MOJOK.CO – Generasi U, alias Generasi Uzur suka sekali memperumit hidup. Mikirinnya nabung, nabung, nabung mulu. Generasi Milenial dong, mikirinnya cuman cara biar bisa bahagia sejak usia muda. Karena hidup cuman sekali, ngapain dibikin susah? YOLO, Man!!1!
Sahabat Celenger yang ingin sejahtera tanpa menabung sekaligus kaya tanpa bekerja,
Budayawan sekaligus seniman berfollower banyak, Sudjiwotejo, di satu kesempatan membuat pernyataan yang tidak saja sastrawi tapi juga religius, “Ketika kita khawatir besok tidak bisa makan, itu sudah menghina Tuhan”. Tidak keliru jika kita mendedah pernyataan tersebut dengan keyakinan sebagai makhluk beragama. Masalahnya, perjalanan kita sebagai makhluk ekonomi sebenarnya jauh lebih konsisten.
Sebaliknya seorang ekonom. Saat merespon timbulnya kebutuhan di masa depan yang tidak pasti, justru yang dikedepankan adalah kekhawatiran. Misal sekarang uang habis, sementara besok perlu makan. Apa yang harus dilakukan? Memilih! Ya, ilmu ekonomi secara sederhana memang ilmu tentang menentukan pilihan.
Pilihan pertama puasa. Ya sudah, karena tidak memiliki uang konsekuensinya besok tidak melakukan konsumsi. Problem yang dihadapi kemudian, kuat berapa lama?
Kedua utang. Pilihan tersebut rasional, tetapi menimbulkan kewajiban untuk membayar di masa depan. Iya kalau kuat membayar, bagaimana kalau tidak?
Ketiga bekerja. Ini konsekuensi logis makhluk ekonomi sekaligus beragama bahwa manusia memang harus bekerja untuk mendapatkan gaji, upah atau imbal jasa.
Begitu sudah mempunyai penghasilan, problem selanjutnya justru tambah banyak. Daftar kebutuhan bertambah panjang, beragam, dan sudah tentu akan menggerogoti penghasilan kita. Iya kalau jumlahnya dapat untuk memenuhi seluruh kebutuhan, kalau kurang? Maka kemudian manusia memerlukan kemampuan dalam mengelola keuangan.
Itu kalau pikiran generasi U, Uzur. Hahaha. Pikiran generasi milenial lain lagi. Kesulitan itu dipikirkan lain kali. Sekarang mikirnya bagaimana cari cara hidup enaq~
Pengelolaan keuangan “generasi tua”, di mana menabung merupakan salah satu kunci sukses tujuan keuangan, pelan tapi pasti mendapat tantangan sangat keras dari para milenial yang mengibarkan panji YOLO, You Only Live Once! Hidup hanya sekali, mengapa kita harus bersusah payah menabung hingga mengganggu kenyamanan hidup?
Istilah tersebut tidak saja telah direkam dalam Oxford English Dictionary, tetapi juga sudah menjadi sikap mental perlawanan para milenial dalam menghadapi kekakuan generasi sebelumnya. Hidup sekali saja kok mikirnya ribet banget sih? Masih muda sudah memikirkan dana pensiun, belum menikah sudah memikirkan tabungan untuk rumah, dan bahkan baru dapat gaji pertama sudah menyisihkan sebagian untuk pesan tempat di San Diego.
Ini bukan merencanakan piknik di San Diego, kota pantai di California ya, Gaess. Tapi tempat pemakaman bernama San Diego yang tempatnya begitu asri, mewah, mahal, dan ditata sedemikian rupa biar tidak nampak angker, berhantu dan berserak nisan. Serius, tidak sedikit orang Jakarta yang sudah nabung agar kelak saat meninggal bisa beristirahat tenang di sana.
Kalau marketing pemakaman tersebut mengatakan lokasi-lokasi mana saja yang memungkinkan para ahli kubur untuk melewati jalur yang paling dekat dengan surga tetapi harganya 5 kali lipat dibandingkan yang jalur biasa. Saya yakin tetap ada yang rela menabung untuk mendapatkan unitnya. Apalagi kalau bisa melalui KPRMDSTM, Kredit Pemilikan Rumah Masa Depan Setelah Meninggal.
