MOJOK.CO – Financial technology (Fintech) menawarkan jasa pinjam uang online tanpa harus mengikuti proses-proses merepotkan di Bank. Om Haryo akan membahas bagaimana untung-rugi hingga bahayanya sistem ini supaya kalian tetap berhati-hati.
Selamat pagi Celengers,
Apakah kalian tengah kangen utang? Hah, malah belum pernah ngutang? Yakin kalian tidak memerlukan satu pengalaman utang yang dapat mewujudkan cita-cita tanpa harus menunggu kesiapan finansial dalam waktu puluhan tahun mendatang? Yakin tidak mau mengambil utang untuk gadget idaman tanpa harus menunggu bisnis sawit putih mengoreksi rupiah kita agar lebih perkasa daripada dollar?
Padahal, orang yang berani utang ialah orang yang pandai menghidupkan langit malam yang tengah mendung. Utang juga diperlukan sebagai pengungkit untuk mengubah tantangan menjadi peluang, keterbatasan menjadi kesejahteraan dan ketidakmungkinan menjadi kenyataan. Apa benar seperti itu?
Kalau menurut Om sih mbel, entah menurut Mas Anang.
Masalahnya, mau dibungkus dengan kata apa pun, utang tetaplah beban atau kewajiban yang harus dilunasi. Sementara kemampuan seseorang dalam melunasi utang sangat bergantung pada kemampuan finansialnya. Apa yang terjadi jika seseorang mengambil porsi utang melebihi pendapatannya?
Sebelum kita melanjutkan pembahasan utang dan begitu dimanjakannya kita dengan fintech (financial technology), Bank Plecit gaya baru. Om akan cerita nasib seorang teman yang berani mengambil risiko jutaan kali dari kemampuan finansialnya.
Belasan tahun lalu, seorang yang berprofesi sebagai trader di Kota J menawari seorang pengusaha yang berdomisili di Kota S untuk investasi di perdagangan indeks. Tiap hari si pengusaha tersebut ditelponnya. Biasalah namanya lambe marketing, licin seperti kumur oli secara berkala. Dia lincah mengubah topik dari menawarkan produk tersebut, informasi potensi cuan, update pasar hingga beralih basa-basi menanyakan keluarga. Terkadang repot-repot menyuruh keluarganya di kota tersebut untuk mengirimi bingkisan ke pengusaha yang diprospeknya.
Jelas, semua hal tersebut dilakukan dalam rangka mengambil hati calon investor. Itu jauh sebelum telemarketing semenjamur dan seagresif seperti saat ini. Tidak seperti sekarang, dimana kita langsung buru-buru menolak jika ditawari produk apa pun bahkan sebelum mendengarkan penjelasannya.
Kalau koleganya menyiapkan banyak database, temen Om hanya fokus pada orang tersebut. Tidak ada lain. Prinsipnya, kalau sebulan baru ditolak 30 kali, masih ada 11 bulan lain untuk meluluhkan hatinya. Kalah pokoknya pejuang cinta yang baru akan mundur setelah ditolak 7 kali.
Benar saja, di bulan ke-4, yang artinya selama 4 bulan tersebut tidak mendapatkan gaji dan komisi. Dimana kesabaran dan kesanggupannya hampir amblas, dia justru yang ditelpon pengusaha tersebut untuk datang ke Surabaya. Hufff…. Dah sebut saja kotanya ya tanpa inisial, biar tidak seperti berita kriminal.
Di ujung sana, suara sang pengusaha yang medok Suroboyoan menembus gendang telinganya tanpa dapat dicegah lagi.
“Jon, Jojon… mbesok pagi ketemu aku di Surabaya. Itu juga kalo masih niat ngutang aku”
Temen Om langsung mikir. Loh, ini ceritanya bagaimana? tawaran investasi kok disebut jadi utang ke dia apa tidak. Tapi sudahlah, kepalang sudah berbuih-buih selama berberapa bulan, dia pun menyanggupi. Siapa tau nasib baik berpihak kepadanya.
“Baik, Boss. Tapi saya ini kan fresh graduate. Selama empat bulan ini yang saya lakukan tidak ada lain ya cuma telpon. Gaji tidak ada, komisi apalagi.”
