Jika Anda selama ini adalah tipikal pengguna sosial media yang terlalu ekspresif dan blak-blakan, terutama jika menyangkut soal presiden, maka Anda patut untuk berhati-hati. Baru-baru ini, Panitia Kerja RKUHP setuju untuk menjadikan pasal penghinaan presiden sebagai delik umum, bukan lagi delik aduan. Itu artinya, siapa pun yang terbukti menghina presiden, ia bisa dikenakan proses hukum tanpa perlu ada pengaduan dari korban.
Hal tersebut disampaikan oleh Pimpinan sidang sekaligus Ketua Panitia Kerja RKUHP di DPR, Benny K. Harman.
Namun begitu, keputusan lebih lanjut terkait pasal penghinaan presiden itu masih belum fix, sebab menurutnya, pasal tersebut masih akan dibahas kembali di tingkat Panitia Kerja.
Pasal penghinaan presiden diatur dalam Pasal 239 ayat (1) RKUHP. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa setiap orang di muka umum menghina presiden dan wapres, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp500 juta).
Sedangkan pada Pasal 239 Ayat (2) menyebutkan, tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri.
Keputusan penggunaan delik umum dalam pasal penghinaan presiden ini dinilai oleh banyak pihak terlalu gegabah. Sebab, selama ini, memang belum ada batasan yang jelas antara mana yang bisa dan yang tidak bisa dikategorikan sebagai penghinaan.
Pakar hukum tata negara Mahfud MD mengatakan bahwa pasal ini dikhawatirkan bisa dimanfaatkan untuk menangkap para oposisi.
Hal yang senada juga diutarakan oleh Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, ia mengatakan bahwa pasal penghinaan presiden ini justru membawa Indonesia pada kemunduran.
“Pasal itu sudah tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang ada saat ini,” ujarnya.
Di lain pihak, Harkristuti Harkrisnowo, perwakilan ahli tim Pemerintah yang setuju pada penerapan delik umum pada pasal penghinaan presiden berpendapat bahwa penerapan pasal tersebut semata agar tidak terjadi diskriminasi antara pemimpin negara sendiri dengan pemimpin negara lain.
“Saya merasa kita kok agak diskriminatif ya. Presiden sendiri tidak dihormati, tapi Presiden asing kita sembah-sembah,” kata Harkristuti.
Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan bahwa aturan tersebut dibuat tidak untuk membatasi masyarakat dalam mengkritik presiden, sebab ada perbedaan mendasar antara mengkritik dengan menghina.
“Kalau mengkritik pemerintah itu memang harus, tapi menghina itu soal personal, soal yang lain, ini simbol negara,” pungkas Yasonna.
Sungguh, ini adalah kabar baik sekaligus kabar buruk. kabar baik kaum cebong, dan kabar buruk bagi kaum kampret.
Yah, semoga tahun depan Prabowo terpilih menjadi presiden. Biar cebongers dan kampreters sama-sama mendapatkan jatah kabar baik dan kabar buruk.
Gimana? Aamiin-in nggak?