MOJOK.CO – Rezim Orde Baru melakukan operasi Petrus sepanjang tahun 1982-1985. Mereka menargetkan para gali yang konon mengganggu ketertiban masyarakat. Korban pertama Petrus ada di Jogja.
Sepanjang 1983, berita ditemukannya mayat yang bergeletakkan di tepi jalan, di bawah jembatan, atau di area persawahan, sudah menjadi keseharian bagi warga Jogja. Kebanyakan dari mereka kondisinya dalam keadaan babak belur. Dan yang pasti, orang-orang tak bernyawa ini memiliki tato di atas kulitnya.
Memang, periode 1980-an menjadi masa di mana penembakan misterius alias “Petrus” mencari mangsanya. Operasi yang pemerintah klaim untuk “menjaga stabilitas masyarakat dari premanisme” ini kabarnya pertama kali muncul di Jogja.
Wahyono, gali asal Jogja, dianggap sebagai korban pertama Petrus. Ia merupakan satu dari 8 ribu lebih orang yang nyawanya hilang dalam operasi yang pemerintah Orde Baru lakukan sepanjang 1982-1985.
Mula-mula Petrus di Jogja
Petrus merupakan operasi rahasia pemerintah Orde Baru dalam merespons tingginya angka kriminalitas jalanan, khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah pada 1980-an. Para korban sendiri umumnya merupakan orang-orang bertato, yang pihak keamanan afiliasikan dengan preman, serta para residivis.
Di Jogja sendiri, operasi Petrus bermula saat Komandan Kodim Jogja Letkol M. Hasbi melancarkan operasi pemberantasan kejahatan (OPK). Mengutip harian Kedaulatan Rakyat edisi 5 April 1983, kala itu Hasbi memberi ultimatum kepada semua kelompok penjahat atau gali untuk menyerahkan diri.
”Kepada semua penjahat, baik perorangan maupun yang menggabungkan diri dalam geng atau kelompok tertentu agar segera menyerahkan diri kepada alat negara,” seru Hasbi dalam imbauannya.
Namun, beberapa malam sebelum Hasbi melancarkan ultimatumnya, terdengar serentetan tembakan di kompleks Rehabilitasi Sosial Sanggrahan (kini jadi Terminal Giwangan) pada pukul 10 malam. Paginya, mayat bos gali di Jogja, Wahyono, ditemukan tergeletak di tengah jalan.
Yustina Devi Ardhiani dalam penelitiannya berjudul “Potret Relasi Gali-Militer di Indonesia” menemukan, setelah kematian Wahyono, banyak kelompok yang bersolidaritas. Saat itu, pelayat datang dari berbagai daerah seperti Solo dan Semarang.
Solidaritas tersebut, kata Yustina, adalah bentuk operasi lain untuk memancing para gali keluar dari sarangnya. Sebab, dalam pandangan Hasbi, para pelayat juga merupakan gangster yang terafiliasi dengan Wahyono.
Konon, para pelayat yang datang difoto oleh para intel untuk kemudian menjadi target-target Petrus berikutnya. Benar saja, setelah kematian Wahyono, bos-bos gali seperti Surgiyanto alias Kojur, Joko Tuko alias Tutuko, Mursio alias Manuk, Edi Widiarso, hingga Slamet Gaplek tewas di malam-malam berikutnya.
Berawal dari laporan bakul gudeg
Ada banyak versi yang menyebut terkait alasan pemberlakukan OPK di Jogja. Salah satu versi menyebutkan bahwa OPK berawal dari laporan bakul gudeg.
Sebelum tewasnya Wahyono, seorang pejabat berkunjung ke warung gudeg langganannya yang konon penjualnya adalah salah satu demenannya. Bakul gudeg ini kemudian melapor kalau hampir tiap malam, mendapat gangguan oleh kelompok gali. Kebetulan, daerah tersebut merupakan wilayah kekuasaan kelompok Wahyono.
Meski demikian, versi resmi yang pihak militer Jogja ungkap menyebutkan bahwa “perang” terhadap gali ini adalah upaya untuk memberi perlindungan pada masyarakat.
Caranya, para gali mereka berikan shock therapy—dengan pembunuhan diam-diam dan membuang mayatnya di sepanjang jalan. Operasi ini rencananya hanya akan berlangsung tiga minggu. Selanjutnya, para gali diminta untuk menyerahkan diri dan kemudian “dibina” di dinas sosial.
Terlepas dari apapun versinya, yang jelas Petrus merupakan salah satu kejahatan HAM masa lalu yang penyelesaiannya belum kelar hingga hari ini. Presiden Jokowi sendiri memasukan Petrus sebagai satu dari 12 pelanggaran HAM berat dalam pidatonya awal tahun ini.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Kisah 3 Korban Petrus selama OPK Jogja 1983-1984
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News