MOJOK.CO – Daftar kasus kekerasan seksual terhadap anak bertambah panjang. Calon pendeta berinisial SAS (35) di Kabupaten Alor, NTT diduga telah melakukan kekerasan seksual terhadap belasan korban yang mayoritas masih di bawah umur.
SAS diduga melakukan kekerasan seksual sejak Mei 2021 hingga Maret 2022. Sejauh ini diketahui ada 14 orang menjadi korban. Sepuluh korban adalah anak berusia di bawah 17 tahun. Empat lainnya remaja berusia di bawah 19 tahun.
Kasat Reskrim Polres Alor Iptu Yames Jems Mbau di Kupang mengungkapkan, selain kekerasan seksual, beberapa korban direkam video dan foto dalam keadaan telanjang.
“Hasil pengakuan para korban dan tersangka, sebelum melakukan aksi asusilanya tersangka merekam video para korban,” ujarnya seperti dikutip dari Antara, Kamis (15/9/2022). SAS pun mengancam akan menyebarkan video dan foto itu apabila korban melaporkan perbuatannya.
Polres Alor menyatakan pelaku terancam hukuman mati. SAS dijerat pasal 81 ayat 5 Jo Pasal 76 huruf d Undang-undang nomor 17 tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak menjadi Undang-undang.
Tersangka juga dikenakan pasal pemberatan karena korban lebih dari satu orang. Selain terancam hukuman mati atau seumur hidup, tersangka juga terancam pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lambat 20 tahun. Atas aksinya merekam dan memotret para korban, SAS bisa juga ditambah pasal 27 ayat 3 UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kronologi pengungkapan
Mengutip laman resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indoneia (KemenPPPA), kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh tokoh agama itu bisa terungkap karena para korban bersama sinode dan pendeta gereja melaporkannya ke kepolisian setempat.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Nahar memaparkan, awalnya terdapat sembilan orang korban yang melapor ke Polres Kabupaten Alor. Setelah dilakukan penelusuran, terdapat seorang korban lainnya yang diduga mengalami persetubuhan dan dua orang diduga mengalami pencabulan atau percobaan kekerasan seksual.
“Pelaku diduga melakukan tipu muslihat dan rangkaian kebohongan terhadap para korban sebelum melakukan persetubuhan tersebut. Selain itu, ada dugaan pelaku memvideokan kejadian tersebut,” jelas Nahar seperti dikutip dari www.kemenpppa.go.id, Kamis (15/9/2022). Belakangan diketahui, jumlah korban SAS bertambah menjadi 14 orang.
Nahar menjelaskan, kasus terjadi di kompleks rumah ibadat di Kabupaten Alor. Saat itu pelaku tengah bertugas memberikan peribadatan sekolah minggu.
“Korban adalah anak-anak yang mengikuti sekolah minggu di rumah ibadat tersebut. Diduga pelaku mengajak para korban untuk datang, kemudian melakukan persetubuhan secara bergantian dan berulang kali pada waktu dan tempat yang berbeda,” ujar dia.
Setelah selesai menjalankan tugas sebagai calon pendeta di Kabupaten Alor, pelaku pindah ke Kupang. Pihak sinode pun memberitahu pendeta gereja terkait kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku.
“Pendeta gereja mencari tahu kebenaran informasi dugaan kekerasan seksual tersebut kepada para korban kemudian melapor ke Polres Kabupaten Alor tanggal 1 September 2022,” ujar Nahar.
Nahar sangat mengapresiasi keberanian korban dan saksi melaporkan kasus ini. Menurutnya kasus kekerasan seksual seperti gunung es, banyak kasus yang tidak terungkap. Perlu keberanian korban dan saksi untuk menuntaskan kasus kekerasan seksual yang terjadi. Sehingga pelaku mendapat hukuman sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Mengutip data dari KemenPPPA, sebanyak 16.875 kasus tercatat sepanjang tahun 2022. Lebih dari separuh dari jumlah tersebut atau tepatnya 56,6% kasus, korbannya masih berstatus usia anak.
Sumber: Antara, kemenpppa.go.id
Penulis: Kenia Intan