “Yang Mulia” saja sudah cukup. Jangan mentang-mentang ia disebut “Yang Mulia” seperti dalam kisah dongeng para raja, kita jadi bisa memanggilnya juga sebagai “Baginda”.

Hadeeeeh, emangnya hakim itu yang nyanyi lagu C-I-N-T-A, hah???

Terakhir diperbarui pada 14 Agustus 2021 oleh

Tags: hakim dipanggil yang muliaLegally Blondemajelis konstitusipersidanganruang sidangsidang mk
Aprilia Kumala

Aprilia Kumala

Penulis lepas. Pemain tebak-tebakan. Tinggal di Cilegon, jiwa Banyumasan.

Artikel Terkait

Esai

Debat Garing Tanpa Jonru Ginting

29 Juni 2019
Pojokan

Surat Terbuka Kepada Pemilih Prabowo Sedunia

28 Juni 2019
Ini Sidang Beneran MOJOK.CO
Komik

Harap Serius, Ini Sidang Beneran

27 Juni 2019
Kilas

Soal Halalbihalal Akbar 212 di Gedung MK, Polisi Minta di Rumah Aja

24 Juni 2019
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.