MOJOK.CO – Banyak milenial pengin bisa pensiun di usia muda. Lebih spesifiknya pensiun muda dengan kondisi kaya dan bahagia. Eh emangnya bisa ya?
Sahabat Celengers yang takut tidak bisa menikmati hidup karena waktunya habis untuk bekerja,
Semakin lama kita akan semakin terbiasa mendengar keinginan anak-anak muda yang menginginkan perubahan situasi ekonominya dengan cepat. Beda dengan generasi-generasi di atasnya yang jauh lebih sabar.
Indikasinya jelas, semakin banyak anak muda di “kampung besar” seperti Jakarta yang tidak ikhlas dengan ritme kemacetan yang akan disimpan di memorinya hingga tua nanti. Sebagian dari mereka ingin menikmati hidup sejak muda dengan cara pensiun dini. Lebih konkritnya lagi pensiun muda dan kaya!
Emang gampang? Pertanyaan besarnya sebenarnya bukan itu, tapi “pensiun itu bagaimana?”, “muda itu usia berapa?”, dan “kaya itu seberapa mencukupi?
Pensiun yang dipahami sebagian besar penduduk negeri ini, tidak melakukan lagi rutinitas mencari uang atau bekerja yang dilakukannya dalam kurun waktu lama. Tentu saja lama juga relatif. Bagi Orang yang begitu mencintai pekerjaannya, menjalani waktu 30 tahun tidak terasa lama. Tapi ada juga orang yang kurang dari 5 tahun bekerja sudah tersiksa.
Pensiun dalam prakteknya, beda orang beda menyikapinya. Ada pensiunan pegawai yang kemudian berdagang atau bertani untuk mengisi waktu, tetapi banyak pula yang berpindah dari satu arisan ke arisan lain.
Muda? Saya selalu terkesan dengan kata-kata mendiang Muhamad Ali, petinju terbesar sepanjang masa. Dia mengatakan bahwa muda itu hanya soal cara berpikir, “Age is whatever you think it is. You are as old as you think you are”.
Di Malaysia, Syed Saddiq, menteri pemuda saat ini berusia 27 tahun. Apakah terlalu muda untuk sebuah jabatan politis? Wajar sebenarnya, rata-rata usia penduduk Malaysia saat ini usia 28,1 tahun (data 2018).
Bandingkan dengan Indonesia, menteri pemudanya berusia 46 tahun. Sementara rata-rata usia penduduknya 28,6 tahun (data 2016). Artinya apa? Justru orang Indonesia lebih optimis di banding orang Malaysia. Dari era Abdul Gaffur hingga Imam Nahrowi, usia 40 itu masih layak disebut pemuda. Usia 28 ya masih remajalah hahaha.
Bagaimana dengan kaya?
Kaya itu sebenarnya tidak terkait dengan jumlah nominal uang atau harta tetap yang tampak mata. Kalian punya pendapatan 30 juta per bulan tapi utangnya 15 juta? Itu ngenes. Kesejahteraan akan tersedot untuk membiayai utang dan biaya-biaya lain. Berapa persen yang dialokasikan untuk ditabung kalo sudah babak belur seperti itu?
Kemudian seberapa banyak aset yang kita miliki? Apakah memiliki rumah besar dan tiap anggota keluarganya menggunakan mobil dapat dikatakan kaya?
Untuk ke kantor menggunakan Alphard, luas dan nyaman untuk melakukan aktivitas saat di jalan. Untuk mengantar anak sekolah Innova Venturer biar anaknya bisa jumpalitan di dalam, untuk ke pasar menggunakan Suzuki Ignis biar kalo kena amisnya ikan tidak nyesel. Apakah yang disebut kaya seperti itu? Belum tentu!
Dalam pandangan awam, orang disebut kaya jika pendapatannya melebihi kewajibannya (utang dan biaya). Soal besar kecilnya pendapatan, itu relatif.
Tapi bagaimana seandainya pendapatan tersebut berhenti tiba-tiba; seorang pemain bola mendadak tidak bisa merumput lagi karena mengalami cedera fatal yang tidak bisa disembuhkan, seorang penyanyi tiba-tiba suaranya fals dan hanya mampu berteriak seperti Assurancetourix dalam kisah Asterix, seorang penulis mendadak tidak bisa lagi cara menyusun kalimat, dan hambatan lain yang mengakibatkan seseorang kehilangan pendapatan. Apakah mereka tetap dapat disebut kaya jika mengalami kejadian yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya?
Disebut kaya itu, idealnya, jika aset yang dimiliki dapat dijadikan sumber ekonomi atau pendapatan jika masa sulit datang. Misal rumah dan mobil, bukan habis dijual untuk menutup biaya tetapi aset tersebut dapat dikontrakkan dan direntalkan. Di luar itu setidaknya ada aset lancar seperti tabungan, saham, deposito, royalti dan piutang yang bunganya atau bagi hasil atau nisbahnya lebih besar dari kebutuhan kita. Itu baru pantas disebut kaya!
Nah, sekarang soal hiruk pikuk para milenial yang menginginkan pensiun muda. Dalam bayangan mereka, muda itu berusia 30 tahun. Ini untuk referensi saja, Robert Kiyosaki, pengarang retire young retire rich, pensiun di usia 47 tahun. Itu waktu yang sering ia sebut tahap bebas secara finansial. Jack Ma, pendiri Alibaba pensiun di usia 53 tahun. Sementara Bill Gates, memutuskan pensiun dari Microsoft di usia yang tidak beda jauh dengan rata-rata usia pensiun di negeri ini 58 tahun.
Jadi gimana, memungkinkan nggak pensiun di usia 30 tahun, Om?
