MOJOK.CO – Menjenguk suasana kolonialisme dalam novel Karl May, Dan Damai di Bumi.
Perjalanan selalu melahirkan perjumpaan. Makin jauh dan luas perjalanan, makin banyak dan beragam orang yang dijumpai. Mungkin karena itulah ketika menemui komentar seseorang yang dirasa picik terhadap suatu pendapat atau peristiwa, muncul sinisme dalam bentuk perkataan kurang piknik.
Namun, harus segera diberi catatan kaki bahwa seorang yang telah melakukan perjalanan fisik, ke berbagai wilayah, melintas banyak negara, mendatangi banyak kota, tidak otomatis akan bersifat terbuka. Sebaliknya juga, orang yang tidak pernah ke mana-mana tidak serta-merta berwatak tertutup. “Kurang piknik” di situ haruslah dimaknai secara batiniah, secara kejiwaan.
Perjalanan yang indah dan perjumpaan yang hangat tentulah mengandaikan adanya dialog. Dalam dialog, orang membuka diri, saling belajar, dan memperkaya batin. Pada akhirnya batinlah yang harus mengalami dampak dan pencerahan dari hasil perjalanan itu.
Novel Dan Damai di Bumi (Und Friedde auf Erden!) karya Karl May (1842-1912) bisa menjadi contoh bagaimana perjalanan fisik yang jauh dan lama itu mencerahkan batin. May adalah pengarang kisah-kisah petualangan yang masyhur dekade-dekade lalu, tak terkecuali di Indonesia, terutama melalui seri petualangan Winnetou, pemuda yang kelak menjadi kepala suku Apache yang memiliki persahabatan hangat dengan Old Shatterhand, seorang kulit putih dan Kristen yang saleh.
May mengolah dan menulis kisah-kisah petualangannya berdasarkan penelusuran peta bumi, laporan perjalanan, dan ensiklopedi. Berbeda dengan itu, Dan Damai di Bumi ditulis berdasarkan perjalanan dan pengalaman May yang nyata ke negeri-negeri Timur: mulai Mesir, Pakistan, Srilangka, Indonesia (Aceh dan Padang), hingga China selama Maret 1899 hingga Juli 1900.
Tahun-tahun perjalanan May adalah era bergeloranya kolonialisme. Di dalam kolonialisme tersebut, ada rasa keagungan bangsa Barat atas bangsa lain yang di antaranya mungkin berakar dari paham evolusionisme di dalam biologi, sejenis paham bahwa ada tingkatan-tingkatan kemajuan dalam peradaban kemanusiaan. Dan Eropa, ras putih, dalam hal akal budi, budaya, agama, sistem ekonomi, dan politik berada pada tataran paling tinggi sebagai makhluk yang beradab itu, sementara sisanya masih pada tataran pra-beradab.
Karena itulah menjadi tugas suci Eropa untuk memperadabkan masyarakat dunia. Medianya adalah kolonialisme. Ekspansi dagang, budaya, dan agama lalu disebar sebagai bagian dari kolonialisme. Kolonialisme didalihkan sebagai pemberadaban. Dan tentu saja, dengan paham itu, prasangka menjadi dasar Barat memandang “yang lain”. Dan Damai di Bumi, menurut saya, adalah sejumput kesaksian atas perjumpaan Barat dan berbagai ras di muka bumi, terutama Arab, China, dan Melayu.
Mengingat buku ini pertama kali terbit di Eropa dalam bahasa Jerman baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, maka peruntukan buku ini adalah kepada masyarakat Barat. Catatan konteks ini perlu diingat.
Yang aneh dan menarik tentu saja bagaimana May bisa sedikit keluar dari pandangan dominan kolonialisme yang memengaruhi hampir seluruh sendi kehidupan sosial, politik, pendidikan bahkan keagamaan. Sikap rasis dan diskriminatif sangatlah kuat serta menjadi praktik sehari-hari saat itu. Sewaktu di Padang, May menjelaskan hotel tempatnya tinggal yang membedakan kamar untuk orang Eropa dan kamar untuk pribumi. Persis dengan berbagai gambaran tentang Amerika waktu yang sama hingga pertengahan abad ke-20, yang membagi-bagi ruang publik untuk warga kulit putih dan warga kulit hitam.
