MOJOK.CO – Group Djarum sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mayoritas mengenal grup ini sebagai perusahaan rokok, sebagian lainnya mengenalnya sebagai pemegang saham terbesar Bank Central Asia (BCA). Namun, jaringan bisnis Group Djarum sebenarnya lebih luas dari itu.
Group Djarum merupakan salah satu konglomerasi terbesar di Indonesia. Jaringan bisnis itu berawal dari kesuksesan perusahaan rokok Djarum yang kemudian meluas ke bisnis elektronik, perbankan, hingga digital. Hartono bersaudara, Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono, menjadi kunci di balik gurita bisnis itu. Di bawah nahkoda mereka berdua, Djarum pertama kali memberanikan diri mendiversifikasi produk di luar rokok.
Polytron menjadi bisnis non-rokok pertama yang Hartono bersaudara dirikan. Perusahaan elektronik yang berdiri sejak 1975 itu kini memproduksi berbagai alat yang pasar butuhkan seperti speaker, televisi, set-top-box, lemari es, mesin cuci, AC, smartphone, dan sepeda motor listrik. Saat ini produk Polytron diproduksi di pabrik seluas ribuan meter persegi yang terletak Kudus.
Punya saham mayoritas di BCA
Di sektor perbankan, Djarum mengempit 54,9 persen saham PT Bank Central Asia Tbk. Kepemilikan itu melalui PT Dwimuria Investama Andalan yang merupakan perusahaan holding investasi milik yang kendalinya ada di keluarga Hartono.
Apabila menelisik lebih lanjut, PT Dwimuria Investama Andalan ternyata memiliki portofolio lain. Perusahaan ini memiliki lima persen saham PT Sarana Menara Nusantara Tbk. Asal tahu saja, perusahaan yang melantai bursa dengan kode TOWR itu bergerak di bidang penyedia infrastruktur telekomunikasi.
Gurita bisnis Grup Djarum makin luas di tangan generasi ke-3. Pada 2010 Group Djarum memasuki bisnis digital melalui PT Global Digital Prima alias GDP Venture. Perusahaan yang nahkodanya Martin Hartono itu elah berinvestasi ke puluhan perusahaan startup di bidang media dan hiburan.
Blibli menjadi salah satu produk awal yang dikeluarkan oleh GDP Venture melalui anak usahanya Global Digital Niaga atau GDN. Sejak peluncuran Blibli pada 2011 itu, GDP terus menambah portofolionya di bidang media dan hiburan. Termasuk investasi ke 88 Rising, perusahaan musik asal Amerika Serikat di mana Rich Brian bernaung.
Konglomerasi bisnis yang berawal dari perusahaan rokok di Kudus
Konglomerasi bisnis terbesar di Indonesia itu tidak akan terwujud kalau Oei Wie Gwan tidak membeli perusahaan rokok NV NV Moeroep milik H.M Sirod yang gulung tikar. Oei Wie Gwan kemudian mendirikan perusahaan rokok kreteknya dengan nama Djarum Gramofon pada 21 April 1951.
Saat awal berdiri, hanya 10 pegawai yang membantu Oei Wie Gwan memproduksi rokok dengan alat yang masih sederhana. Usaha kecil itu terletak di Jalan Bitingan Baru No 28 Kudus yang kini berubah nama menjadi Jalan A Yani No 28 Kudus. Apabila tidak sedang memasarkan rokok kretek, Oei Wie Gwan ikut membantu produksi rokok kretek dengan tangannya sendiri.
Perusahaan kian besar. Sayangnya, pada 1963 bisnis Djarum mendapat pukulan keras karena terjadi kebakaran di pabrik. Oei Wie Gwan menghembuskan napas terakhir tidak lama setelah itu. Tidak mau tenggelam dalam keterpurukan, Hartono bersaudara kemudian mengambil alih bisnis ayahnya itu.
Di bawah tangan dingin mereka, Djarum berkembang pesat. Berbagai inovasi mereka lakukan, salah satunya, pada 1967 rokok kretek lintingan yang semula dengan cara manual mulai dikerjakan secara otomatis. Di tahun itu juga Djarum mendirikan Research and Development Center untuk mengembangkan produk rokoknya.
Melalui lini produksi dan riset yang kuat, rokok Djarum perlahan masuk pasar internasional. Pada saat itu rokok kretek bikinan Djarum mencapai Tiongkok, Korea, Jepang, Belanda, dan AS. Salah satu yang diminati pasar internasional adalah Djarum Super dan Djarum Special.
Di tangan dua bersaudara itu, Djarum mulai merambah lini bisnis selain rokok, seperti bisnis elektronik, tekstil, keuangan, pebankan, dan properti. Tidak sebatas itu, Grup tersebut juga berperan dalam perkembangan dunia olahraga dengan mendirikan klub badminton PB Djarum pada 1974. Beberapa pemain ternama yang ada di bawah naungan klub itu seperti Liem Swieking, Alan Budikusuma.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Menolak Lupa “KTM Inul”, Motor Cina Penantang Supra pada Zamannya