MOJOK.CO – Bagaimana jadinya, jika program full day school dari Kementerian Pendidikan yang keren itu dikritisi oleh anak SMA? Nah lho, pihak terdampak akhirnya bicara.
Mulai tahun 2017 lalu, seluruh SMA se-DIY ikut-ikutan menerapkan full day school. Tepatnya saat semester kedua tahun pelajaran 2016/2017. Ini jelas berita yang baik sekaligus buruk. Baik untuk Kementerian Pendidikan, buruk untuk saya anak SMA.
Sebagai siswa yang suka libur tentu saya awalnya merasa sangat senang dengan penerapan full day school. Waktu libur menjadi makin banyak (Sabtu dan Minggu libur), otomatis waktu buat hangout bareng teman-teman juga makin banyak. Persetan dengan pulang sore! Sebelum full day school saya dan teman-teman juga selalu pulang sore kok. Ya, maklum kecintaan saya terhadap sekolah lebih besar daripada cinta saya terhadap rumah.
Awalnya saya merasa enjoy-enjoy aja dengan program full day school. Setiap Sabtu saya bisa main ke rumah temen dari pagi sampai pagi lagi. Atau bisa juga saya tidur dua hari berturut-turut tanpa mendapat gangguan.
Tapi lambat laun hal yang mencekam menghantui saya dan juga teman-teman saya. Kami mulai merasakan dampak membosankannya dari full day school. Bukan hanya satu atau dua, tapi banyak banget. Kenangan indah tentang tidur dua hari berturut turut hanya tinggal mimpi belaka. Realitas sesungguhnya jebul sangatlah creepy.
Setidaknya saya menemukan beberapa alasan mengapa full day school yang katanya membentuk karakter siswa teladan, beriman, dan berbudi pekerti yang baik hanya omong kosong belaka. Berikut beberapa alasannya.
Otak kami butuh istirahat juga lho, Bu, Pak.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, awalnya saya cuek dengan pulang sore setiap hari. Toh, sebelumnya saya juga selalu pulang sore. Tapi ternyata terdapat definisi berbeda antara pulang sore sebelum program full day school berlaku dengan saat full day school sudah diterapkan.
Sebelum full day school berlaku, pulang sore kami diisi kegiatan non akademik, macam ekstrakurikuler atau nongkrong (ya nongkrong kan juga nama kegiatan). Kami tidak merasa capek saat menjalankan kegiatan tersebut, malahan kami senang. Pikiran kami terasa plong, berjam-jam menghafal rumus-rumus lalu diakhiri dengan haha-hihi saat ekstrakurikuler atau nongkrong—beban hidup seperti hilang begitu saja.
Akan tetapi, saat full day school diterapkan, definisi pulang sore mengalami diferensiasi yang mahadasyat. Pulang sore kami diisi kegiatan belajar, belajar, dan belajar. Silakan bayangkan otak kami yang harus tetap segar menangkap materi dari jam tujuh pagi sampai jam empat sore.
Jangankan sampai jam empat, lha wong jam sebelas siang saja saya dan beberapa teman sering keblabasan nggambar peta Indonesia di meja sekolah ketika pelajaran berlangsung. Atau saat istirahat kedua, kami menggelar tikar di belakang kelas lalu tidur barengan (santai, kami semua laki-laki kok).
Guru-guru jadi manja.
(Sebelumnya saya mau minta maaf dulu ini. Untuk poin kedua ini nggak semua guru kok, Pak Kepala Sekolah. Saya jangan diskors ya, Pak? Cuma sebagian guru saja—sebagian besar, hehehe)
Percaya atau tidak, full day school bisa membuat guru jadi cenderung manja mengarah ke malas. Saat mulai materi pelajaran baru, beberapa guru biasanya akan langsung membagi kelas jadi beberapa kelompok. “Anak-anak, silakan cari sendiri materinya, lalu pelajari. Setelah itu kerjakan LKS ya?”
Ealah, kalau sekali dua kali sih mungkin tidak apa-apa. Akan tetapi karena keseringan begitu, tiba-tiba terbesit sebuah pertanyaan di benak saya. Lah terus tugas guru ngapain? Cuma kasih soal? Kalau gitu mendingan saya sekolah di ruangguru.com aja. Udah dijelasin masih dikasih soal pula. Ternyata teman saya yang pemberani juga punya pikiran persis dengan saya. Ia lantang bertanya pada guru yang sedang main hape menunggui anak didiknya yang sedang belajar mandiri.
