MOJOK.CO – Apa yang dikhawatirkan oleh penentang UU KPK yang baru menemui gambarannya. KPK tak bisa segel kantor DPP PDIP karena terkendala legal formal.
Diawali dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang menjerat Komisoner KPU, Wahyu Setiawan dan salah satu caleg PDIP, Harun Masiku, pada 9 Januari 2019, PDIP dan KPK akhirnya malah saling perang wacana.
Hal ini terkait dengan berhasil lolosnya Harun Masiku dari OTT KPK dan penyidikan lanjutan KPK yang terkendala perkara legal formal.
Beberapa jam usai OTT, KPK bergerak ke Kantor DPP PDIP untuk melakukan penyegelan. Apa daya, upaya ini dihalang-halangi pihak PDIP. Alasannya, KPK tidak membawa surat izin dari Dewan Pengawas KPK.
Dalam UU KPK terbaru yang dibela mati-matian oleh Arteria Dahlan dkk itu, memang disebutkan pada Pasal 37B ayat (1) huruf b, yang berisi “Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.”
Karena tak mengantongi surat izin tersebut, penyidik KPK akhirnya harus menunggu sampai 10 Januari petang, alias sehari setelahnya.
Proses penggeledahan pun tidak dilakukan pada hari ketika izin terbit (karena sudah Jumat malam), melainkan pada hari kerja berikutnya (karena Sabtu dan Minggu libur, jadi paling cepat dilakukan pada hari Senin).
Lemotnya KPK ini membuat banyak pihak jadi gerah. Dari Mantan Ketua KPK, Abraham Samad, sampai Indonesia Corruption Watch (ICW).
Tujuan penggeledahan itu agar menemukan bukti hukum secepat2nya. Itulah mengapa sebelum ini, OTT dan geledah itu selalu barengan waktunya. *ABAM pic.twitter.com/azge1qBGti
— Abraham Samad (@AbrSamad) January 12, 2020
OTT yg tdk disertai penggeledahan pada waktunya, tdk saja menyimpang dari SOP, tp membuka peluang hilangnya barang bukti, petunjuk, dan alat bukti lain. Ini sama dgn memberi waktu pelaku kejahatan buat hilangkan jejak. *ABAM
— Abraham Samad (@AbrSamad) January 12, 2020
Hal yang sama juga dikeluhkan oleh ICW. Menurut Kurnia Ramadhana, Peneliti ICW, tim KPK jadi lambat karena terganjal aturan baru dalam UU KPK.
“Padahal dalam UU KPK lama, untuk melakukan penggeledahan yang sifatnya mendesak tidak dibutuhkan izin terlebih dahulu dari pihak manapun,” kata Kurnia.
Hal ini semakin menunjukkan bahwa kekhawatiran banyak pihak soal UU KPK yang baru benar-benar mewujud dalam bentuk paling jelas. Tidak ada penguatan KPK sama sekali seperti yang digadang-gadang Arteria Dahlan dkk.
“Dengan kondisi seperti ini dapat disimpulkan bahwa narasi penguatan yang selama ini diucapkan oleh Presiden dan DPR hanya ilusi semata,” tambah Kurnia.
Meski begitu, pihak PDIP tidak tinggal diam dengan rencana penyidik KPK masuk ke kantornya. Melalui Masinton Pasaribu, Anggota DPR RI Komisi III ini menyebut tindakan KPK itu ilegal. Bahkan Masinton menuduh kalau tindakan KPK ini bermuatan politis.
“Tindakan mereka (KPK) adalah tindakan ilegal, untuk mendiskreditkan PDI Perjuangan. Saya simpulkan sebagai motif politik dan bukan untuk penegakan hukum,” kata Masinton.
Dalam UU yang baru, KPK memang harus membawa surat izin tersebut agar bisa jadi tindakan legal hukum.
“Mereka (KPK) tidak mampu menunjukkan surat tugas dan legalitas formal yang diatur jelas sesuai hukum acara pidana dan perundang-undangan yang berlaku,” tambah Masinton lagi.
Tentu saja, Masinton mendasari pernyataan ini dari UU yang disepakati sendiri oleh teman-temannya di DPR dulu. Terutama pada poin kalau KPK mau geledah atau menyadap harus izin Dewan Pengawas dulu.
Kalau ternyata Dewan Pengawas KPK ini dipilih oleh Presiden, dan kok ndilalah Presiden sekarang disokong oleh PDIP. Ah, itu kan cuma kebetulan aja. (DAF)
BACA JUGA Butuh Pembenaran kalau UU KPK Memang Perlu Direvisi? atau tulisan rubrik KILAS lainnya.