Sebagai seorang anak yang memiliki amak orang Minang, rendang adalah makanan yang sudah lebih dari sering masuk ke dalam mulut ambo.
Dari dulu saat masih di Indonesia sampai sekarang saat sudah di Malaysia, rendang amak tetap tidak berubah; kering agak kental, cokelat menyelerakan, dan punya rasa yang begitu kuat. Satu-satunya perbedaan pada rendang amak ketika di Indonesia dan di Malaysia adalah dulu amak kerap menambahkan kentang bulat kecil seukuran ibu jari yang juga ia aduk bersama dengan daging.
Kini tidak ada, karena kentang seperti itu harganya mahal minta ampun di Malaysia.
Di Malaysia, sebenarnya juga ada rendang. Tapi amak sangat enggan menyebutnya rendang. Amak lebih suka menyebutnya sebagai kalio daging. Memang, rendang khas Malaysia hanya namanya saja rendang, namun jauh berbeda dengan rendang asli Minang. Amak pernah mencoba memberikan rendang masakannya kepada salah seorang kawan Melayunya. Hasilnya? Yah, kurang berkesan di hati amak.
“Rendang ni sedap jugak. Tapi saya rasa over-fried ni, kering sangat. Lepas tu, rendang tak bagi kerisek ke? Kenalah bagi kerisek,” begitulah kata si kawan.
Kerisek adalah sejenis pasta atau “mentega” khas Malaysia yang dibuat dari kelapa yang diparut lalu dipanggang, menghasilkan minyak-minyak timbul dari hasil panggangan itu. Kerisek biasa dicampur dalam gulai-gulai untuk lebih menguatkan lagi rasa agak berminyak pada gulai dan sedikit rasa manis ala kelapa, seperti pada kerabu.
Namun untuk ditambahkan ke rendang asli Minang, kerisek bukanlah pilihan yang bagus karena dapat mencegah rendang untuk bisa dimasak sekering mungkin dalam waktu yang lama. Kerisek malah akan membuat rendang (Minang) yang biasa (dan seharusnya) dimasak dalam waktu yang lama tenggelam dalam minyak.
“Membuat rendang Minang ini bukan sembarang memasak. Orang-orang dulu bisa membuat rendang sehari penuh, bahkan tiga hari, terus mengaduk campuran bumbu-bumbu dan daging sehingga kering. Rendang Malaysia adalah rendang masak cepat, mereka ingin menimbulkan rasa minyak dengan cara cepat, namun dengan mengurangi esensi bumbu-bumbuan, menghasilkan rendang yang lebih layak kita sebut gulai daging biasa. Maka itulah, mereka menggunakan kerisek,” ujar amak.
“Memangnya, seberapa pentingnya rendang yang kering dan berasa bumbu-bumbu kuat itu?” tanya ambo.
“Kalau kata nenek ang dulu, rendang itu semakin kering, semakin terlihat Minangnya. Rendang kering adalah jati diri orang Minang, di dalamnya ada sifat-sifat orang Minang yang patut dirasakan orang ketika memakannya. Jadi bukan sekadar memasak gulai daging dengan cepat saja. Orang Minang yang memasak rendang haruslah memasukkan jiwanya ke dalam makanan yang ia masak.”
“Memangnya, sifat-sifat orang Minang mana yang ada di dalam rendang, sehingga spesial sekali rendang Minang itu dari rendang lain seperti rendang Malaysia?”
“Yah, adalah beberapa. Tapi, biar amak jelaskan tiga di antaranya…”
Ketelatenan: Rela Menanti Asalkan dengan Tujuan yang Jelas
Sifat pertama yang dijelaskan oleh amak kepada ambo adalah ketelatenan orang Minang.
Rendang sepintas terasa seperti sebuah makanan yang cara memasaknya sederhana; aduk bumbu-bumbu dasar seperti bawang merah, bawang putih, cabai giling dan lainnya sehingga rata, campur dengan air dan santan kelapa, panaskan, masukkan daging, lalu aduk terus sehingga campuran bumbu mengering.
Tapi kenyataan di lapangan (baca: dapur) selalu lebih susah. Potongan daging harus pas, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, tidak terlalu tipis dan tidak terlalu tebal. Hal ini untuk memastikan esensi bumbu benar-benar menyerap ke daging tanpa menghancurkan daging itu sendiri karena terlalu lama tenggelam dalam campuran bumbu dan santan.
Lalu yang paling utama adalah cara mengaduk. Selang waktu antara satu adukan dengan adukan selanjutnya harus teratur. Lalu, besar apinya juga harus diatur secara berkala. Untuk mencapai sebuah derajat kekeringan yang “sempurna” tanpa membuat rendang terasa gosong, api harus dikecilkan ketika rendang sudah mulai kering. Adukannya pun tetap harus teratur supaya panas api dapat menyebar secara menyeluruh ke dalam seluruh daging.
Di sinilah ketelatenan orang Minang berada. Mereka adalah orang-orang telaten yang rela dan sabar melakukan sesuatu, asalkan dengan tujuan dan alasan yang jelas. Gampang bicaranya, dalam kesabaran mereka yang nampaknya begitu lembut, ada keyakinan kuat terhadap sebuah prospek bahwa dengan semakin lama mereka mengaduk rendang, semakin baiklah hasilnya.
Kalau kata orang barat, soft on the inside, hard on the inside.
Ekspresif: Senang Beramai-Ramai dan Bermain dengan Perasaan
Yang paling menggoda dalam rendang tentu adalah campuran rasanya yang menggoda. Hingga kini, ambo tidak bisa mengekspresikan dengan jelas rasa sebuah rendang, namun satu yang ambo tahu adalah rendang asli Minang itu lamak bana.
Campuran bumbu yang diaduk bersama santan itu adalah sebuah kesatuan rasa yang sungguh harmonis bagi lidah. Hasilnya pun membuat rasa rendang terpaku pada satu jenis rasa saja. Di sini, terlihat bahwa orang Minang itu juga perasa.
Maklumlah, untuk sebuah suku yang dikepalai seorang bundo kanduang, tentulah orang Minang memiliki sensitivitas seorang ibu. Dalam rendang, prinsip yang bekerja adalah “dari lidah, turun ke hati.”
Ramainya rasa rendang juga menjadi simbol kesukaan orang Minang untuk bakumpua basamo dan saling mangota, atau saling berbicara dengan perasaan masing-masing. Rendang seakan menjadi sebuah rumah gadang yang dijadikan oleh berbagai rasa sebagai tempat baralek dan bermain dengan lidah si penikmat.
Hemat: Selama Masih Ada, Makanlah Itu Dahulu
Yang ini ambo rasa tidak perlu dipertanyakan. Rendang, semakin kering ia semakin tahan lama. Itu pulalah alasan amak tidak mau menggunakan kerisek yang akan menenggelamkan rendang ke dalam genangan minyak. Sari minyak dari rendang timbul bukan dari minyak goreng, tetapi dari campuran bumbu dan santan, sehingga lebih tepat disebut sari bumbu.
Rendang kering dapat tahan selama beberapa minggu jika ditaruh di kulkas, dengan terus menerus dipanasi sebelum konsumsi. Karenanya tak usah heran jika suatu saat anda makan rendang di rumah makan Padang, anda akan merasa lebih tua, sebab rendang yang anda makan bisa jadi adalah rendang yang dibuat beberapa minggu sebelumnya.
Biasanya sekali amak masak rendang, ambo dan adik akan tetap menyantap rendang selama seminggu penuh. Apakah kami bosan?
Indak, doh. Lamak bana!