“Jelasin dulu dong, Bu. Masak suruh belajar sendiri?” Begitu kira-kira ucapan teman saya. Sang guru lantas tersenyum tipis.
Si guru bangkit dari kursinya seraya berkata.
“Begini lho murid-murid saya tercinta. Bukannya saya nggak mau nerangin, tapi sekarang itu kita pakai kurikulum 2013, di mana siswa harus cari sendiri materinya. Tugas guru hanyalah sebagai fasilitator saja,” ucapnya penuh kemenangan.
Kami semua lantas terdiam. Kurikulum 2013 yang diproyeksikan diterapkan beriringan dengan full day school emang bikin pusing murid-murid seperti saya. Buat apa saya bayar SPP mahal-mahal kalau pada akhirnya malah otodidak juga belajarnya? Ya mendingan sekolah di Primagama aja deh kalau begini ceritanya.
Belum lagi dengan anjuran dari Pak Menteri yang katanya dengan diterapkannya full day school, guru dilarang kasih PR.
Halah, Mbelgedees! Pada akhirnya kami juga tetep dikasih PR yang segitu banyaknya dan tidak pernah kami kerjakan sebagaimana namanya. PR seharusnya dikerjakan di rumah, begitu kodratnya. Tapi coba deh baca ini dulu.
Kami pulang dari sekolah jam empat sore. Perjalanan saya pulang ke rumah kurang lebih setengah jam, jika tanpa macet dan saya bisa ngebut. Tapi Jogja sekarang ini macetnya sudah parah. Akhirnya saya nggak bisa ngebut lagi. Saya benar-benar sampai di rumah sekitar jam setengah enam.
Katakanlah untuk mandi, salat, dan makan sampai jam tujuh malem. Niatnya pada waktu itu mau ngerjain PR. Tapi otak saya udah nggak mampu. Rasa-rasanya sangat butuh istirahat. Masa ya mau seluruh waktu hidup saya sepanjang hari cuman buat belajar.
Kan sebagai remaja kami juga butuh waktu dengan keluarga (baca: teman). Juga kami tidak mau melewatkan berita tempe yang setipis kartu ATM atau Timnas U-16 yang sedang berjuang di AFC CUP.
Dengan segala pertimbangan, saya memutuskan untuk menunda mengerjakan PR. Saya akan mengerjakannya di pagi hari, bukan di rumah, tapi di sekolah. Jika deadline-nya cukup panjang, PR-PR itu akan saya kerjakan di hari Sabtu. Dan seperti yang saya katakan di awal, tidur nikmat hanyalah tinggal kenangan saja.
Siswa tambah miskin.
Mungkin alasan ini cuma saya buat-buat aja. Tapi nyatanya ini bukan hoax. Hal semacam ini benar-benar terjadi.
Dengan pulang sore setiap hari otomatis pengeluaran kami juga bertambah. Kami harus beli makan yang lebih banyak dari sebelumnya. Namanya juga remaja sedang masa pertumbuhan, kami ini gampang laper.
Setiap hari pengeluaran kami bisa sampai sepuluh ribu. Jika seminggu sudah lima puluh ribu. Padahal nggak semua siswa uang sakunya selama seminggu sebanyak itu. Jika ada yang diutungkan dari kebijakan ini tentu Bu Dhe penjaga kantin sekolah saya yang bakal nutup modal lebih gampang karena full day school ini.
Sebenarnya masih ada beberapa lagi yang mau saya sampaikan. Sebut saja kegiatan estrakurikuler yang jadi terbengkalai karena kurang jam kegiatannya, kami yang kehilangan masa indah remaja kami karena disibukkan dengan belajar dan belajar, apalagi sampai kehilangan kisah-kasih percintaan ala anak SMA.
Sayangnya, saya udah capek banget untuk melanjutkannya, maklum waktu menulis ini saya baru pulang sekolah. Daripada ngerjain PR ya mending nulis kayak begini saja, toh sama-sama otodidak ini. Siapa tahu diterima terus saya dapet duit. Kan lumayan bisa buat beli makan siang selama seminggu dan memperkaya penjaga kantin sekolah saya.