MOJOK.CO – Mungkin sebagian besar dari kita pernah merasakannya. Mata kita baik-baik saja, tapi bukannya bersyukur, kita berusaha merusaknya dengan nonton TV terlalu dekat atau membaca di kegelapan dengan harapan: Kelak bisa pakai kacamata.
Selama bertahun-tahun saya selalu mengidentikkan kacamata sebagai tanda kecerdasan dan kekayaan. Ingatan itu terpanggil lagi ketika kuliah Morfologi tempo hari.
Dengan cepat nama Tomi tiba-tiba menjadi buah bibir teman-teman di kelas hanya karena ada yang berbeda dari dirinya. Sebelumnya Tomi merupakan penghuni kursi bagian depan dalam kelas. Namun, mulai hari itu dia mengubah sejarah hidupnya dan memutuskan untuk duduk di pojok belakang ruang kelas.
Kini dia telah memiliki kacamata sebagai alat bantu penglihatan. Jika sebelumnya dia hanya bisa melihat orang cantik dari jauh, kini dia bisa dengan lancar membaca satu paragraf dari jarak kurang lebih 100 meter.
Hal ini menarik perhatian saya sebagai teman kelasnya. Awalnya saya menduga kerusakan mata Tomi disebabkan karena dia rajin membaca. Apalagi beliau ini. Sebagai anak organisasi, pastilah ia antikemapanan dan selalu mendukung ideologi alternatif dan bahan bacaannya jelas buku-buku yang tebalnya sampai 300 halaman.
Saya anak kampung dan karena itu, saya punya cara pandang tersendiri soal kacamata.
Ketika kanak-kanak dulu, tidak ada anak seusia saya yang mengenakan kacamata di kampung. Bagi kami, kacamata merupakan hal yang langka dan sangat mahal. Hanya orang-orang kaya saja yang bisa membelinya.
Lalu saya melanjutkan sekolah di kota. Ada banyak hal yang saya lihat begitu berbeda. Jika di kampung, kami berpikir bahwa yang paling kaya adalah mereka yang makan pagi atau makan siang ditemani mi dan telur. Soalnya, di kampung yang paling sering mengonsumsi mi hanya anak-anak guru atau kepala desa, dan mereka adalah tolok ukur kami tentang kekayaaan.
Ternyata, di kota makanan seperti itu menjadi jajanan sehari-hari anak TK.
Hal kedua yang saya lihat saat di kota adalah kacamata. Ini kelak memengaruhi cara pikir saya tentang kacamata dan pemakainya. Andre yang merupakan anak pemilik toko kue Tarzan adalah salah seorang teman kelas saya yang mengenakan kacamata. Ada dua anak lain yang menggenakan kacamata di kelas kami, yaitu Andre dan Ari. Kedua orang ini ikon kelas. Setiap ada perlombaan, baik antarkelas sampai antarsekolah, merekalah yang selalu diutus.
Bahkan, ketika lomba tingkat provinsi dan tingkat nasional, masih mereka juga yang dikirim. Didukung dengan keseharian mereka yang hanya berteman dengan buku, saya jadi yakin bahwa kacamata adalah peralatan milik orang kaya dan orang pintar saja.
Ketika melanjutkan sekolah ke SMP dan SMA pun kisahnya masih sama. Titin, misalnya, gadis cantik yang merupakan adik kelas kami, berkacamata dan menjadi ketua OSIS dan selalu mendapat juara kelas dan juara umum. Erlan, lelaki pendiam berkacamata itu, selalu masuk 10 besar peringkat sekolah.
Di gereja pun sama. Ketika misa, pastor yang memimpin perayaan menggunakan kacamata. Gaya dan cara mereka begitu meyakinkan dan terlihat sangat pintar berkat lensa itu.
Semua kejadian itu membuat saya bertanya-tanya: Kapan mata saya bisa sedikit rabun agar saya bisa berkacamata? Itu pertanyaan sekaligus cita-cita. Saya ingin diaku sebagai orang pintar dan banyak didekati perempuan.
Sampai ketika saya kuliah, semua citra tentang kacamata itu runtuh semua.
Penyebabnya adalah teman-teman saya. Jika sebelumnya orang berkacamata yang saya kenal pintar-pintar dan rajin membaca, yang saya temui di kampus justru begundal lawan dari itu semua.
Tomi, misalnya, lelaki lugu yang memutuskan untuk mengenakan kacamata di awal cerita. Ia sangat berbeda dari teman SD, SMP, SMA, bahkan pastor saya. Kesehariannya sederhana: Memberi makan ayam kampung dan di malam hari sibuk membaca cerita seks atau menonton film porno. Ketika diberikan tuga dan diminta untuk mengumpulkan, Tomi selalu menyalin dari teman-temannya, termasuk saya.
Kadang saya berpikir, ini anak sudah menggunakan kacamata, kenapa masih saja menyontek tugas dari saya?
Dunia pendidikan juga akhirnya membantu saya dan “membersihkan” cara pandang lama yang salah. Di beberapa kesempatan saat les IPA, saya diberi tahu bahwa penyebab mata rusak karena kurang makan sayur.
Tapi saya masih meragukan jawaban itu. Teman SD saya yang berkacamata lahir dari keluarga yang kaya. Kami yang terlahir di keluarga biasa hanya melihat atau memakan wortel saat pesta, sedangkan mereka justru makan wortel setiap hari. Sayur pun mereka selalu punya banyak pilihan, sedangkan kami hanya makan the legendary one, sayur daun singkong.
Mungkin memang ada sesuatu pada orang berkacamata. Sayangnya, saya belum tahu itu apa dan kenapa.
BACA JUGA 5 Kesengsaraan Orang Berkacamata, dari Kecolok sampai Dikira Sombong atau esai-esai nyeleneh lainnya di rubrik ESAI.