“Wah yo iku masalahmu. Beresin sendiri ya”, si pengusaha paham banget rintihan suara kaum miskin 7 turunan, 7 tanjakan, 7 pemberhentian.
Setelah mengajukan proposal pengajuan utang ke 8 penjuru mata angin, tiket PP kereta ekonomi dari Stasiun Senen dengan tujuan Surabaya berhasil diperoleh. Dia sudah mempersiapkan diri untuk tetap dapat pulang ke Jakarta begitu harapan tidak berjodoh dengan kesuksesan.
Begitu bertemu dengan pengusaha yang rumahnya terletak di kantung pemukiman mewah, dengan ukuran yang kalau kita masuk pintu depan setelah Subuh sampai halaman belakang menjelang Mahgrib. Sang Pengusaha tersebut tanpa tedeng aling-aling langsung nyerocos.
“Sudah, kalau ketemu aku itu ndak perlu jual penderitaan. Itu kuno. Dulu, bisa jadi aku luwih soro dibanding kamu.”
“Jadi gimana ya, Boss. Ini Market sedang bagus…”
“Cukup… nggak perlu juga ngomong market-marketan denganku. Aku ndak peduli bagaimana kamu menjalankan uangku besok. Aku hanya suka dengan kengototanmu. Tapine aku juga tidak akan membuat hidupmu tanpa tantangan. 1 milyar tahap pertama, kelolanen. Itu utangmu kepadaku. Jadi nggak ada cerita kamu hidup enak cumak nggantungno dari komisi nggrogoti dhuwikku. Kamu harus tanggung jawab penuh ”
Si trader yang sama sekali belum pernah trading tersebut dadanya sesak. Lupa cara bernafas secara alamiah. Benar-benar jumlah yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Selama ini yang ditawarkannya hanya untuk investasi sebesar 50 juta saja.
“Saya boleh pikir-pikir dulu, Boss?”
“Boleh saja, tapi kalau mau bilang nggak sanggup sekarang saja. Itu pintune isih ndhek kono, dan jangan pernah mencoba telpon-telpon lagi kalau kamu ngak mau susah hidupmu. Awakmu nggak mikir kalo selama iki ngganggu privasiku?”
Keder, takut, kalut, dan butuh campur jadi satu. Niatnya mau berpikir dulu gagal total. Kemampuan berpikir anjlok ke palung paling dalam. Di tengah puncak kengerian tersebut, si trader yang belum pernah melakukan trading itu mengucapkan hal yang kelak akan mengubah sejarah hidupnya.
“Baik, Boss. Saya bersedia menanggung semua risikonya dan menukarnya dengan jiwa saya”, kalimatnya gagah, tapi diucapkan dengan suara parau. Nyaris tak terdengar.
“Ok, kamu pulang ke Jakarta naik pesawat. Jangan seperti orang susah”.
Singkat cerita, tidak hanya selamat dalam mengelola “utang” tersebut. Si pengusaha semakin membanjiri investasi paling berisiko tersebut dengan keyakinan penuh dan dicabutnya “perjanjian utang” tidak masuk akal tersebut.
Tapi seberapa banyak kisah sukses perjudian yang mempertautkan cuan dan hoki? Tidak banyak. Saat utang kita melebihi sepertiga dari pendapatan, mutlak dapat diartikan sebagai tidak sehat dan tengah menggali lubang kubur sendiri.
Cerita berdasar kisah nyata tersebut memang contoh ekstrim bagaimana psikologi manusia sebagai pelaku ekonomi sering didorong tindakan yang lebih mengedepankan emosi dibandingkan rasio. Kebutuhan manusia yang tak terbatas dihadapkan dengan terbatasnya alat pemuas kebutuhan. Gadget masih bagus dan berfungsi normal, sudah menginginkan teknologi terbaru yang jauh lebih mahal walau pemanfaatannya tidak optimal.
Tetapi, tidak menutup kemungkinan muncul beragam pengeluaran mendadak dalam jumlah besar yang sifatnya konsumtif tidak dapat ditangguhkan. Sementara pendapatan sudah habis digunakan untuk beragam pos pengeluaran rutin. Apalagi pilihan rasional yang dapat diandalkan selain utang?
