MOJOK.CO – Filsuf Prancis Michel Foucault belakangan terungkap menggauli anak di bawah umur ketika berada di Tunisia. Lalu, bagaimana kita harus bersikap?
Seorang profesor berdarah Amerika-Prancis, Guy Sorman belakangan mengungkap bahwa semasa hidupnya Michel Foucault adalah seorang “pemerkosa” pedofilia. Pernyataan ini disampaikan kepada The Sunday Times beberapa hari yang lalu dan mengundang reaksi dari banyak pihak.
Guy Sorman mengetahui hal ini ketika melakukan wawancara kepada Foucault di Tunisia pada kisaran 1969. Alasan mengapa pelecehan seksual ini berlangsung di Tunisia selalu dikaitkan dengan elemen rasial dalam skandalnya. Sayangnya fakta ini baru terungkap puluhan tahun setelah kematian sang filsuf karena alasan yang cukup mengejutkan.
Beberapa wartawan, termasuk Guy Sorman dan media pada masa hidup Michel Foucault sebenarnya telah mengetahu sisi gelap dari sang pemikir. Tapi fakta ini diurungkan karena reputasi Michel Foucault sebagai “raja filsuf” ketika itu begitu diagungkan bak dewa.
Dalam pernyataannya, Sorman menceritakan bahwa ada anak berusia delapan, sembilan, dan sepuluh tahun. Anak-anak ini kemudian diberi uang oleh Foucault dan diajak bertemu “di tempat biasa” yang kemudian diketahui merupakan sebuah pemakaman. Soal consent hubungan seksual pun tidak disinggung.
“He would make love there on the gravestones with young boys. The question of consent wasn’t even raised.” pernyataan Sorman dikutip dari The New Arab.
Michel Foucault merupakan seorang filsuf yang pemikirannya banyak berpengaruh pada aktivis dan akademisi. Salah satu yang sering digunakan adalah teori tentang hubungan antara kekuasan dan pengetahuan dalam kaitannya dengan kontrol sosial. Walaupun ia juga pernah menandatangani petisi untuk legalisasi hubungan seks dengan anak usia 13 tahun ke atas.
Secara sederhana, perilaku Michel Foucault bisa dibilang menyalahi aturan-aturan di kepalanya sendiri. Pemikirannya tentang relasi kuasa, kontrol sosial, hingga consent pada hubungan seks seolah ambyar karena pemikirnya sendiri bahkan gagal mendisiplinkan perilakunya.
Ini bukan kali pertama nama besar tersangkut tindakan amoral. Beberapa tokoh dalam sejarah pemikiran seperti Gandhi pun tidak terlepas dari skandal. Menyikapi hal ini orang bisa begitu saja melupakan teori dan pemikirannya karena cenderung bertolak belakang dengan perilakunya. Sebagian, ada yang memilih tidak meneladani perilakunya namun menukil pemikirannya.
Dunia akademik dan aktivis sosial juga tidak terlepas dari relasi kuasa dan abuse of power. Pemikir dengan reputasi baik lebih mungkin melakukan hal itu. Namun, tentu saja sebagai kaum yang dianggap “lebih waras” dan bijaksana, kaum ini akan dianggap lebih berdosa jika memiliki perilaku amoral
Pembahasan ini juga sempat ramai di media sosial. Wisnu Prasetya Utomo membuka diskusi perihal bagaimana menyikapi tokoh-tokoh yang problematis. Respons netizen tentu begitu beragam dengan level kegamangan yang tidak main-main. Untuk menanggapinya, Laily Fitri, seorang feminis dan kolumnis juga membagikan tanggapannya di media sosial Twitter tentang hal ini.
Halo tweeps, bbrp hari yg lalu ada tweep yg bertanya ttg bgmana seharusnya qt merespon fakta bhwa banyak akademisi dg nama besar adl pelaku tindakan amoral dlm hidupnya? Contoh, kasus Foucault kemarin. Berikut respon sy ya. Nama Besar & Perilaku Amoral. #UtasPendek 1/
— Laily Fitry (@MahameruLee) March 31, 2021
Kejahatan yang dilakukan Michel Foucault jelas tidak bisa dimaafkan. Kita tidak bisa serta-merta memakluminya hanya karena ia memiliki pemikiran yang sangat berpengaruh dalam dunia sosial. Namun, soal menghapuskan semua teori-teorinya yang telah lama kita pakai adalah PR besar.
BACA JUGA Surat Terbuka untuk Atta Halilintar yang Pengin Punya 15 Anak dan artikel KILAS lainnya.