MOJOK.CO – Angka tujuh dalam filosofi Jawa memiliki banyak lapisan penafsiran. Sebuah angka yang dianggap keramat atau wingit.
Seingat saya, perkenalan saya dengan Mojok terjadi dalam situasi “main-main”, atau setidaknya saya merasakannya demikian. Waktu itu, kira-kira bulan Mei tahun 2015, alias ketika Mojok masih kinyis-kinyis sebagai media baru.
Saya iseng menulis status pendek di beranda Facebook soal ontran-ontran “Sabda Raja” yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana X, Sultan Ngayogyakarta (Jogja), yakni terkait RUU Keistimewaan Yogyakarta yang lagi ramai-ramainya saat itu, dalam sebuah poin-poin argumen yang tak lebih dari tiga paragaraf.
Tak begitu lama, tiba-tiba muncul komen di kolom komentar dari seorang yang saya kenal hanya dari nama masyhurnya, Puthut EA, alias Kepala Suku Mojok itu.
Dalam komentarnya ia menulis, “Bisa lebih dipanjangin, Mas? Langsung saja, kirim ke redaksi Mojok.”
Saya segera menyanggupi permintaan kakak kelas di Filsafat UGM itu, meski jujur saja, sebenarnya kami belum saling mengenal atau setidaknya kami belum pernah saling bertatap muka.
Begitulah awal-awal saya menulis untuk Mojok, dan saya pikir pola itu, terutama di awal media daring ini “mengudara” juga dialami para penulis awal media ini. Kalau nggak percaya silakan tanya mereka.
Oh ya, sebenarnya istilah atau frase “mengudara” yang saya gunakan tidak terlalu pas, karena lebih mengacu ke konteks gelombang siaran radio sebagai terjemahan on-air (mengudara), dan sayangnya, saya belum ketemu padanan Indonesia untuk mengganti kata kerja “mengudara” dalam kasus media on-line (apa “mendaring” saja ya?).
Saya membayangkan, setidaknya dari kasus para penulis-penulis yang terlibat dan dilibatkan sejak semula, Mojok seolah ingin menampung grundelan para penulis yang cerdas, yang bisa merangkai kritik dan (bahkan) “nyiyirannya” secara elegan dengan argumentasi kokoh sekaligus menohok.
Sekaligus sebuah tulisan yang saya bayangkan bisa meramu ketajaman analisis dan respons faktual atas kondisi masyarakat dalam kalimat-kalimat jenaka yang bisa memecah kebekuan format dan gaya tulisan “normal” yang berlaku umum di media-media masa cetak maupun daring di masa itu.
Bahkan, tulisan-tulisan itu seolah mengajak penulis selanjutnya “bermain-main” dengan guratan tulisannya sendiri, yang oleh karenanya mengandung unsur “jenaka”, “kritis”, “pedas”, “dekat dengan tuturan lisan”, “menohok”, “santai”, “tajam”, dan dibalut oleh “argumentasi kokoh nan menohok” yang bahkan dalam takaran tertentu juga bersifat “nyinyir”.
Belakangan kita tahu, gaya tulis “kritis-jenaka” ini dalam gradasi tertentu sedikitnya ikut membentuk lanskap gaya dan model tulisan, artikel, maupun opini media digital daring kita hari ini.
***
Hari ini (28 Agustus) katanya, ini kata redakturnya saat menghubungi saya lewat pesan WhatsApp, Mojok akan memasuki ulang tahunnya ke-7, alias tujuh tahun tulisan-tulisan di media ini menghiasi jagad media digital kita.
Angka tujuh atau “pitu” dalam bahasa Jawa, dari kerangka “othak-athik” atau “gathuk-mathuk”-nya orang Jawa bisa dimaknai sebagai “pituduh” atau bahasa Indonesianya bermakna “petunjuk”. Yakni sebuah “petunjuk” akan arah yang akan dituju.
Bagaimanapun, angka tujuh ini dalam tradisi maupun filosofi Jawa dianggap angka “keramat” dan “wingit”. Dan saya pikir angka ini, bahkan di banyak tempat di budaya lain, malah diberi makna dan “kekeramatan” tertentu, yang oleh karenanya banyak simbolisasi dan makna atas angka ini disematkan padanya.
Sebut saja tentang penciptaan alam semesta, yang konon dicipta dalam 7 hari, atau fi sittati ayyam dalam bahasa Al-Quran-nya, atau pada hari Sabbath (hari ketujuh) dalam tradisi Yahudi (baca: hari Sabtu). Atau juga terkait simbolisasi langit berlapis tujuh (ber-sap tujuh) untuk menujuk sistem lapisan langit dan jagad kita.
Termasuk jumlah hari kita yang juga menunjuk angka tujuh. Dalam filosofi Jawa bahkan masyarakat mempunyai kosakata khas untuk menyebut tujuh lapisan jagad-langit kita dengan ungkapan “sapta petala langit” (tujuh lapis langit yang menyelubungi jagad kita).
Nah, saya pikir angka “tujuh” ini bukan saja menandai fase penting Mojok dalam perjalanan usianya, melainkan juga fase “genting” Mojok untuk merumuskan kembali arah tujuannya.
