Tidak sedikit orang membayangkan, menjadi sastrawan adalah kehidupan yang sangat ideal. Karena bergelut dengan buku, menulis karya-karya laris, lalu bisa hidup makmur dari karya-karya tersebut.
Namun, nyatanya, bayangan itu hanyalah romantisasi belaka. Nasib mereka yang bergelut dengan sastra tidak sepenuhnya demikian.
Kenyataan itulah yang coba diudar oleh Mahfud Ikhwan, Saut Situmorang, dan Himas Nur dalam diskusi panel penutup Susur Galur Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2025 bertajuk “Nasib Sastrawan”.
Sebuah diskusi penutup yang terasa epik dan tajam. Panggung Pasar Buku FSY 2025 di Grha Budaya Taman Budaya Embung Giwangan, Jogja–lokasi acara–menjelma menjadi ruang diskusi yang terasa penuh pergulatan.
Tiga narasumber mengajak audiens membicarakan berbagai dimensi kehidupan insan sastra hari ini. Mulai dari kondisi ekonomi, posisi sosial, hingga pergulatan identitas.
Nasib sastrawan: penyair miskin, novelis dalam ketimpangan
Penyair Saut Situmorang menegaskan bahwa posisi penyair sering kali berada di titik paling rentan dalam ekosistem sastra.
“Penyair adalah sastrawan yang paling miskin,” ujarnya. Dengan nada satiris, ia menyentil minimnya perhatian institusional.
“Seenggaknya, kasihlah pajak untuk penyair—biar bisa diakui negara,” katanya.
Nyaris serupa, Mahfud Ikhwan yang dikenal sebagai novelis dan esais mengakui bahwa sangat sedikit sastrawan di Indonesia yang benar-benar bisa hidup layak dari karyanya.
“Kebanyakan sastrawan kita tidak hanya gagal secara pasar, tapi juga dalam menemukan sistem dukungan yang adil,” ungkapnya.

Ia menyinggung ketimpangan relasi antara penulis dan penerbit, serta tabu yang menyelimuti pembicaraan seputar upah, royalti, dan distribusi pendapatan. “Masalah ini nyata, tapi sering tidak dibicarakan,” tambahnya.
Sementara itu, Himas Nur membawa perspektif generasi muda yang lebih beragam. Ia mempertanyakan generalisasi dalam frasa “nasib sastrawan” yang sering luput mengakui perbedaan pengalaman berdasarkan usia, kelas sosial, hingga gender.
“Nasib sastrawan yang mana, nih? Karena faktanya, generasi sastrawan itu beragam,” ujarnya.
Ia menyoroti bagaimana banyak sastrawan muda, terutama perempuan dan nonbiner, menghadapi diskriminasi struktural dan harus bertahan hidup dengan pendapatan minim sambil terus berkarya. Menurut Himas, isu ini perlu terus dibicarakan karena belum menemukan solusi tuntas.
Diskusi yang dipandu oleh Ni Made Purnama Sari berlangsung terbuka dan dinamis. Sebagai moderator, ia memberi ruang luas bagi narasumber untuk menyampaikan pengalaman dan pandangan kritis, sekaligus membuka dialog dengan audiens.
Beberapa peserta turut menyoroti pentingnya dukungan komunitas dan kelembagaan dalam membangun keberlanjutan karier sastra.
Dukungan dari institusi
Bagaimanapun, institusi pemerintah juga harus ambil bagian dalam mendukung dan memperjuangkan kesejahteraan sastrawan.
Merespons dialog tersebut, Kepala Seksi Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Ismawati Retno, menyatakan bahwa kesejahteraan sastrawan menjadi variabel penting yang harus dibicarakan di samping perbincangan soal karya-karya mereka.
“Sastra bukan hanya soal estetika, tapi juga kehidupan yang dihidupi para penulisnya. Kita tidak bisa terus meromantisasi sastrawan tanpa membicarakan kesejahteraan mereka. Forum ini membuka ruang yang sangat dibutuhkan,” Ismawati.
Ismawati juga menegaskan, Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta berkomitmen untuk tidak hanya memberi ruang tampil bagi para penulis. Tetapi juga memperkuat ekosistem literasi melalui dukungan terhadap komunitas dan jejaring kerja yang lebih adil.
Sebab, menjadi sastrawan bukan hanya soal menulis dengan indah, tetapi juga perjuangan ekonomi, sosial, dan politik yang melekat dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Puisi-puisi yang Memberi Anugerah di Jogja, Ubah Jalan Hidup Seorang Kuli Jadi Penyair dan Cerita-cerita Lain atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












