MOJOK.CO – Matinya penjaga surau yang bunuh diri membuat surau desa tak lagi terurus. Seorang warga mencari tahu sebab si penjaga surau itu memilih mati. Ia menemukan sebuah dongeng tentang haji yang rajin beribadah tapi masuk neraka.
Andai saya diminta menyebutkan sepuluh cerpen Indonesia yang paling disukai, paling dikenang, dan paling melekat di pikiran, saya tak akan ragu memasukkan “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis (1924-2003) ke daftar. Ditulis lebih dari tiga perempat abad lalu, dengan teknik bercerita “lempar batu sembunyi tangan”, satire cerpen ini masih terasa tajam sengatannya. Realitas sosiokeagamaan yang ditampilkannya seolah terus membayangi bumi langit Indonesia, lebih-lebih belakangan ini.
Di dalam bahasa lain, inilah salah satu cerpen klasik dalam sejarah sastra Indonesia modern. Melalui cerpen ini, nama Navis melambung sebagai penulis sastra jempolan. Sedemikian rupa sehingga nama Navis sendiri identik dengan cerpen tersebut dan sebaliknya.
Melalui tokoh “aku”, cerpen ini bercerita tentang garin penunggu surau kampungnya yang mati membunuh diri. Sejak itu, surau kampungnya menjadi tak terurus dan perlahan tapi pasti hancur. Bagaimana bisa seorang marbut, seorang garin, bisa bunuh diri? Setelah “aku” melakukan penyelidikan, garin itu bunuh diri karena ia mendengar dongengan Ajo Sidi, si pembual kampung, tentang kehidupan di akhirat, yang ternyata yang membuat si garin patah semangat. Seluruh hidupnya yang selama ini curahkan semata-mata untuk mengelola surau bukan jaminan masuk surga. Dongengan apakah itu, inilah sebenarnya inti cerpen ini.
***
Pada suatu di akhirat, Tuhan memeriksa amal manusia. Di antara orang-orang yang diperiksa itu ada Haji Saleh. Ia selalu tersenyum karena merasa yakin akan masuk surga. Hingga tiba gilirannya. Inilah dialog Tuhan dan Haji Saleh yang sangat karikatural.
Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
“Engkau?”
“Aku Saleh. Tapi, karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.”
“Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.”
“Ya, Tuhanku.”
“Apa kerjamu di dunia?”
“Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.”
“Lain?”
“Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.”
“Lain.”
“Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.”
“Lain?”
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia sadar, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya walau menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi, setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
“Lain lagi?” tanya Tuhan.
“Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.” Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: “Tak ada lagi?”
“O, o, ooo, anu, Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.”
“Lain?”
“Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.”
“Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?”
“Ya, itulah semuanya, Tuhanku.”
“Masuk kamu.”
Haji Saleh pun dimasukkan ke dalam neraka. Di neraka ia ternyata banyak bertemu dengan sejawatnya, yang menurutnya juga sama tak kurang ibadatnya. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Haji Saleh dan kawan-kawannya tidak mengerti mengapa mereka dimasukkan ke neraka. Karena itu, mereka mencoba mempertanyakan keputusan itu alias memprotes Tuhan. Haji Saleh langsung memimpin demonstrasi tersebut.
Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran- Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.”
“Kalian di dunia tinggal di mana?” tanya Tuhan.
“Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.”
“O, di negeri yang tanahnya subur itu?”
“Ya, benarlah itu, Tuhanku.”
“Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?”
“Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.” Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
“Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?”
“Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.”
“Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?”
“Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.”
“Negeri yang lama diperbudak negeri lain?”
“Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.”
“Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?”
“Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.”
“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?”
“Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.”
“Engkau rela tetap melarat, bukan?”
“Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.”
“Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?”
“Sungguh pun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.”
“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?”
“Ada, Tuhanku.”
“Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!”
***
Demikianlah dongengan Ajo Sidi kepada garin yang membuatnya gundah gelana dan akhirnya membunuh diri. Meski “aku” marah kepada Ajo Sidi karena dongengannya itu mengakibatkan garin bunuh diri, katanya dongengan itu “tak dapat disangkal kebenarannya.”
Saya sengaja kutipkan panjang lebar bagian dialognya untuk memperlihatkan nuansa satiris dan karikaturalnya. Di satu sisi, dengan dialog itu tampak bagaimana Tuhan begitu dekat dan akrab dengan hambanya. Tuhan digambarkan sebagai “sosok” yang demokratis dan terbuka. Namun ironisnya, justru di dalam topik dialognya, terbentang jarak antara Tuhan dan hamba. Pengabdian kepada Tuhan tidak bisa mengabaikan dan bahkan harus selaras dengan pengabdian kepada umat manusia.
Untuk kesekian melalui karya sastra kita menemukan suatu kritik keras terhadap orientasi beragama yang hanya ditujukan untuk meraih surga dan menghindari neraka. Suatu orientasi keagamaan yang dalam cerpen ini disebut sebagai “egoistis” dan justru tidak dikehendaki Tuhan.
Berikutnya adalah kritik pada sosok “haji” sebagai representasi dari mereka yang mengklaim atau diklaim sebagai orang yang sepenuhnya menjalankan perintah Tuhan. Haji adalah puncak kesalehan ritual, karena melaluinya, seluruh sumber daya material, fisik, dan mental dicurahkan untuk menggenapinya, tapi itu bukan jaminan segala-galanya.
Para pengamat sering menyebut bahwa para pengarang Kiri pada 1950 hingga 1960-an awal banyak melakukan kritik terhadap kalangan agama, terutama sosok haji. Tetapi, menurut saya, kritik terhadap haji yang paling pedas dan keras justru dibuat oleh barisan pengarang Islam sendiri. Salah satunya lewat cerpen ini.
Akhirnya, sekali lagi, ketika membaca ulang cerpen ini, dan melemparkan pandangan pada realitas kehidupan keagamaan sekarang, rasanya “surau” itu bukan hanya roboh, tetapi hampir musnah. Ya “surau” dengan demikian semata alegori belaka. Yang hancur adalah hati kita. Hati orang-orang yang mengaku beragama.
Sebab, realitasnya kini: “… engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras.”
Baca edisi sebelumnya: Menemukan Kemiripan Yahudi dan Islam dalam Novel dan tulisan di kolom Iqra lainnya.