MOJOK.CO – Dalam satu peristiwa, perbuatan baik dibalas dengan kejahatan. Namun, yang melakukan kejahatan bukan sejak awal bermaksud demikian. Ia hanya merasa takut.
Di suatu malam yang pekat Nasrudin sedang berjalan hati-hati dengan tangan meraba ke depan karena takut menabrak sesuatu. Tiba-tiba ia mendengar suara dengkur dari bawah kakinya. Ia ketakutan dan berusaha lari dalam gelap. Namun, kakinya segera tersandung seonggok tubuh. Tak ayal ia jatuh dan terempas di atas tubuh sesorang yang sedang bernafas, tubuh yang ternyata seorang sufi.
“Siapa kamu?” tanya Nasruddin dengan degup jantung kencang karena masih ketakutan.
“Aku seorang darwis. Tempat gelap ini adalah tempatku berwirid dan mengamalkan amalan khusus. Ini adalah tempat khalwatku,” jawab si sufi.
“Sepertinya malam ini kamu harus berbagi tempat tidurmu denganku. Sejak mendengar suara dengkurmu, aku benar-benar ketakutan dan ketakutan itu telah mematikan akalku. Aku tak berani lagi melanjutkan perjalanan. Tolong izinkan aku tidur di sini bersamamu,” pinta Nasruddin.
“Ini ada selimut untukmu. Ambillah. Tidurlah di sini. Namun, ingat, jangan banyak bersuara. Menjelang larut malam biasanya aku bangun untuk salat malam dan berzikir. Aku tak ingin terganggu dalam malam munajat-munajatku,” jawab si sufi datar.
Keduanya tanpa banyak berkata lagi lalu sama-sama merebahkan tubuh. Namun, belum lama terlelap, Nasrudin bangun dan mengguncang-guncangkan tubuh si sufi.
“Aku haus, darwis,” kata Nasrudin.
“Pergilah dan berjalanlah pelan ke jalan setapak menurun menuju sungai. Tak jauh di belakangmu terdapat jalanan menurun menuju sungai. Minumlah dari sana.”
“Tapi, darwis, aku ketakutan. Aku tak berani pergi sendirian.”
“Baiklah, aku akan mengambilkannya untukmu. Aku akan pergi sendiri ke sungai, kamu cukup tunggu di sini.”
“Tidak, tidak. Jangan pergi sendiri. Jangan tinggalkan aku sendiri, darwis. Aku takut jika ditinggal.”
“Baik kalau begitu,” si darwis masih mencoba sabar, “ambillah belati ini. Benda ini akan sangat berguna untuk membela diri.”
Si darwis segera meninggalkan Nasrudin sendiri. Sementara si sufi pergi, Nasruddin benar-benar dilanda ketakutakan. Keringat dinginnya keluar. Sadar akan rasa takutnya yang sulit diatasi, ia kemudian menggerakkan dan menyabetkan belatinya, yang ia bayangkan sebagai serangan terhadap sosok yang akan menyerbunya dari arah yang tak jelas. Ia mengulang gerakan sabetan belati tersebut berkali-kali seolah-olah bisa mengatasi rasa cemas dan ketakutannya sendiri.
Setelah beberapa saat si sufi telah kembali membawa air.
“Jangan bergerak, jangan mendekat! Atau aku akan menusukmu dengan belati ini!” kata Nasrudin tiba-tiba saat mendengar kerisik langkah kaki mendekatinya.
“Tapi, aku si darwis yang mengambilkanmu air. Katanya kamu haus.”
“Aku tak peduli siapa dirimu. Kamu bisa saja hanya mengaku-ngaku. Kau bisa jadi orang jahat dalam penyamaran. Belum lagi wajahmu tak terlalu terlihat jelas. Aku tak bisa mengenalimu.”
“Tapi, akulah yang mengambilkanmu air dengan menuruni sungai. Tidakkah kau ingat saat kau merasa haus?”
“Ah. Jangan berpura-puran dan berusaha mengambil hatiku. Aku tak butuh, laki-laki jahat!”
“Namun, ini kan tempatku, tidakkah kau ingat?”
“Masa bodoh. Kamu bisa mencari tempat lain. Selesai masalah.”
“Baiklah, aku mengalah. Namun, aku masih bingung dengan apa yang sedang terjadi. Bagaimana menjelaskan kejadian ini?” tanya si sufi.
“Aku bisa katakan padamu satu hal,” jelas Nasrudin, “Ketakutan itu mempunyai banyak arah dan pada dasarnya menyebar ke segala arah.”
“Ketakutan,” tambah Nasrudin, “adalah sebuah rasa yang lebih kuat daripada rasa haus, rasa sehat, dan rasa memiliki barang-barang. Dan kamu tak perlu merasa memiliki diri pribadimu untuk merasakan dan mengalami rasa ini.”
Sang sufi masih saja terbengong, belum beranjak meninggalkan tempatnya.
Disadur dan dikembangkan dari Idries Shah The Exploit of The Incomparable Mulla Nasrudin, 1983.
Baca edisi sebelumnya: Cerita tentang Pencuri Sandal di Masjid dan artikel kolom Hikayat lainnya.