MOJOK.CO – Yogyakarta termasuk kota yang memiliki banyak jalur kereta api. Selain jalur utama menuju ke Timur dan Barat, Jogja punya jalur Utara dan Selatan, yakni jalur Yogyakarta–Secang dan jalur kereta api Yogyakarta–Palbapang–Sewugalur
Jalur kereta api Yogyakarta–Palbapang–Sewugalur masih bisa ditelusuri dari Stasiun Ngabean (non aktif) yang terletak di dalam kompleks Terminal Ngabean. Sejumlah relnya masih bisa dilihat meski sebagian besar sudah menyaru bangunan lain seperti rumah warga, trotoar, dan tertutup aspal.
Lahir berkat kejayaan pabrik gula di masa lalu
Keberadaan jalur ini tidak bisa dilepaskan dari kejayaan komoditas tebu di masa lalu. Saat itu, tercatat ada empat pabrik gula di sekitar Bantul, tepatnya di Padokan (Pabrik Gula Madukismo), Gesikan, Pundung, dan Gondang Lipuro.
Keberadaan pabrik gula kemudian mendorong para pengusaha swasta mengajukan konsesi pembangunan jalur kereta api yang tertuang dalam Gouvernement Besluit No.9 Tahun 1893.
Pembangunan jalur ini dilakukan secara bertahap oleh perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Jalur Yogyakarta (St. Tugu)–Srandakan sepanjang 23 km dibangun terlebih dahulu. Jalur ini mulai beroperasi pada 1895.
Kemudian menyusul digarap jalur Srandakan–Brosot sepanjang 2 km yang mulai beroperasi pada 1915. Dan dilanjut dengan pembukaan jalur menuju Sewugalur sepanjang 5 km pada 1 April 1916, jalur ini melintang di atas Sungai Progo.
Pembukaan jalur ini diikuti dengan dibangunnya sejumlah stasiun kecil. Beberapa di antaranya ialah Stasiun Ngabean, Dongkelan, Winongo, Cepit, Bantul, dan Palbapang. Fungsinya untuk memperpendek jalur pengangkutan kereta api uap berbahan bakar batu bara.
Jalur perekonomian yang berubah jadi jalur mati
Di era penjajahan Jepang, sejumlah jalur kereta api di Pulau Jawa dihapuskan. Jalur Palbapang–Sewugalur sepanjang 15 termasuk yang jadi korban pembongkaran, yakni pada 1943. Pembongkaran ini dilakukan oleh pekerja romusha Jepang.
Pasca-kemerdekaan 1945, pengolaan kereta api terbagi menjadi dua. Di daerah yang dikuasai negara dipegang oleh Djawatan Kereta Api (DKA), sementara di daerah yang dikuasai belanda dikelola oleh Verenogde Spoorwegbedrijf (VS)/Staats Spoorwegen (SS).
Setelah pengakuan kedaulatan penuh pada 27 Desember 1949 terjadi banyak perubahan dalam pengelolaan kereta api. Pada 1959, sejumlah aset dari 12 perusahaan kereta api swasta Belanda VS diambil alih dan dikelola oleh DKA. Perkeretaapian terus mengalami perkembangan pasca proklamasi.
Namun, dalam perjalanannya, terdapat sejumlah kendala yang dihadapi PT KAI. Mulai dari maraknya penumpang gelap, kerusakan lokomotif dan rel, hingga kalah bersaing dengan angkutan pribadi dan umum. Kendala tersebut mencapai klimaksnya pada era 70-an.
PT Kereta Api terpaksa harus menutup sejumlah jalur dan stasiun kecil yang secara ekonomi tidak menguntungkan. Salah satu yang dikorbankan ialah jalur Yogyakarta–Brosot yang mulai tidak beroperasi sekitar tahun 1976-1977. Meski begitu, angkutan tebu dari Pabrik Gula Madukismo masih dijalankan hingga tahun 1980-an. Kini, jalur-jalur tersebut masih bisa ditelusuri meski statusnya sudah tidak aktif lagi.
Penulis: Iradat Ungkai
Editor: Purnawan Setyo Adi