MOJOK.CO – Partai Nasdem yang lebih dulu mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres bisa berdampak pada peta koalisi di Pemilu 2024. Ada potensi ditinggalkan Demokrat dan PKS.
Sudah lebih dari sepekan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) mengumumkan Anies Baswedan sebagai capres. Turbulensi politik terjadi di partai besutan Surya Paloh ini. Sejumlah anggota partai dilaporkan mundur. Bali misalnya, Niluh Djelantik dan tokoh Puri Anom Tabanan, Anak Agung Ngurah Panji Astika mengundurkan diri.
Tak hanya itu, Survei SMRC terbaru juga mengindikasikan adanya penurunan suara Nasdem di Indonesia timur. Angkanya signifikan dari 10,8 persen (Mei 2021) ke 3,9 persen (Agustus 2022).
Namun, di luar dari dampak negatif seperti data di atas, tentu saja keputusan Partai Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres, bisa dimengerti dan sudah diperhitungkan. Paling tidak, partai ini berusaha memaksimalkan potensi coat-tail effect (efek ekor jas) milik Anies.
Maklum, Gubernur DKI Jakarta ini konsisten di tiga besar survei-survei nasional tentang capres pilihan masyarakat dalam beberapa tahun tekahir. Harapannya tentu saja suara pemilih Anies bisa dikonversi jadi suara Nasdem. Suara calon pemilih Anies di Jawa Barat misalnya, bisa menambah suara Nasdem yang biasanya minim daerah tersebut.
Lantas bagaimana dengan nasib koalisi tiga partai (Nasdem, Demokrat, dan PKS) yang digadang-gadang akan menjalin poros baru di 2024? Deklarasi Anies sebagai capres yang dilakukan lebih dulu oleh Nasdem bisa berpengaruh pada koalisi ini. Manuver Nasdem bisa saja punya implikasi politik ditinggalkan oleh PKS dan Demokrat.
Pasalnya, baik PKS maupun Demokrat sebetulnya juga berhak untuk mendapat ‘bagi hasil’ atas pencapresan Anies. Sehingga mungkin idealnya, deklarasi pencapresan dilakukan oleh ketiga partai koalisi.
Persoalan makin agak memanas ketika Nasdem mempersilakan Anies untuk mengusulkan calon pendampingnya. Namun di sisi lain, menyatakan ada tiga nama potensial sebagai pendamping Anies: Jenderal Andika Perkasa, Khofifah Indar Parawansa, dan Yenny Wahid.
Sebetulnya persoalannya bukan di soal ketiga nama tersebut, karena memang dari segi memperkuat posisi Anies, ketiga nama itu masuk akal. Popularitas dan elektabilitas Jenderal Andika di berbagai survei memang mulai naik. Hal itu juga untuk menepis anggapan atau citra publik kalau Anies terlalu dekat dengan kelompok Islam yang dianggap intoleran.
Sementara pencalonan Anies dengan didampingi oleh Khofifah maupun Yenny juga masuk akal. Anies bukan dari kalangan Nahdliyin. Sementara porsi pemilih Nahdliyin cukup besar dan itu dibutuhkan untuk memenangi kontestasi. Memilih pendamping baik Khofifah maupun Yenny adalah strategis untuk menggaet suara kaum Nahdliyin utamanya yang banyak berbasis di Jawa Timur.
Namun dengan keputusan itu, makin membuka peluang Nasdem ditinggalkan oleh PKS dan Demokrat. Karena bagaimanapun, Demokrat utamanya, tetap merasa punya hak untuk mendorong AHY mendampingi Anies. Sementara PKS juga mungkin punya calon lain yang diharap punya ‘chemistry’ dengan partai tersebut. Pemilih PKS jelas bukan dari kaum Nahdliyin. PKS bisa rugi dua kali. Pertama, tidak dapat efek ekor jas, dan kedua, bisa ditinggalkan basis pemilihnya yang loyal.
Merespon langkah yang diambil Nasdem. Demokrat langsung bergerak cepat. Hal ini terlihat dari beberapa pernyataan AHY yang menyatakan dirinya sering diskusi dengan Anies tentang ‘poros perubahan’ di Pilpres 2024. Dan gayung pun bersambut, pagi ini, Jumat (7/10/2022) Anies bersilaturahmi ke Kantor DPP Demokrat untuk bertemu dengan dirinya. Keduanya saling melempar pujian, bahkan di hadapan Anies, AHY memperlihatkan ‘Relawan Anies-AHY’.
Pada tahap ini sinyal Partai Demokrat merapat ke koalisi Nasdem makin kuat. Namun, untuk cawapres tunggu dulu, masih ada PKS yang belum memutuskan. PKS disebut masih ingin membahas pasangan calon yang ideal dengan Nasdem dan Demokrat. Duduk bertiga.
Melihat situasi ini, pengamat politik dari Fisipol UGM, Arga Imawan, berpandangan bahwa pencapresan Anies oleh Nasdem bisa merubah peta koalisi. “Peta koalisi akan berubah karena ada efek negatif dari curi start Nasdem terkait pencapresan Anies,” ucap Arga saat dihubungi Mojok, Jumat (7/10/2022) siang.
Selain itu, penurunan jumlah suara Nasdem di Indonesia timur tentu akan menjadi PR besar dalam koalisi Anies. Skemanya nanti akan tambal sulam. Nasdem akan mencari mitra koalisi yang bisa meningkatkan elektabilitas Anies di Indonesia timur.
“Kuncinya ada di 4 besar partai pemenang Pemilu 2019. Peta koalisi nanti ditentukan oleh langkah PDIP, Golkar, Gerindra, dan PKB,” jelas Arga yang sehari-hari mengajar di Department Politik Pemerintahan FISIPOL UGM.
Namun, partai-partai tersebut sejauh ini belum menentukan sikap terkait pilihan paslon presiden dan wakil presiden. Ini karena masing-masing partai punya jagonya sendiri yang diusung untuk maju di Pilpres 2024. Mereka terkesan tak mau buru-buru menentukan sikap mengingat waktu yang masih panjang.
Sementara itu, ihwal Nasdem yang curi start soal pencapresan Anies, Arga membaca bahwa langkah partai besutan Surya Paloh ini memiliki karakteristik office-seeking party, atau melihat adanya benefit yang besar terhadap kandidat dari pejabat tertentu yang bisa mendongkrak popularitas parpol.
“Dengan kata lain sifatnya hanya oportunis karena murni melihat benefit yang diterima,” pungkas Arga.
Penulis: Purnawan Setyo Adi