Tahun ini Hari Santri diperingati secara semarak dan adem ayem. Ini adalah perayaan ketiga Hari Santri setelah Presiden Jokowi menetapkan keberadaan peringatan ini 2015 lalu. Dibanding hari ini, pada 2015 Hari Santri sempat mengundang penolakan, salah satunya tudingan bahwa Hari Santri menyiratkan eksklusivisme Nahdlatul Ulama. Selain itu, penolakan juga datang dari Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin yang sampai membuat surat terbuka untuk menyatakan alasan penolakannya.
Berikut adalah sejumlah status yang menanggapi peringatan Hari Santri. Status pertama dan terakhir adalah status lama yang tayang dua tahun lalu, sedangkan dua status lainnya ditulis kemarin.
***
Mahfud Ikhwan: HARI TKI
Karib saya, Shofwan Wahid, seorang buruh migran di Malaysia, gundah setelah pemerintah menetapkan Hari Santri. Tentu saja ia turut gembira, wong dia juga santri, meskipun menurut banyak riwayat, pas mondok mbeling-nya nggak karu-karuan. Tapi, dalam pikirannya, kalau ada Hari Santri, tentunya akan pantas juga kalau ada Hari TKI.
Saya tentu saja setuju, tapi usul itu membuat tercenung. Apa hal yang bisa diklaimkan oleh para TKI untuk mengajukannya kepada pemerintah kita?
Perjuangan TKI toh cuma segitu-gitu saja: bagaimana cara naik perahu pompong yang kapasitasnya 30 orang jadi 125, tidur di semak-semak dengan mata terpicing sebelah kalau-kalau ada pasukan Rela lewat, bagaimana memalsu KTP agar umurnya tetap terhitung muda, atau bagaimana menyogok pegawai imigrasi dengan semurah-murahnya. Ya, itu kan lucu-lucuan saja.
Apakah mereka melakukan itu semua untuk bangsa dan negara Indonesia? “Mbok ngrasakno!” begitu kira-kira ungkapannya dalam bahasa Jawa ala daerah kami. Tentu saja yang mereka pikirkan adalah anak-istri, SPP sekolah, rumah yang belum jadi, motor yang tidak ganti-ganti. Lagi pula soal bangsa dan negara kan sudah ada yang memikirkan to?
Setelah dipikir-pikir, saya ada usul: coba ajukan ke pemerintah Malaysia. Apa jadinya Malaysia tanpa TKI? Mana bisa Putrajaya segemerlap itu kalau tak ditangani TKI? Menara Kembar Petronas? Hahah …. “Yo meyek menarane!” Orang Malaysia jangankan ngaduk semen, wong pegang besi saja malas, begitu kira-kira bantahannya. Sumbangan TKI pada Malaysia itu konkret. Ketok mata. Kalau untuk Indonesia sendiri kan repot ngitungnya.
Wahid menganggap usul saya masuk akal. “Cocok iku!” katanya. Tinggal sekarang, bagaimana usahanya. Lobi-lobinya. Toh banyak orang Jawa di sana. Lagi pula, biasanya ada satu dua TKI yang nggarap rumah para pejabat kerajaan. Kan lumayan, bisa diomongi dikit-dikit. Ia juga minta didoakan, mumpung nuansa Hari Santri masih semriwing begini. Toh mereka kebanyakan ya juga santri, meskipun karena capek kerja dan cuaca panas mereka biasanya jadi malas salat dan ogah puasa. Jadi, sebagai santri tentu akan baik kalau kita semua solider.
Kalau gol, soal teknisnya nanti bisa dibicarakan lebih lanjut. Misalnya, perayaannya bisa ditetap di Indonesia. Wong TKI itu masih ada kata “Indonesia”-nya kok. Saya usul lagi, memperingati hari TKI cara biasa-biasa saja, nggak usah neko-neko, tak perlu semboyan besar-besar, apalagi dibesar-besarkan. Seperti hari-hari peringatan yang kita punya saja. Yang penting senang, ramai. panggung dangdut pasti. Kalau ada uang lebih, coba ngundang Monata. Lomba-lomba harus, meskipun usul saya lombanya perlu sedikit beda. Misalnya, lomba alus-alusan nekuk besi, lomba kerapian masang keramik, lomba kemulusan plester, dan sejenisnya.
Begitu.
Komunitas Kretek: Di banyak pesantren, para santri yang sudah cukup umur untuk merokok diperbolehkan merokok dengan dibuatkan SIM (Surat Izin Merokok). Mereka harus cukup umur dan mendapatkan izin dari orang tua untuk mendapatkan kartu tersebut.
Selamat Hari Santri Nasional, Kretekus!!!
Moh. Habib Asyhad: Selamat hari santri kawan-kawan Nahdliyin, kami nunggu hasil hisab dulu ya :p (Dari santri Muhammadiyah)
Agus Mulyadi: Untuk para santri di seluruh penjuru pesantren di Nusantara, selamat Hari Santri, semoga panjenengan semua menjadi agen perubahan yang senantiasa berdaya dalam membimbing umat menuju hidup yang rahmatan lil alamin ….
(Agus Mulyadi, 24 tahun, bukan santri namun sangat mencintai seorang santriwati)