MOJOK.CO – Satu keluarga muslim memelihara anjing yang mula-mula dimaksudkan untuk menjaga rumah, kemudian berubah menjadi sahabat, dan akhirnya menjadi keluarga. Kisah itu ditulis oleh M. Dawam Rahardjo, cendekiawan muslim terkemuka yang Rabu malam lalu berpulang ke rahmatullah.
Satu keluarga muslim berduka dan menangis mengetahui anjing mereka mati. Mereka kemudian memandikan anjing tersebut, membungkus dengan kain kafan, menguburkan, serta mendoakannya sebagaimana manusia.
Itulah kisah dalam cerpen “Anjing yang Masuk Surga” karangan M. Dawam Rahardjo (1942-2018). Tokoh-tokoh dalam keluarga tersebut ialah Usamah, istrinya, serta dua anak mereka Najib dan Faris. Mereka keluarga muslim Arab dan anggota sebuah organisasi Islam modern bernama Al-Irsyad.
Seusai kuliah, Usamah pergi ke Jakarta dan menjadi wartawan sebuah majalah berita terkemuka. Setelah bertahun hanya menyewa, ia kemudian bisa membeli tanah yang murah di sebuah kampung Betawi yang agak pelosok, hanya dibatasi sebuah kali kecil dari persawahan.
Di sana, ia membangun rumah sederhana tapi berhalaman luas. Sebagian pekarangannya dipakai untuk memelihara ayam. Karena ayamnya sering dicuri orang, seorang sahabatnya menganjurkan agar ia memelihara anjing.
Usamah pun memelihara anjing setelah terlebih dulu bertanya kepada Buya Hamka yang dipandang sebagai ulama, apakah orang Islam boleh memelihara anjing. Walau persetujuan Buya Hamka sudah dikantongi, memelihara anjing di kampung Betawi tetap tidaklah mudah. Salah-salah ia bisa tidak disukai orang sekampung dan memang itulah yang terjadi.
Anjing pertamanya, jenis German Shepherd bernama Nero yang baru berusia satu setengah tahun mati diracun. Ia dan keluarga, terutama Najib yang masih kecil, sangat sedih kehilangan Nero. Namun, Usamah bertekad untuk memelihara lagi. Kali ini ia memelihara jenis Gaberman yang diberi nama Hector.
Suatu kali anjingnya ini diajak ke pasar untuk berbelanja. Ketika si ibu pergi dan barang pembelian yang dijaga anaknya Najib mau dicuri orang, Hector meloncat menerkam si pencuri. Si pencuri yang ketahuan kemudian malah mengelak dan memutarbalikkan cerita.
“Kenapa kamu mau mencuri ?” tanya Bu Usamah.
“Tidak, tidak, saya tidak mencuri,” jawab si pencuri.
“Tidak mungkin kamu diterkam oleh anjing saya, jika tidak mau mengambil barang saya.”
“Ibu percaya pada saya atau percaya kepada binatang najis itu?” Ibu Usamah merasa glagepan mendengar tangkisan pencuri itu. Orang-orang yang berkerumun sepertinya memahami pertanyaan si pencuri.
Oleh karena tidak ada bukti, pencuri itu pun lepas.
Demikian juga pernah ada seorang pemuda kampung hendak mencuri ayam. Untungnya Hector berhasil mengejar dan menggigit pencuri itu. Tapi, orang kampung justru membela pemuda pencuri itu dan hendak memukuli si anjing. Untung Usamah cepat datang dan mencegah. Usamah sendiri dituduh sesat karena memelihara anjing.
“Jaga dong anjingnya. Kalau Bapak tidak datang, anjing itu pasti mati kami hajar.”
Dengan keberadaan Hector, rumah dan ayam Usamah tidak pernah kedatangan pencuri lagi. Dengan sebab yang sama pula, teman-teman Usamah turut enggan bertamu.
Usamah tidak peduli. Yang jelas Hector menjadi teman baik seluruh anggota keluarga. Kalau siang, Hector sering masuk rumah dan menonton TV bersama anggota keluarga. Ia terutama dekat sekali dengan Faris, anaknya yang terkecil. Mereka saling menyayangi. Kalau malam, Hector akan tidur di luar rumah untuk menjaga rumah.
Demikian kedekatan keluarga Usamah dengan anjing tersebut.
