MOJOK.CO – Palestina mempertanyakan rasa kemanusiaan negara-negara pendukung Israel, terutama Amerika Serikat, atas pelanggaran hak asasi manusia Israel. Termasuk pada kasus tewasnya jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh, disusul prosesi pemakamannya yang juga diwarnai tindakan kekerasan dari aparat Israel.
Hal itu disampaikan Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al Shun, saat memberikan kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII), Selasa (16/5). Dalam kuliah bertajuk ‘The Future of Palestine: Paving the Way for Sustainable Peace’ itu, Zuhair juga menggarisbawahi perjuangan Palestina kini yang dilanjutkan generasi muda.
“Kasus Shireen menjadi sorotan kita dalam melihat penjajahan Israel sekarang ini. Ke mana perginya rasa kemanusiaan itu? Hak asasi manusia tiba-tiba tidak kelihatan. Israel terus melanggar aturan-aturan internasional,” kata Zuhair dalam kuliah berbahasa Arab.
Ia menjelaskan pendudukan Israel di Palestina telah berlangsung selama 74 tahun. “Sejak itu 6,5 juta warga Palestina jadi pengungsi, tersebar di dunia, dan merasakan penderitaan,” katanya.
Menurutnya, kezaliman Israel itu dipicu kebohongan dan konspirasi politik sejumlah negara yang mengakui Israel berhak atas tanah Palestina. “Ada beberapa kekuatan yang sejak awal mendukung penjajahan Palestina. Ini karena Palestina letaknya strategis dan memberi keuntungan,” imbuh Zuhair.
Zuhair menyatakan Israel awalnya sempat berencana menduduki daerah Victoria, Uganda. Amerika Serikat pun sempat mendukung rencana ini. Namun langkah ini urung dilakukan.
“Zionis menganggap daerah itu jauh dari peradaban dan tidak strategis. Mereka akhirnya memilih Palestina,” ujarnya.
Ada keseriusan Israel untuk terus menggempur dan menzalimi Palestina. Tapi orang Palestina tidak gentar dan tidak menyerah.
Bahkan, kata Zuhair, pada 1960-an seorang menteri Israel sempat ‘meramal’ bahwa orang-orang Palestina akan cepat mati, sedangkan anak-anak muda tidak siap untuk memperjuangkan negerinya.
Faktanya, menurut Zuhair, mereka yang berjuang sekarang anak-anak muda kelahiran 1980-1990-an. Mereka merebut hak-hak yang dirusak oleh konspirasi politik negara-negara Barat.
Dalam catatan sejarah, Zuhair menjelaskan, Deklarasi Balfour 1917 oleh Inggris menjadi landasan pendudukan Israel. Saat itu, Inggris yang menduduki Palestina mengirim surat untuk menyerahkan negeri itu sebagai rumah bangsa israel. “Ini jadikan zionis merasa memiliki hak dan dukungan,” katanya.
Upaya rekonsiliasi sempat dilakukan dengan pembagian wilayah Palestina yakni 56 persen untuk Israel dan 44 persen Palestina. “Namun Israel malah melakukan okupansi dengan mengambil wilayah untuk Palestina itu hingga 78 persen. Sisanya yang tinggal 22 persen pun dibuat tidak nyaman dengan terus digempur,” ujar Zuhair.
Sejumlah perjanjian perdamaian yang digagas pun dilanggar Israel. Pada 1990-an, perjanjian perdamaian digelar Oslo, Norwegia. Demikian juga dengan perjanjian di Beirut, Lebanon, 2002.
Namun, menurut Zuhair, Israel lagi-lagi tak peduli dengan semua kesepakatan. “Israel itu tidak bisa diajak negosiasi,” tandasnya.
Pemimpin Palestina Yasser Arafat juga sempat menggalang dukungan dari 140 negara untuk mengakui Palestina. Namun upaya ini juga dikikis Irael dan mereka melawan Yaser.
Menurutnya, warga Palestina, baik yang beragama Islam maupun Kristen mendapat perlakuan buruk dari Israel. Tindakan ini melanggar banyak aturan internasional, seperti ketentuan soal kemanusiaan dan hak asasi manusia.
“Tapi ke mana orang-orang? Kenapa pelanggaran masih berjalan dan dibiarkan saja tidak disidang. Israel tetap menggempur. Ini tidak lain karena ada dukungan dari Amerika Serikat,” ujarnya.
Atas pelanggaran Israel itu, menurut Zuhair, Palestina tetap berjuang untuk mengembalikan hak secara baik dan konstitusional. Sebaliknya, Israel mengembangkan cara berpolitik yang “busuk”.
Menurutnya, situasi di Palestina tak ditemukan di tempat lain yang mengalami pelanggaran kemanusiaan. Zuhair menyinggung tindakan aparat Israel yang menyerbu Masjid Al Aqsa saat Ramadan lalu.
“Di tempat lain humanity disuarakan tapi soal Palestina semua bungkam. Saat Ramadan lalu mereka menerobos Al Aqsa. Ada yang salat dilempari api. Ini tidak tersebar luas,” katanya.
Zuhair menyebut adanya kekuatan superpower yang menjadi dalang konspirasi untuk mendukung Israel dan merebut Palestina. Di Palestina, warga beragama Islam dan Kristen menjadi korban.
“Tapi apakah (otoritas) Mekah dan Vatikan apakah turun tangan? Humanity jadi semacam omong kosong saja karena hingga kini kami masih merasakan penindasan,” ujarnya.
Ia mengapresiasi deklarasi dukungan untuk Palestina yang datang dari berbagai pihak. Namun menurutnya, deklarasi itu tak terlalu punya dampak.
“Ini selama negara dengan kekuasaan dan pengaruh diam saja. Amerika dan Eropa saja sekarang menyelesaikan konflik di Ukraina habis-habisan. Tapi untuk Palestina tidak ada apa-apa. Padahal kami mengalami (penjajahan) duluan,” tuturnya.
Namun Zuhair yakin dengan bantuan sejumlah negara dan berkah Tuhan, perjuangan mereka tak sia-sia. “Hak kami akan terjaga selama masih ada yg memperjuangkan Palestina sampai ada kemenangan. Israel, produk konspirasi politik itu, akan hilang selama ada bangsa yang tetap semangat membela hak-haknya.
Ia mengakui Palestina tak memiliki banyak sumber daya alam sebagai kekuatan negeri itu. Namun Palestina memiliki modal penting dari aspek sumber daya manusia, terutama kecerdasan sejumlah warganya.
“Banyak ilmuwan kami yang siap kembali untuk membangun Palestina. Semua warga Palestina juga harus kembali ke tanah airnya,” katanya.
Sebelumnya, Rektor UII Fathul Wahid menyatakan kuliah umum ini merupakan bentuk dukungan atas perjuangan Palestina dalam menghadapi penjajahan Palestina. Bukan hanya kuliah umum ini, selama beberapa tahun UII juga telah menggalang dukungan untuk Palestina.
Antara lain melalui program UII Peduli dalam bentuk penggalangan dana, seperti lewat gelaran konser penyanyi Maher Zain. Sejak 2020, UII juga menerima mahasiswa dari Palestina.
Sebelum kuliah umum, UII juga menyerahkan donasi Rp100 juta untuk Palestina. “Doa kami untuk keselamatan warga Palestina,” kata Fathul.
Reporter: Arif Hernawan
Editor: Purnawan Setyo Adi