MOJOK.CO – Agama tak pernah mengekang kami. Kerudung di negeri ini bebas bergerak ke sana kemari seperti Tari Ratoh Jaroe dari Aceh pada Pembukaan Asian Games 2018 lalu. Yang mengekang cuma tafsir-tafsirnya saja.
Ketika lulus SD, saya meminta pendapat kepada Bapak perihal pilihan seragam ketika mengisi formulir pendaftaran masuk SMP. Bapak menyarankan agar saya berjilbab. Ketika saya bertanya kenapa, Bapak menjawab, “Biar lebih kalem. Biar jadi perempuan.”
Kenyataannya, saya tidak pernah merasa lebih kalem. Suara saya sudah setelannya keras, cempreng, gaya saya tetap pencilakan, dan saya jarang pulang ke rumah karena sering berkegiatan di banyak ekstrakurikuler sekolah.
Bertahun-tahun berstatus sebagai perempuan berjilbab, saya cukup kaget ketika berjumpa dengan teman dalam sebuah acara reuni. Kala itu, saya bicara dengan suara cukup keras dan tertawa lepas di forum. Tiba-tiba, ia menegur saya secara langsung, “Kalis, perempuan kok suaranya keras betul.” Teman saya itu bekerja di sebuah lembaga penghimpun dana umat. Dengar-dengar sih, di lingkungan tempatnya bekerja, ia cukup dihormati dan dipanggil ustaz, apalagi sekarang penampilannya memang lekat dengan aksesoris “nge”-ustaz.
Protes soal volume suara itu membawa ingatan kembali kepada harapan Bapak belasan tahun lalu agar saya jadi perempuan kalem lewat selembar jilbab. Kain panjang yang membalut tubuh perempuan ini, mau tak mau memang bukan hanya soal aturan yang mengikat yang fisik, lebih jauh lagi, ia juga mengontrol identitas gender perempuan.
Jika jilbab adalah konsekuensi penghambaan muslimah, maka di dalam sebuah ruang budaya pada tempat ayat perintah itu turun, muslimah yang memakai jilbab mendapat konsekuensi tambahan mulai dari suara dan gerak-gerik tubuh, dan tentu saja aktivitas yang ia perbuat. Jika suara saja tak boleh keras, perempuan lalu percaya bahwa tafsir agama tak mengijinkan ia menjadi pemimpin, yang nilainya setara dengan tafsir perempuan tak boleh menentukan keputusannya sendiri.
Jika perempuan telah berpasangan, ia akan disambut dengan ayat kepatuhan kepada suami, yang kadang-kadang setara dengan mengikuti apa saja keputusan suami. Seorang teman perempuan saya yang muslimah taat mengikuti tafsir ini. Saya senang, sebab menurutnya, itulah definisi kemuliaan.
Sampai saat ketika akun facebooknya hobi membagikan konten-konten provokatif dan ujaran kebencian secara kelewatan, saya yakin, ia tak mungkin melakukan aktivitas semacam itu. Mungkin karena sudah amat tertekan, ia akhirnya bercerita bahwa suaminya sering memakai akun facebook miliknya dipicu oleh ambisi politik golongan yang sudah amat berlebihan.
Akun suaminya telah sering diadukan warganet akibat aktivitas provokatif itu. Namun bukannya istirahat, akun istri yang kini justru jadi korban. Padahal, teman saya selayaknya banyak hijabers lain yang hobi berdagang online, perilaku tak menyenangkan dari akunnya tentu saja membuat banyak pelanggan tak nyaman.
Peristiwa bom Surabaya beberapa waktu lalu tentu masih lekat dalam ingatan. Seorang Ibu yang menginginkan janji berkumpul kembali dengan pasangan di surga setelah mati, patuh begitu saja dengan ajakan suami untuk menjadi ekstremis, kedua orang tua ini bahkan memanipulasi kesadaran dua anak balita mereka untuk ikut menjadi pembunuh lalu mati konyol bersama.
Upacara pembukaan Asian Games 2018 meriah dengan penampilan 1.600 penari dari 18 SMA se-DKI Jakarta. Dengan koreografer dan kostum oleh Deni Malik, Tari Ratoh Jaroe dari Provinsi Aceh yang semarak menandakan semangat dan gairah yang ingin dibawa dalam perhelatan akbar Asian Games 2018.
Banyak mata terpukau sebab menyadari betapa indah budaya Indonesia dan alangkah sayang jika keindahan ini kelak tak terlihat lagi. Saya menangkap hal lain yang tiba-tiba menghadirkan keharuan lirih. Seluruh penonton di Indonesia merinding melihat ribuan perempuan bergelombang. Betapa menyenangkan ketika perempuan tidak hanya dianggap sekadar aurat, sekadar bising, atau sekadar sisi emosional, melainkan sebagai subjek yang menguasai momentum.
Simbol-simbol yang tersaji dari pementasan tari Ratoh Jaroe adalah berita sejarah perihal perempuan muslimah di negeri yang berkerudung tetapi bebas menari. Kerudung di negeri ini memerdekakan pikiran, gerak badan, tangan, dan suara. Kerudung di negeri ini bertenaga. Kerudung di negeri ini adalah keindahan dan kasih sayang, bukan anak-anak perempuan dalam berita yang berkarnaval mengangkat senjata.
Kerudung di negeri ini penuh gradasi-gradasi warna yang amat elok. Para penari dengan mahkota warna emas yang semula mengenakan kostum warna keabuan, dengan ringkas dan mengejutkan berganti rupa mengenakan kostum warna jingga, lalu warna ungu dan warna-warna ceria lainnya.
Kerudung di negeri ini menyambut tangan lain untuk bekerja sama. Gerakannya cekatan menghentak dan bertepuk tangan penuh semangat. Kerudung di negeri ini menguatkan suara lain memekik ke udara. Perempuan di negeri ini pasti gelisah mendengar kabar perempuan lainnya menjadi korban kekerasan domestik, penggusuran lahan, sampai diskriminasi di tanah migran.
Kerudung negeri ini menangkap harmoni instrumen, nada, dan irama yang serupa isyarat masyarakat sekitarnya. Kerudung di negeri ini menyapa langsung kepada Allah dan memberi salam kepada Rasulullah dari Darussalam, tanah keselamatan, tanpa diwakilkan. Ia akan menggugat ustaz-ustaz masa kini yang merasa lebih memiliki otoritas tentang nasib surga perempuan melebihi perempuan muslimah dengan pengalamannya sendiri.
Kerudung di negeri ini setara di hadapan pencipta, punya suara yang sama kerasnya. Kerudung di negeri ini duduk tegap di panggung. Kerudung di negeri ini mencuri perhatian, bukan sebagai aurat dan aib tetapi laku yang menghasilkan kehidupan. Seperti Siti Hajar yang berlari-lari menggendong Ismail hingga menemukan sumber air suci dan seperti perawan Maria yang menjadi rahim bagi generasi penuh kasih sayang.
Kerudung di negeri ini menengok ke kanan dan ke kiri, maju dan mundur seirama panggilan hati.
Ini tradisi kerudung negeri ini… warisan budaya yang merupakan bukti nyata kekayaan bangsa sejak berabad-abad lampau. Selembar kain yang membalut tubuh perempuan tak membuatnya berhenti menyatu dalam gerak, sehingga jangan coba-coba gunakan kerudung negeriku ini sebagai alasan untuk membekukan apa saja dari tubuh dan jiwa kami apalagi semata memenangkan tafsir yang kau percayai.