Kolonialisme akhirnya adalah konfrontasi: peperangan, pemberangusan, penaklukan, pemusnahan, dan pembunuhan. Ketika menyimak laporan surat kabar tentang sekian orang yang mati dalam perang Belanda-Aceh, May mencibir: “Membawa peradaban tak ada bedanya dengan meneror.” Sungguh, penerjemah menggunakan kata meneror. “Ya, itu tak lain dari sejenis ‘terorisme’ yang berkedok ‘peradaban’,” kata May lebih pedas lagi.
Dalam rahim kolonialisme, Barat merasa sempurna dan digdaya. Wangsa lain dianggap kecil dan kerdil. Padahal, tulis May, “Orang yang menganggap dirinya sempurna tak akan mau mendengarkan orang lain.” Tentu, pun untuk belajar pada orang lain.
Dalam suatu episode diceritakan bagaimana Tsi, seorang dokter China menawarkan bantuan pengobatan kepada Waller, seorang misionaris yang kala itu sedang sekarat. Namun, karena kuatnya prasangka dan rasa superioritas, tawaran itu dianggap janggal, mengada-ada, dan hendak ditampik. Akhirnya Tsi jugalah yang tahu cara penyembuhan Waller. Mereka terperangah. Bagaimana mungkin ada orang non-Eropa yang pintar, santun, dan beradab? Pertanyaan yang sama dilontarkan ketika mereka berjumpa dengan seorang tetua adat Melayu yang bijak bestari. Atau ketika bersitatap dengan Sayyid Omar, orang Mesir yang saleh, jujur, tangguh menjaga kehormatan, dan senantiasa mau belajar.
Tokoh-tokoh seperti Sayyid Omar, Dokter Tsi, John Raffley, si “aku” Charley, dan seorang Inggris yang menjabat gubernur Srilanka adalah cermin bagaimana kerendahan hati, kesediaan belajar, dan keterbukaan menjadi etika dalam pergaulan antarras, agama, dan budaya. Di seberang itu, ada tokoh Waller, yang tinggi hati dan congkak. Dengan bersemangat dan ngotot, ia menjejalkan agamanya kepada orang lain. Namun, Waller kecewa karena orang yang ia jumpai menolak agama yang ia tawarkan dengan sombong itu.
Meski begitu, Waller tetap dijamu dan diperlakukan bak tamu agung. Sambutan indah dan beradab dari Perkumpulan Shen, demikian nama kelompok orang yang ia datangi dan ingin ia “agamakan”, sungguh bertolak belakang dengan prasangka Waller selama ini tentang orang-orang yang jahil dan jahat. Hal ini membuatnya terpukul dan jatuh sakit. Sesungguhnya, tulis May, Waller bukan semata sakit fisik (disentri), tetapi ada yang lebih mendalam dari itu, prasangka dan merasa benar sendiri, yang bagai virus menggerogoti jiwanya. Sebenarnya jiwalah yang sakit. Tokoh Waller dalam novel ini adalah penjelmaan dari kolonialisme itu sendiri.
Sebuah pertemuan akhirnya adalah sebuah pembelajaran. Demikianlah Karl May dalam novel yang penuh dengan hikmah dan perenungan ini, meski kadang terasa agak menggurui. Tapi, barangkali kita memang perlu lebih banyak berguru. Simaklah kalimat yang saya garis bawahi tebal dalam buku ini: “Dan jika engkau bertemu rumah ibadah, jadikanlah ia perlambang damai antarumat.” Sungguh kena bagi zaman yang sebagian penghuninya entah mengapa, demikian membenci rumah ibadah agama lain.
Kolonialisme yang formal memang sudah berakhir, tetapi mental picik yang menjadi rohnya inheren dalam diri manusia. Jika Anda mulai merasakan gejalanya, seperti tiba-tiba merasa bahwa orang lain, kelompok lain, budaya lain, dst. perlu “dibetulkan”, mawas dirilah. Jangan-jangan masalahnya cuma Anda yang kurang piknik.
Baca edisi sebelumnya: Rajin Beribadah tapi Masuk Neraka dan tulisan di kolom Iqra lainnya.