Sebagian milenial yang masuk group YOLO, sudah banyak yang meninggalkan pola pikir menabung untuk hal-hal yang bisa jadi tidak akan pernah mereka atau keturunannya nikmati. Kecenderungan untuk mendapatkan “kemewahan dan kenyamanan” sejak muda lebih mengemuka dari pada generasi sebelumnya.
Belum umur 30, gaji 30 juta sebulan lebih memilih pergi ke 30 kota untuk menuntaskan rasa ingin tahunya. Hahaha ya nggak harus serba 30. Kesannya kok dramatis banget. Tetapi memang ada pola yang nyata bahwa mayoritas milenial “lebih tidak sayang uang” dibandingkan generasi sebelumnya. Saking percaya dirinya, nabung pun jarang dipikirkan.
Para milenial beli secangkir kopi 30 ribu merem saja. Tetapi generasi sebelumnya, kalau belum kaya mending milih kopi di warteg atau starbak keliling yang modal kopi sachetan, gelas plastik, termos air panas dan didukung dengan sepeda buluk untuk mendukung mobilitas.
Mana mau paham generasi U, uzur, betapa berbedanya kopi digunting vs digiling? Kalian para milenial tetap saja akan dianggap boros dan melakukan kesia-siaan.
Fakta tersebut tidak saja terjadi di Indonesia. Bukan soal kopi sachetan ya, tetapi soal kemauan menabung yang begitu rendah terjadi di banyak negara besar termasuk di Amerika Serikat. Kenapa AS, karena datanya begitu berserak dan paling gampang diakses dibandingkan negeri kita sekalipun.
Di AS, lebih dari 50% milenial saldo tabungannya kurang dari 14 juta saja, bahkan ada yang nggak nabung blas! Keren kan? Keren ndasmu itu! Jadi kalian nggak perlu minder kalau ketemu dengan mereka. Setidaknya kalau kalian nabung di Bank Mandiri masih ada 100ribu yang tidak bisa ditarik, lain lagi kalau di BCA. Dihempaskan jadi nol rupiah untuk survive hingga hari gajian dengan mie instan pun bisa!
Pergeseran perilaku telah terjadi. Di jaman muda kakek-nenek kalian, mereka menanam pohon yang berbuah untuk tinggalan anak cucu. Sangat mungkin mereka tidak menikmatinya. Di jaman Ayah-ibu kalian, mereka mulai bisa menikmati hasil dari pohon yang di tanam. Sementara ketika kalian mulai dewasa, mulai berpikir untuk menebangnya, “ini pohon kok lebih banyak ngasilin ulet dibanding buahnya. Dah tebang aja, ganti tanaman dalam pot”.
Praktis, revolusioner, dan hasilnya untung-untungan! Hahaha
“Ya iyalah, hidup sekali saja kok ribet banget lho. Pingin buah tinggal beli ke super kampret, pingin suasana teduh di siang hari tinggal masuk ke mall yang udaranya lebih sejuk dari pegunungan. Hah?”
Sebenarnya ada positifnya. Kalau berbicara pengalaman, para milenial jauh lebih kaya pengalaman daripada generasi sebelumnya. Saat generasi U, Uzur, bicara pengalaman susahnya hingga mampu mencapai tujuan keuangannya secara berdarah-darah. Para milenial sudah berdarah-darah untuk bisa menikmati kenyamanan hidup sedini mungkin.
Kalau emak-emak hanya gandrung sam drakor dengan mengusahakan waktu senggang dari pagi hingga pagi lagi. Maka para milenial yang gandrung dengan Kpop, langsung mikir nabung setahun untuk ke Korea. Begitulah, mereka memang jauh lebih berani, thas thes, mikir kesulitan di belakang, dan tidak kebanyakan teori.
“Nggak mikir nabung untuk menikah?”
“Nggak perlu, sekarang yang penting bisa lihat Oppa dulu. Kalau pun kami menikah, Kami akan menikah dengan undangan terbatas, sederhana, dan yang penting sah. Kalau orang tua berencana menyebar undangan, ya sudah. Berarti mereka ingin mengambil porsi tanggung jawab lebih.”
YOLO, Man, YOLO~