Taksi online menjadi sebuah revolusi baru di bidang transportasi. Ia hadir karena pemerintah gagal memberikan transportasi publik yang nyaman, aman, dan selalu ada. Ya, kayak pacar. Keberadaannya saat ini khususnya di kota-kota besar seperti tidak dapat dipisahkan dari rutinitas keseharian. Dengan efisiensi dan tarifnya yang murah, banyak masyarakat yang lebih memilih menggunakan transportasi ini sehingga memunculkan gejolak antara driver taksi online dan taksi konvensional yang kehilangan pelanggan.
Akhirnya pemerintah pun mengubah aturan untuk mengatasi hal tersebut. Hasil perubahannya diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan 26/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek. Aturan itu ditetapkan 19 Oktober 2017 dan akan diberlakukan mulai 1 November 2017 dengan masa transisi 3—6 bulan.
Dalam aturan terbaru, pemerintah melarang penyedia aplikasi taksi online bertindak sebagai penyelenggara angkutan umum. Selama ini, penyedia aplikasi bertindak terlalu jauh dengan berwenang melakukan rekrutmen pengemudi, menetapkan tarif, hingga memberikan promosi. Selain itu, penyedia aplikasi juga harus menggandeng koperasi jasa yang terdaftar melalui Kemeterian Koperasi dalam memberikan pelayanan.
Beberapa poin yang diubah dalam peraturan tersebut adalah adanya penetapan tarif bawah dan atas, hal ini katanya agar tidak ada pihak tertentu yang memonopoli jasa angkutan. Rupanya pemerintah menginginkan kesetaraan antara taksi online dan konvensional, biar tidak gender saja yang harus disetarakan. Tapi, sepertinya kok konsep kesetaraan tarif itu terlalu dipaksakan ya? Apakah benar hal ini tidak untuk berpihak pada industri dan memang benar-benar untuk melindungi konsumen?
Selain itu, dalam peraturan yang baru juga dijelaskan adanya penetapan wilayah operasi dan kuota kendaraan yang diizinkan untuk beroperasi di dalam suatu wilayah. Tentunya harus menggunakan kendaraan berplat nomor sesuai wilayah operasi. Dan yang terpenting, pihak penyedia aplikasi online rela memberikan akses yang terbuka pada pemerintah.
Nah, ternyata, yang meribetkan keberadaan taksi online ini tidak hanya di Indonesia loh. Keberadaannya pun mendapat perlakuan yang berbeda-beda di berbagai negara. Ada yang mengizinkan dengan aturan tertentu yang dibuat sangat ketat dan rumit, ada pula yang melarang mereka beroperasi.
Di beberapa negara yang melarang taksi online, misalnya Hungaria, landasan pelarangan ialah karena driver tidak mematuhi standar pengemudi taksi lainnya. Sementara di Denmark, beroperasinya taksi online dianggap mengganggu sistem transportasi aman yang disediakan oleh pemerintah kepada masyarakat. Salah satunya dengan tidak adanya pemberian asuransi pada konsumen. Selain itu, beberapa negara lain juga melarang keberadaan taksi online, antara lain Bulgaria, Italia, Texas, Alaska, Kolumbia, China, Taiwan, dan Australia. Artinya, sudah banyak pemerintah negara lain yang memberikan perhatian penuh terhadap keberadaan taksi online bukan karena kepentingan perusahaan semata, tetapi juga hak-hak serta perlindungan konsumen.
Ngomong-ngomong, kalau taksi online sudah diatur, ojek online-nya kapan?