MOJOK.CO – Telaga Winong terletak di Wonogiri. Telaga ini jadi tempat seniman teater Cempe Lawu Warta Wasesa mengenang sahabatnya Wiji Thukul yang hilang hingga kini.
Telaga Winong masuk dalam bait lagu penyair sekaligus sahabat Wiji Thukul, Cempe Lawu Warta Wasesa. Pendiri Teater Jagad itu menjadi satu dari banyak orang yang percaya bahwa sahabatnya itu belum mati, melainkan hanya hilang dan suatu saat akan pulang.
Wiji Tukul ilang keterak jaman,
dados manungso nggoleki opo?
(Wiji Thukul hilang ditelan zaman, lantas manusia mencari apa?)
Demikianlah petikan lirik yang dinyanyikan Lawu.
Tembang itu dinyanyikan Lawu bersama tiga muridnya: Hartono, Jantit Sonokeling, dan Lutio, di tepi Telaga Winong, Wonogiri, pada 6 November 1998. Sambil bersenandung, mereka juga saling memangkas rambut gondrong hingga plontos. Alis pun juga dicukur hingga tak bersisa.
Setelah dicukur, potongan rambut itu dikumpulkan dan dibungkus kain putih. Kemudian, mereka menanam bungkusan rambut itu di tepi Telaga Winong.
“Itu simbol duka kami karena tidak bisa menemukan Wiji Thukul,” ujar Lawu, menjelaskan makna simbolis aksinya tersebut, sebagaimana ditulis Majalah Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul (2013).
Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Dusun Melikan, Kelurahan Gedong, Pracimantoro, Wonogiri—tempat di mana Telaga Winong menghampar luas—saya hampir tak memiliki kenangan atas aksi simbolik itu. Pasalnya, saya baru beberapa bulan lahir kedunia saat Lawu dan murid-muridnya itu mengubur rambut mereka di tepian telaga.
Namun, yang pasti telaga ini masih eksis hingga kini. Popularitasnya saja yang tidak ada.
Telaga yang memasok kebutuhan air warga
Terletak di salah satu desa paling ujung tenggara Kabupaten Wonogiri, Telaga Winong memiliki luas lima kali lapangan sepakbola. Lokasinya sendiri kira-kira tiga jam perjalanan dari pusat Kabupaten Wonogiri.
Telaga bertipe tadah udan, yang mana volume air membludak di musim hujan dan menyusut di saat kemarau. Namun, yang jelas telaga ini sudah menjadi pemasok kebutuhan air warga Dusun Melikan dan sekitarnya selama puluhan tahun.
Secara kronologis, tidak terlalu jelas sejak kapan Telaga Winong terbentuk. Baik itu Kepala Lingkungan Dusun Melikan, Kaspan, maupun Surato, sang tetua dan juru kunci telaga, sama-sama tak bisa menjelaskan secara pasti tahun berapa telaga ini mulai beroperasi.
Yang jelas, sejak 1980-an air di telaga ini sudah warga pakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari mereka, seperti mandi, mencuci, bahkan beberapa ada yang untuk konsumsi.
Secara topografi, wilayah Pracimantoro memang punya kemiripan dengan Gunungkidul: tandus dan pegunungan kapur. Jadi, kehadiran telaga yang tetap terisi air di kala kemarau, seperti Telaga Winong ini, sudah seperti oase di padang pasir.
Tak hanya bagi warga Dusun Melikan, keberadaan Telaga Winong nyatanya juga sangat membantu warga dusun sekitar. Alhasil, telaga ini tak pernah sepi. Sebab, selain orang dewasa yang “mandi bareng”, banyak anak-anak yang menjadikan area sekitar untuk bermain dan area telaganya sebagai spot berenang.
Namun, sejak tahun 2010, Telaga Winong mulai kehilangan pamor. Seiring dengan berjalannya bantuan air bersih dari pemerintah daerah, banyak warga dusun akhirnya memilih untuk tidak menggunakan air telaga lagi. Sejak saat itu, area Telaga Winong mulai berubah fungsi untuk kegiatan lain.