Seperti dalam kasus hari ketujuh, ia harus mulai meluruskan dan merefleksikan ulang “niat” dan “tujuan” awal (hubungkan kata tujuh dengan tuju) sejak media ini didirikan, agar ia selamat melalui fase lingkaran siklis perjalanan waktu (cakra-manggilingan).
Bagaimanapun, kita sudah bisa melihat sendiri, betapa selama tujuh tahun perjalanan media ini, ada banyak hal yang telah berubah dan berkembang. Mojok hari ini telah menjadi media publik yang daya jangkaunya meluas. Barangkali ribuan penulis telah berpartisipasi di situs yang awalnya diniatkan untuk bersenang-senang saja seperti ini.
Ada banyak suara yang saya dengar, mengkisahkan, jika hari ini, terutama sejak tiga atau empat tahun berjalan media ini, lambat laun Mojok semakin banyak menampung penulis-penulis muda, untuk tak sampai hati mengatakannya pemula, yang pada akhirnya menggeret media ini ke tingkat popularitas yang dulu tak terbayangkan.
Mojok menjadi sentrum gravitasi baru bagi para pemuda “literate” dan “kreatif” dengan gairah yang menggelagak. Anak-anak muda generasi “Z” ini mengambil atau bahkan merebut porsi besar rubrik tampilan Mojok.
Dan para penulis generasi “milenial” sebelumnya, yang ikut membentuk dan membersamai Mojok pada awal-awal masa pertumbuhannya, akhirnya banyak yang tergusur. Mojok seketika menjadi milik dan sudah sepantasnya dimiliki anak muda, yakni nyaris beriringan dengan kemantapan sisi bisnis industri media pada umumnya.
Para pekerja kreatifnya yang dulu bisa berkantor di manapun dan kapanpun, akhirnya harus tunduk pada “frame” kerja industri media. “Terminal Mojok” akhirnya tercipta sebagai kanal untuk menampung dan mewadahi para penulis muda, dengan kelebihan bisa mengupload tulisan mereka sendiri, tentu setelah lolos kurasi editor dan redakturnya.
Tingkat kuantitas-jumlah tulisan yang tampil per harinya makin meningkat tajam. Isu-isu remeh-temeh seperti, “Mencoba Hobi Bapak-bapak Motret Model Telanjang”, “Derita Anak Kos yang Sedang Isoman”, “Penampilan Stiker di Rumah Warga yang Belum Divaksin”, “Sejarah Lapen”, hingga urusan “Harga HP Realme yang Nggak Mahal, Kitanya yang Bokek” benar-benar tak terbayangkan sebelumnya.
Namun banyak juga orang menyayangkan jika sisi “masalah mendasar” atau sorotan terkait “teropong yang lebih besar” dari jarak dan sudut yang lebih luas terkait problem aktual maupun non-aktual sebagai problem masyarakat Indonesia—yang dulu masih relatif diberi tempat di media ini—akhirnya terdesak keluar.
Mojok beriringan dengan kemantapan bisnisnya seolah hanya menyisakan “remeh-temeh” masalah partikular yang sengaja dirayakan, ataupun “kerecehan” juga sekaligus “kenyinyiran” yang berdempetan tipis dengan “kritisisme” berjarak dekat.
Sayangnya, kritikan seperti ini saya duga berasal dari generasi “milineal” (kelahiran 80-an ke atas, alias generasi dewasa di atasnya), alias orang semacam saya ini, yang tak mau, atau tepatnya tak terlalu bisa menangkap “gaya intelektual” dan “kecerdasan zaman” yang barangkali menjadi penanda penting generasi post millenial.
Namun begitu barangkali ada hal yang benar. Ada suara atau barangkali sejenis harapan berbeda, yang justru dikarenakan aspek apreseasi maupun support-nya atas media ini, kritik itu akhirnya terdengar.
Ada jembatan yang dulu pernah berusaha tersambung, yang saat ini mulai rompal di sana-sini, terkait keterhubungan “jarak pengetahuan” antara generasi awal penulis Mojok dengan para penulisnya hari ini, yang menurut saya memang perlu disambung lagi.
Bukan semata-mata untuk membela “privilage intelektual” generasi sebelumnya, namun lebih pada keterhubungan yang saling ambil-mengambil dari sudut cara, gaya, serta modus melihat bentangan persoalan ke-Indonesiaan dalam perspektif yang lebih kaya, sekaligus juga dalam bungkus kejenakaan, kesegaran, dan kritisisme, plus tentu saja beserta unsur “main-mainnya”.
Dan saya pikir dari hal itu, signifikansi angka tujuh tahun usia Mojok menjadi bisa kita petik bersama.
Sebuah “pituduh” (baca: dari kata “pitu”) alias semacam “petunjuk” untuk langkah Mojok ke depan. Tentu jika ini disepakati. Namun begitu, jika ada yang berkeberatan, bahwa tawaran pemaknaan atas angka “tujuh” saya dianggap sebagai semata sebagai “othak-othik-gathuk” semata, izinkan saya berargumen secara ringkas.
