MOJOK.CO – Menjadi orang tua kaku (strict parents), harusnya jangan jadi jalan ninja dalam mengasuh anak. Selain pola asuh ini sudah ketinggalan zaman, dampak yang ditimbulkan pun banyak negatifnya. Salah satunya bisa bikin anak menjadi seorang pembully.
Strict parents sendiri ditandai dengan pola asuh yang kaku, ketat, dan penuh aturan sepihak dari orang tua. Melansir laman WebMD, ciri utama orang tua dengan pola asuh strict parents biasanya ditunjukkan dengan pemberian tuntutan berlebih ke anak. Tapi di sisi lain, mereka tidak bersikap responsif.
Misalnya, mereka kerap membatasi atau melarang anak melakukan berbagai hal di rumah maupun di tempat umum. Namun, alih-alih menjelaskan alasannya, mereka sama sekali hanya menuntut. Pendek kata: “yang penting nurut”.
Bahkan, ada sebagaian orang tua yang sering memberikan banyak peraturan serta tuntutan tidak tertulis. Beberapa bahkan tidak menyampaikan peraturan tersebut kepada sang anak. Dibandingkan memberitahu anak, strict parents menganggap dan mengharapkan anak mereka dapat paham dan mengerti peraturan tersebut.
Lebih jauh, ciri-ciri lain adalah minimnya kasih sayang kepada anak. Alih-alih memberikan reward dan pujian untuk tiap pencapaian anak, atau sekadar menanyakan aktivitasnya, strict parents lebih suka memarahi anak ketika ia berbuat tindakan yang dianggap salah.
Selain itu, ciri-ciri strict parents juga terlihat, di antaranya dengan sering memberi hukuman fisik, tak membebaskan anak dalam memilih, tidak mempercayai anak, kerap mempermalukan anak di depan orang lain, jarang ada waktu luang bagi anak, hingga jarang berkomunikasi dengan anak.
Alhasil, pola asuh ini pun banyak menimbulkan dampak negatif. Seperti menghambat tumbuh kembang anak, kondisi mental anak tertanggu, bikin anak jadi sering berbohong, hingga bisa melahirkan mentalitas pembully.
Bikin anak punya mental pembully
Melansir jurnal Iranian Journal of Psychiatry (2018), ternyata ada faktor internal mengapa orang tua bisa menjadi strict parents. Salah satunya faktor saraf, di mana ia memiliki tingkat neurotisme tinggi.
Adanya neurotisme tinggi berarti berdampak langsung pada kestabilan emosi orang tersebut. Biasanya, orang akan lebih banyak mengalami kecemasan, keraguan, dan perasaan negatif. Sehingga, mekanisme penyalurannya pun lebih banyak ke hal-hal negatif, seperti marah-marah (verbal) hingga memukul (fisik).
Namun, ada juga faktor eksternal yang melatarbelakanginya. Banyak penelitian menyebut, bahwa pengalaman serupa di masa lalu bisa bikin seseorang menjadi orang tua kaku. Dengan demikian, bisa dikatakan strict parents lahir dari pola asuh kaku yang ia alami semasa kecil.
Dengan demikian, pada gilirannya nanti pola asuh strict parents akan melahirkan strict parents yang baru. Bahkan, untuk usia anak hingga remaja, ia juga bisa membentuk mentalitas anak jadi seorang tukang rundung atau pembully.
Sebuah studi yang terbit di jurnal Child Abuse and Neglect (2016) menunjukkan, gaya asuh strict parents meningkatkan risiko remaja melakukan perundungan terhadap teman sebaya mereka. Bagi anak perempuan, risiko menjadi pembully lebih erat kaitannya dengan hukuman fisik yang ia terima dari orang tua. Sedangkan untuk anak laki-laki, hal ini terkait dengan disiplin orang tua yang agresif secara psikologis.
“Baik untuk anak laki-laki maupun perempuan, ada korelasi langsung antara menjadi pelaku bully dan agresi psikologis dari orang tua mereka,” kata Tori Rodrigues, mengutip laporan tersebut dalam laman Scientific American.
Lebih lanjut, penelitian Peter K. Smith dan Rowan M. Wilson berjudul “Parenting and School Bullying” menunjukkan hasil serupa. Dalam studi ini dijelaskan, bahwa anak-anak yang punya orang tua strict parents lebih mungkin untuk merundung teman sebayanya. Hal ini, kata penulis tersebut, lebih ke mekanisme imitasi atau meniru perilaku orang tua.
“Ketika mereka berinteraksi dengan teman sebaya, terutama yang mungkin lebih lemah dan lebih rentan, anak-anak ini akan memperlakukan teman sebaya itu dengan cara yang sama seperti mereka diperlakukan oleh orang tua mereka,” kata penelitian itu.
“Mereka cenderung mencemooh, menyindir, merendahkan, dan memusuhi. Mereka mungkin juga terlibat dalam ancaman, pemaksaan fisik, atau kekerasan langsung, seperti mendorong atau bahkan memukul,” paparnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi