MOJOK.CO – KPK masih dinilai oleh Presiden Jokowi kerja dengan sporadis sehingga perlu dievaluasi. Di sisi lain, Jokowi menilai hukuman mati bisa diberlakukan untuk koruptor.
Dalam rangka memperingati Hari Antikorupsi pada 9 Desember, Presiden Jokowi memilih untuk tidak hadir di kantor KPK. Jokowi terlihat lebih memilih hadir di SMK 57, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Hal ini tentu jadi pertanyaan banyak pihak, mengingat selama lima tahun ke belakang Jokowi selalu mendatangi kantor KPK kalau memperingati Hari Antikorupsi. Dalam kunjungan tersebut, Presiden membahas tiga hal penting. Yakni penindakan, rekrutmen politik, dan mengenai KPK.
“Kita fokusnya di mana dulu? Jangan semua dikerjakan. Tidak akan menyelesaikan masalah. Evaluasi-evaluasi seperti inilah yang kita mulai koreksi, evaluasi, sehingga betul setiap tindakan itu ada hasilnya yang konkret yang bisa diukur,” kata Jokowi.
Dalam peringatan tersebut Jokowi juga menegaskan agar penindakan korupsi jangan sampai dilakukan secara sporadis.
“Mengenai fokus di KPK, apakah perbaikan di sisi eksekutif daerah atau sisi pemerintah pusat atau kepolisian atau kejaksaan sehingga harus ditentukan fokusnya, sehingga tidak sporadis. Evaluasi sangat perlu,” tambah Jokowi.
Pernyataan Jokowi ini segera direspons oleh Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif. Menurut Laode, selama ini KPK malah tak pernah sporadis.
“Saya pikir kalau program pencegahan KPK itu tidak sporadis, karena pekerjaan KPK sudah ditentukan di dalam undang-undang,” kata Syarif.
Bahkan menurut Syarif, KPK sudah mengerjakan penindakan, pencegahan, sampai koordinasi seperti yang sudah diamanatkan oleh undang-undang.
“Untuk pencegahan sendiri, KPK itu melaksanakan peraturan presiden tentang pencegahan korupsi starnas korupsi, sporadisnya di mana? Itu sudah sangat terkonsep, terkoordinir. Karena itu, kami menjalankan stranas. Bahkan kami melaporkan keberlanjutan capaian dari stranas,” tambah Syarif.
Meski begitu, KPK mengaku terbuka jika memang Jokowi ingin mengevaluasi KPK. Apalagi, Ketua KPK, Agus Rahardjo mengaku memposisikan KPK yang sekarang sebagai pendengar pemerintah yang baik.
“Kita sudah sampaikan, kita lebih banyak mendengar. Kita melakukan evaluasi. Kita lebih banyak mendengar. Anda tahu? Paling tidak ada 3 menteri, ada 3 gubernur, kemudian dari penegak hukum kita tanya pendapatnya. Di situ pimpinan akan merumuskan, kemudian akan menentukan langkah dan mudah-mudahan ini akan dilanjutkan oleh pimpinan (KPK) selanjutnya,” kata Agus Rahardjo.
Selain membahas soal fokus KPK, Jokowi juga menjawab pertanyaan salah satu anak SMK. “Mengapa negara kita mengatasi korupsi tidak terlalu tegas? Kenapa nggak berani di negara maju? Misalnya dihukum mati, kenapa (di) kita penjara? Tidak ada hukuman mati?”
Menurut Jokowi hukuman mati sangat memungkinkan. Dalam undang-undang juga disebutkan kala hukuman mati bisa berlaku untuk korupsi
“Kalau korupsi bencana alam, dimungkinkan. Kalau nggak, tidak. Misalnya ada gempa, tsunami, di Aceh atau di NTB kita ada anggaran untuk penanggulangan bencana, duit itu dikorupsi, bisa (dihukum mati),” kata Jokowi.
Menurut Yasonna H. Laoly, Menteri Hukum dan HAM, hukuman mati untuk para koruptor sendiri masih wacana.
“Kami lihat saja dulu perkembangannya. Kan ini masih wacana,” kata Yasonna.
Sampai saat ini, Yasonna hanya berani mengklarifikasi bahwa sejauh ini belum ada ada rencana revisi UU Tipikor, agar hukuman mati bisa bakal diberlakukan.
“Belum, belum, kan belum ada revisi. Nanti kalau ada guliran itu kita pertimbangkan,” tambahnya.
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Sedangkan “keadaan tertentu” yang dimaksud dijelaskan di ayat berikutnya:
Pasal 2 ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Meski begitu, sejak ada pasal ini pun, belum ada satu pun koruptor yang akhirnya bisa diseret ke hukuman mati. Kira-kira kenapa tidak ada hakim yang berani?
Kalau merujuk pada data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak 2012 sampai 2019, sudah ada 20 hakim yang tertangkap KPK. Uniknya, beberapa hakim yang ditangkap KPK ini sedang disuap saat sedang menangani kasus korupsi pula. Wedyan.
Hakimnya aja ada yang doyan suap dari pelaku korupsi, mana bisa bakal ada vonis mati. Ini mah ibarat pepatah memasukkan benang basah ke dalam lubang pori-pori plankton. (D/F)
BACA JUGA Belajar Menghukum Koruptor Sampai Ke Negeri Cina atau kabar terbaru lainnya di rubrik KILAS.