Sekarang tinggal berhitung saja. Berapa kebutuhan biaya per bulan untuk keluarga kita saat usia 30 kelak, 20juta atau lebih? Tentukan, karena proses selanjutnya adalah menentukan rencana untuk mendapatkan aset yang diperlukan untuk memberi manfaat di usia yang direncanakan untuk pensiun tersebut. Berapa banyak pendapatan saat ini yang kita perlukan agar pendapatan pasif kita setelah pensiun muda kelak (dari aset dan investasi) dapat untuk memenuhi kebutuhan. Kalau sudah, berapa waktu yang tersisa untuk mewujudkan keinginan tersebut untuk mendapatkan aset senilai 1 milyar, misalnya.
Jika usia kalian saat ini 25 tahun dan masih mengharapkan jadi PNS untuk dijadikan sumber pendapatan terbesar, jelas pensiun di usia 30 tahun merupakan kedunguan. Oh iya, ini memang soal pola pikir. Begitu kalian pensiun di usia tersebut tidak akan ada lagi sumber pendapatan. Langsung terhenti begitu memutuskan pensiun. Satu dua bulan pertama masih enak, masih ada tabungan yang dapat digunakan. Tapi bagaimana dengan bulan-bulan selanjutnya?
Pensiun itu kelangsungan hidup yang berkelanjutan. Pensiun yang baik dapat kita capai jika lifestyle tidak berubah drastis. Pegawai pemerintah atau swasta bonafid sudah memikirkan soal dana pensiun. Tetapi bagaimana individu yang menginginkan untuk pensiun secara mandiri? Jangan kemarin mampu sehari jajan sekali, setelah pensiun jadi jajan sebulan sekali. Itu sungguh ngenes!
Tapi seberapa penting sih sebenarnya arti pensiun? Banyak orang mengalami Ndlongop syndrome begitu memasuki pensiun. Semula terganggu dengan berdesakan di KRL, jadi merindukan suasananya. Kemarin-kemarin terganggu dengan macetnya jalan, jadi kangen diklakson para pengguna jalan yang mendadak gila di setiap jam macet. Bagi orang yang mampu memaknai hidup di setiap tarikan nafasnya, ketakutan-ketakutan yang ada sebenarnya bisa diminimalisir seawal mungkin. Takut tua di jalan? Bisa sewa apartemen yang dekat dengan tempat kerja. Takut mahal? Bisa mencari pekerjaan yang mendatangkan penghasilan lebih.
Pensiun muda jelas bukan omong kosong, tetapi konsekuensinya waktu. Banyak waktu yang digadaikan untuk terus dapat menumpuk harta. Apa nggak ngenes, sudah di masa kecil tidak mendapat keistimewaan seperti nyolong jambu dan mandi di kali mambu. Di masa mudanya tidak punya kesempatan ganti-ganti teman curhat, eh. Sudahlah, bekerja itu ibadah kok. Mau pensiun di usia 30 tahun atau 30 tahun bekerja, asal bisa bersanding dengan yang disayangi tentu akan membahagiakan.
Tentu saja tidak semua orang mempunyai keleluasaan memilih pekerjaan dan usaha. Tetapi tidak ada salahnya orang memelihara mimpinya. Karena berangkat dari mimpi, hal yang di awal merupakan kemustahilan dalam hidup sering menjadi nyata. Tidak beda dengan yang dialami Agus dan Kalis. Ini ilustrasi saja, kesamaan nama dan tema pembicaraan hanya kebetulan belaka.
Satu saat Agus membicarakan masa depan dengan pacarnya, Kalis. Mereka berandai-andai setelah menikah kelak mereka akan bekerja keras agar bisa membeli rumah dengan halaman yang luas. Mengapa harus luas? Keduanya merupakan penggemar dangdut yang merasa tidak cukup dengan mendengarkan atau melihat dari youtube saja. Mereka bermimpi dapat menyelenggarakan konser dangdut di halaman rumahnya.
Jelas itu cita-cita luhur! Jauh dari semangat kapitalisme. Sebagai informasi saja untuk milenial yang ilfil dengan musik ini, dangdut merupakan hiburan kelas rakyat yang di setiap ketipak ketipung ritmisnya tidak saja menghibur tetapi membuat denyut nadi ekonomi rakyat bergerak. Para pedagang kecil turut menyemarakkan, para penontonnya tidak kuatir untuk membelanjakan uangnya.
Tapi sayang, mimpi luar biasa tersebut oleh Agus hendak dibunuh secara prematur. Dia mengatakan, “tapi harga tanah semakin hari semakin bajingan! Rasanya susah bagi kami kelak saat sudah menikah untuk bisa punya rumah dengan halaman yang luas”.
Agus sebenarnya cukup memelihara mimpi untuk mewujudkannya. Secara matematis jelas sangat memungkinkan. Dari 2 buku saja, Nmax terbeli. Sebagai penulis produktif, banyak hal di depan yang dapat dilakukannya.
Royaltinya dapat jadi aset yang sangat lancar dan cair. Itu belum penghasilan dari pembicara. Belum menghitung aset toko buku onlinenya. Belum memilih investasi yang akan mendatangkan pundi-pundi uang tak berkesudahan. Belum kalau membuka resto khusus jengkol dengan brand Lambe Akrobat, “makan jengkol di resto ini, akan membuat nasib anda mewangi sepanjang masa”.
Ingat, yang diperlukan agus itu memelihara mimpi-mimpinya bersama Kalis. Tidak perlu harus dibatasi kapan terwujudnya, tidak perlu memikirkan pensiun 3 tahun lagi. Apalagi kok trus berpikir, apa kalau tidak bersama Kalis jalannya akan lebih mudah? Kalau itu yang terjadi, Agus akan disuruh pensiun jadi manusia oleh KKK, Keluarga Kecil Kalis. Bukan Klu Klux Klan.