Dalam kerangka nalar pemikiran tradisional, terutama dalam lingkup kesusastraan maupun nalar kepujanggaan Jawa, “operasi” ini tidak asing-asing amat, bahkan telah menjadi modus penting dalam penciptaan makna dalam sastra maupun keseharian. Proses “otak-atik” makna yang sekilas terlihat arbitrer ini dalam kesusastraan Jawa sering dikenal dengan istilah kerata basa atau juga disebut “jarwa-dhosok”.
Mudahnya seperti ini, untuk memberi makna kata “tumpeng” misalnya, dalam sistem operasi “jarwa-dhosok”, orang bisa memberi makna dalam bahasa Jawanya sebagai “Tum(uju) (ing) Peng(eran)” alias berarti “menuju atau ditujukan kepada Tuhan”.
Pemaknaan atas makanan berbentuk kerucut ini, dari sudut pengamat luar, mungkin terkesan hanya mencocok-cocokan rima bunyi, sekenanya, arbriter, dan seolah hanya bersifat “main-main”. Padahal jauh dari itu.
Argumen saya, mungkin yang dimaksud “kebenaran makna” dalam kasus masyarakat ini bukan semata kesesuaian dan korespondensi antar-fakta ataupun koherensi antar premis kalimatnya semata, melainkan pada kesesuaian pragmatis atas harapan dan doa yang dilangitkan.
Premisnya barangkali, seperti layaknya saat kita menatap bentuk mendung di angkasa, kita sering mencipta bentuk mendung itu seolah mirip bentuk gambar tertentu misalnya, atau wujud sosok, atau tampilan tertentu. Di mana kita secara aktif ikut menciptakan bentuk maupun makna atas kenyataan mendung tersebut.
Kenyataan—oleh karenanya—diandaikan sebagai wujud “polos”, netral, dan nir makna, di mana kita manusia fana ini mencipta dan membubuhi makna atasnya. Proses pemaknaan ini pada satu sisi bersifat aktif namun juga tak boleh “semena” tanpa menimbang wujud polos maupun keterkaitan antar-benda dalam kenyataan sebagai frame pokonya.
Oleh karena itu, pemaknaan saya atas “pituduh” yang berarti “petunjuk” untuk makna angka “tujuh” (tahun Mojok) itu bukan terletak pada apakah kata “tujuh” itu benar-benar berarti “petunjuk” (bedakan kata “arti” dengan “makna”), melainkan pada sejauh mana kebenaran makna yang disodorkan bernilai pragmatis untuk terwujudnya doa, harapan, serta tindakan-tindakan kita selanjutnya, sehingga menstimulus kebenaran yang mewujud dalam kenyataan (di masa depan).
Dan saya kira kata “jarwa-dhosok”, yakni makna othak-athik itu, secara harafiah memang berarti “makna” (jarwa) yang didesakkan ke atas langit (dhosok) yang menampung harapan, doa, dan terutama “makna” yang kita ciptakan secara aktif.
Asal Anda tahu, seluruh tampilan kebudayaan dan realitas kehidupan modern kita, yakni dengan bentuk gedung-gedungnya, sistem pranata sosialnya seperti negara bangsa, sistem ekonomi, bahkan sistem digital, dan lain-lainnya, dahulunya, sungguh semata merupakan kenyataan yang masih berada dalam tempurung intelektual, imajinasi, harapan, serta doa di dalam pikiran dan hati orang, yang hari ini tergelar menjadi “kenyataan kebenaran” yang manifes dalam kehidupan keseharian aktual kita.
Nah, pemaknaan angka tujuh itu saya tempatkan dalam galur penafsiran seperti ini.
***
Terakhir, untuk menutup tulisan ini, sekaligus saran saya untuk Mojok, marilah “bermain-main” dan mencipta secara aktif “makna-makna” baru yang akan tergelar di masa depan, yakni sebagai “petunjuk” awal (baca: tujuh, pitu, pituduh) untuk memaknai angka tujuh tahun usia Mojok.
Karena jika Anda menyambut ajakan ini, akan muncul sebuah “pertolongan” yang dalam bahasa jawanya berbunyi “pitulungan” (tentu dari kata pitu angka 7) yang bisa membantu jangkar langkah ke depan Mojok.
Hitung-hitung, anggap saja celotehan ini semacam “pitutur” (dari angka pitu/tujuh) alias “wejangan” dari orang yang pernah ikut meramaikan Mojok dengan tulisannya. Dan jujur saja, saya sendiri, rindu gairah dan ajakan “bermain-main” itu menyapa diri saya lagi.
Terakhir, mengutip maulana Jalaluddin Rumi, “Kebenaran (makna) itu terletak dalam hakikat, dan sayangnya orang-orang bodoh (itu) selalu ingin mencari dan menemukannya dalam tampilan kenyataan wadahnya.”
Selamat ulang tahun Mojok. Sukses selalu.
BACA JUGA Merayakan Ulang Tahun Bukan Budaya Kita dan tulisan Irfan Afifi lainnya.