MOJOK.CO – Meski sudah ada larangan, sejumlah sekolah di DIY hingga saat ini masih saja nekat berjualan seragam pada peserta didiknya. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY terus saja mendapatkan laporan sekolah-sekolah di tingkat SMP/MTs hingga SMA/SMK berjualan seragam.
“Yang terakhir ada SMPN 2 Bantul [jualan seragam]. Kalau laporan yang kami terima ada belasan sekolah [jualan seragam] tapi kami meyakini ini hanya fenomena gunung es [dan lebih banyak lagi],” ujar Kepala Ombudsman RI Perwakilan DIY, Budi Masthuri saat dikonfirmasi, Senin (20/07/2022).
Sebelumnya 12 sekolah di Jogja seperti SMPN 1 Berbah, SMP Pembangunan Piyungan, SMPN 1 Serandakan, SMPN 1 Depok, SMKN Pundong, SMPN 5 Yogyakarta, SMPN 8 Yogyakarta, SMPN 12 Yogyakarta, SMPN 2 Mlati, SMKN 2 Depok, SMAN 11 Yogyakarta dan MAN 2 Yogyakarta juga dilaporkan melakukan jual beli seragam.
Karenanya Tim Pemantau Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) melakukan telaah kasus tersebut. Hal itu dilakukan untuk memetakan pola dan pendalaman motif sekolah melakukan jual beli seragam.
“Hasil telaah akan dijadikan sebagai masukan perbaikan kedepan,” tandasnya.
Budi menyebutkan, secara langsung sekolah tidak lagi secara terang-terangan menjual seragam kepada siswa karena Disdikpora sudah tegas melarang. Namun, ada beberapa modus penjualan seragam yang belakangan ditemukan ORI.
Penjualan seragam kepada siswa dilakukan melalui koperasi. Selain itu penjualan seragam dilakukan melalui Paguyuban Orang Tua (POT). Penjualan juga dilakukan melalui beberapa orang tua yang diserahi bantuan untuk menjual seragam.
“Kami sedang melakukan pendalaman terhadap temuan ini, sejauh mana keterlibatan sekolah, apakah secara esensi diperbolehkan atau harus dilarang,” tandasnya.
Ditambahkan Tim Investigasi ORI Perwakilan DIY, Muhammad Rifqi, fenomena jual beli seragam sekolah di DIY yang dilakukan sekolah secara umum selalu terjadi setiap PPDB. Padahal ada larangan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010.
Karenanya perlu ada tindakan tegas dari dinas pendidikan maupun pemerintah untuk menindak sekolah yang masih saja berjualan seragam. Dengan demikian kasus tersebut tidak terus berulang setiap tahunnya.
“Masak nggak tahu sih [ada aturan sekolah dilarang jual beli seragam], kemana saja ?,” tandasnya.
Secara terpisah salah satu pemilik tokok seragam di Jalan Ibu Ruswo, Apip mengungkapkan tidak tahu bila ternyata ada kebijakan larangan penjualan seragam di sekolah negeri. Toko tersebut sering mendapatkan pesanan baik secara online maupun offline dari sejumlah sekolah di DIY maupun luar DIY.
Namun, Apip tidak tahu sekolah-sekolah yang memesan tersebut merupakan sekolah negeri ataupun swasta. Penjualan seragam di toko tersebut saat ini sangat tinggi. Bahkan omzet yang didapatnya dua kali lipat dari sebelum pandemi COVID-19.
“Kami menjual seragam jadi dengan bermacam-macam kualitas mulai dari harga yang mahal sampai harga yang terjangkau. Di tempat kami ini juga menerima pesanan. Biasanya pesanan ini datang dari sekolah-sekolah yang ada di luar DIY, tapi ada juga sekolah-sekolah di Jogja,” ungkapnya.
Apip menambahkan, pemesanan seragam di tokonya biasanya dilakukan oleh komite sekolah. Pembelian juga dilakukan per kelas alih-alih atas nama sekolah.
“Yang pesan di tempat kami tapi biasanya pesannya ini dikelola oleh perkelas-kelas gitu, bukan langsung atas nama sekolah. Mungkin lewat komite orang tua seperti itu,” imbuhnya.