Suara anak-anak kerap kali diabaikan. Padahal, dengan kejujuran dan kemurnian hati, gagasan anak-anak bisa memberi energi perubahan yang besar. Oleh karena itu, Wali Kota Semarang, Agustina, mencoba menampung gagasan-gagasan dari mereka.
***
Kamis (21/8/202) lalu, suasana Balaikota Semarang terasa hangat dan penuh semangat. Hari itu berlangsung acara Konferensi Anak yang merupakan bagian dari peringatan Hari Anak Nasional 2025, pada Kamis (21/8).
Acara ini dihadiri oleh Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Veronica Tan dan Agustina, Wali Kota Semarang.
Dalam kesempatan itu, Agustina tak luput memberi apresiasi terhadap anak-anak Kota Semarang. Sebab, anak-anak telah memberi gagasan-gagasan penting perihal pembangunan Kota Semarang agar menjadi kota ramah anak.
Anak-anak Kota Semarang bicara perundungan hingga narasi inklusi
Dunia anak-anak bukannya dunia bersenang-senang belaka. Ada beragam isu yang beririsan dengan mereka.
Misalnya dalam konteks yang disampaikan oleh anak-anak Kota Semarang. Mereka menyampaikan aspirasi perihal perundungan, pengakuan prestasi non-akademik, serta perlunya ruang dan dukungan bagi anak-anak disabilitas.
Salah satu anak yang mencuri pusat perhatian adalah Keysha. Dia menggagas komunitas orang tua dengan anak disabilitas untuk bersama mendampingi dan mengembangkan potensi anak-anak mereka.
“Keysha luar biasa karena tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga teman-temannya. Semangat seperti inilah yang harus kita dukung bersama,” ujar Agustina.

Saat ini, tercatat Kota Semarang telah memiliki enam dari target 16 Rumah Inspirasi dan Rumah Bersama Indonesia di tingkat kecamatan. Rumah ini menjadi ruang khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Oleh karena itu, Agustina merasa perlu mendampingi anak-anak seperti Keysha. Dia berkomitmen, Pemerintah Kota akan menyediakan beasiswa bagi anak-anak berprestasi dan membangun pusat kegiatan anak di setiap kecamatan.
Perhatian terhadap hak dan aspirasi anak-anak
Sementara itu, Wakil Menteri PPPA Veronica Tan menyebut, kehadiran negara melalui pemerintah pusat dan daerah adalah bukti nyata perhatian terhadap hak-hak dan aspirasi anak-anak. Dia menekankan pentingnya penyediaan ruang publik yang layak dan ramah anak.
“Anak-anak harus punya ruang olahraga, ruang ekspresi seni, amphitheater kecil, tempat bermain hingga ruang keluarga. Itu adalah bentuk lingkungan positif yang mampu mengalihkan anak dari paparan negatif, seperti media sosial yang tidak sehat atau konten digital berbahaya,” ungkapnya.
Selain juga penyediaan pusat-pusat kegiatan anak yang inklusif dan menyeluruh. Kehadiran ruang-ruang tersebut diharap bisa mendorong anak-anak untuk menunjukkan prestasi di lingkungan sendiri.
Jangan hanya pintar, tapi juga berbudi dan berempati
Di atas adalah rentetan pembangunan infrastruktur fisik. Tapi itu saja tidak cukup bagi Veronica.
Pendidikan karakter menjadi bagian penting yang juga tak boleh luput. Sebab, sepintar apa pun seseorang, tanpa budi pekerti dan empati, semuanya akan sia-sia. Oleh karena itu, Veronica heran betul karena masih ada saja guru atau tenaga pendidik yang menyepelekan isu perundungan.

“Kalau guru saja sudah mendegradasi moral, bagaimana anak-anak akan merasa aman di sekolah,” katanya.
Maka, dia menekankan agar agar kegiatan ekstrakurikuler dan prestasi non-akademik dapat diakui secara adil dalam sistem pendidikan.
“Masa kalau pintar nyanyi tidak dinilai, padahal itu juga bentuk prestasi,” tambahnya.
Bagi Veronica, sudah selayaknya anak-anak tidak hanya dijadikan sebagai objek pembangunan, tapi juga subjek. Sebab, anak-anak adalah generasi masa depan, generasi AI, generasi perubahan.***(Adv)
BACA JUGA: Pilihan Kota Semarang Berpihak pada Masyarakat: Tak Naikkan PBB dan Ringankan Beban Pajak atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