Utang ke orang tua, saudara, atau teman
Cara tersebut banyak disarankan oleh para agamawan untuk menghindari riba atau siapa saja yang menghendaki risiko yang lebih lunak daripada jika kita berutang pada lembaga keuangan. Permasalahannya, kemudahan tersebut tidak berlaku umum sifatnya. Seandainya meminjam uang itu semudah membalik telapak tangan, maka pengajuan aplikasi kredit di bank tidak pernah ramai.
Itu belum kalau yang dipinjami malah pamer kondisinya yang lebih mengenaskan dari kita.
“Waduh, Sob. Kita juga lagi kering nih… sedangkan gajian masih jauh di ufuk barat. Mana cicilan ninja bulan kemarin nunggak, atap pada bocor belum bisa benerin, bini ngotot pingin kursus balet. Pusing banget ngak tuh? Kalo dapat lebih bagi-bagi yak!”
Utang Kredit Tanpa Agunan
Nah ini dia Bank Plecit jaman modern. Ramah saat menawarkan uang tapi begitu anda terbelit mereka akan mlecit sampai ke ujung dunia. Mengingat tingginya risiko yang dihadapi bank dengan kemudahan persyaratan pinjaman, bunga yang ditetapkan pun tinggi. Ada 2 jenis KTA yang ada di masyarakat saat ini yang berbasis bank konvensional dan fintech.
KTA dari bank konvensional walaupun bunganya tinggi, 11-20% per tahun, masih terhitung murah, “lebih beradab” dan menerapkan prinsip kehati-hatian. Ada tatap muka offline antara debitur dan kreditur. Sementara pinjaman berbasis fintech jauh lebih efisien dari segi pengajuan aplikasi dan pencairan dana.
Fintech dengan segala kemudahan tersebut memang sudah lama diramalkan akan cepat menggerogoti pasar gemuk yang selama ini dikuasai bank konvensional. Dalam waktu satu tahun, dari 11 fintech yang terdaftar di OJK pada juli 2017 menjadi 64 fintech terdaftar. Dari 3,5 trilyun pinjaman tersalur di tahun 2017 menjadi 9,21 trilyun per Juli 2018.
Inovasi disruptif yang merusak dan mengganggu kemapanan industri perbankan, walau dengan bunga lebih tinggi, kehadirannya sangat ditunggu konsumen yang rindu tak tertahan untuk utang. Iya seperti kalian para Celengers yang selama ini kesulitan dan tidak sabar dalam mengakses sistem perbankan kita yang prosesnya berbelit-makan waktu-harus bertemu. Fintech benar-benar menjadi tempat bergantung yang dapat memudahkan kehidupan.
Eits, itu cerita manisnya…
Dibalik terpangkasnya semua kerumitan tersebut, rahasia kalian benar-benar diserahkan pada “makhluk jejadian” tersebut. Kecerdasan buatan yang ditanamkan pada teknologi tersebut memungkinkan aplikasi yang kita pilih sebagai tempat untuk mengutang kita berikan ijin penuh untuk masuk ke dalam semua data penting kita.
Dalam laporan YLKI dan juga berita di salah satu stasiun berita nasional, banyak konsumen yang merasa menjadi korban atas praktek kasar perusahaan fintech yang beroperasi di Indonesia. Dari mulai aksi teror yang dilakukan para penagih utangnya hingga denda harian yang dapat mencapi 62% dari nilai pokoknya. Benar, lebih menyerupai rentenir daripada praktek bank plecit.
Itu belum kasus dipermalukannya banyak orang dengan kemampuan aplikasi tersebut meretas data phonebook kita hingga email kita. Kalian tidak mengangkat telpon karena enggan diteror para penagih utang, maka selanjutnya orang tua, saudara, teman dan bahkan atasan kalian yang diteror para penagih utang tersebut untuk mengingatkan anda melunasi utang.
Praktek itu dilakukan perusahaan fintech yang jelas-jelas telah terdaftar di OJK. Sementara ada ratusan perusahaan lain yang belum terdaftar mengintai kalian sebagai nasabah potensial. Bagaimana, masih tertarik utang melalui pinjaman online? Utang bolehlah tetap diperjuangkan kalau memang diperlukan, tetapi jangan sampai kebiasaan kalian yang gatal untuk klak-klik-klak-klik pada layar gawai justru akan mencelakakan.