***
Dawam Rahardjo lebih dikenal sebagai ekonom dan cendekiawan muslim. Karya tulisnya berlimpah. Ia salah seorang bintang di langit pemikiran Islam era 1970 hingga 2000-an. Sekali waktu ia juga menulis cerpen, salah satunya cerpen “Anjing yang Masuk Surga” ini. Saya tidak tahu persis mengapa ia tidak menulis esai saja mengenai hal ini. Ia penulis esai keagamaan yang bagus. Mungkin karena ia merasa lebih aman dan nyaman menceritakan hal ini dalam bentuk cerpen.
Dalam masyarakat Islam, soal anjing terus menjadi kontroversi tak ada habis. Seseorang yang dianggap longgar dalam hal lain pun bisa jadi sangat kaku ketika masuk pada urusan anjing. Dengan mengungkapkannya dalam bentuk cerpen, Dawam tidak perlu mengutip ayat suci, hadis, atau referensi keagamaan lainnya. Jadi kalau ada yang tidak setuju, ia (atau pembacanya) cukup menjawab: ini kan hanya cerita fiksi.
Tapi, mungkin Dawam memilih menuliskannya dalam bentuk cepern karena merasa nyaman. Sebab, memang yang ingin ia sampaikan adalah cerita yang berdasar pada fakta. Bukankah Hamka, ulama yang disebut itu, adalah figur historis. Hamka, ulama terkenal pada zamannya itu, disebut dalam cerita juga memelihara anjing. Dengan demikian, bukan tidak mungkin Usamah dan keluarganya pun nyata adanya.
Gaya bercerita Dawam sederhana. Alurnya bergerak lurus dan berujung pada klimaks, yaitu ketika anjing kesayangan mereka mati dengan tenang di hadapan Usamah sekeluarga karena usia tua.
Pada suatu sore di hari Sabtu, Usamah sekeluarga menonton TV. Faris sudah berangkat besar, sudah masuk SMP. Ia masih akrab saja dengan Hector. Ketika Usamah sekeluarga sedang santai nonton TV, tiba-tiba Hector masuk ke ruangan. Ia pun dengan santai nongkrong seolah-olah ikut menonton TV. Setelah sejenak duduk, tiba-tiba kepala Hector lunglai kemudian seolah-olah tertidur. Tapi lama benar ia tidur sampai waktunya ia seharusnya keluar rumah. Faris pun menggoyang-goyangkannya, tapi Hector tidak bangun juga. Rupanya, Hector sudah berhenti bernapas.
Melihat Hector tak bangun lagi, seluruh keluarga gempar. Ibu Usamah menangis menjerit-jerit yang diikuti oleh anak-anaknya, terutama Faris. Melihat keadaan itu maka Usamah pun, dengan suara tersendat-sendat berkata: “Anak-anak, manusia pun akan mati, apalagi binatang yang umurnya lebih pendek dari manusia. Hector sudah berumur hampir lima belas tahun, padahal anjing-anjing yang lain hanya berumur sekitar tujuh atau delapan tahun. Inna lillahi wa inna lilahi rojiun. Semuanya berasal dari Allah. Ia dan kelak kita semua juga akan kembali kepadaNya. Abah yakin, Hector akan masuk surga, seperti anjing para pemuda Ashabul Kahfi.
Bagian akhir ini terasa mengharukan. Terasa sekali, anjing yang semula hanya penjaga rumah dan ayam-ayam piaraan telah berubah menjadi teman, kemudian bertransformasi lagi menjadi bagian dari keluarga. Dan bahkan di akhir, anjing itu dipandang seperti malaikat yang layak masuk surga.
Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Hector dimandikan dan dibungkus dengan kain kafan putih, seperti manusia. Ia pun dikuburkan. Pak Usamah sempat membaca doa, sambil menitikkan air matanya. Ia kehilangan malaikat penjaga keluarganya. Sebenarnya, tanpa doa pun, malaikat akan masuk surga. Tapi Hector lebih menyerupai manusia, bagian dari keluarga Usamah.
Tentu saja tema cerita ini bukan sesuatu yang baru. Dalam cerita pewayangan, diceritakan Yudhistira enggan masuk surga karena anjingnya tidak diperbolehkan ikut masuk. Yudhistira berdalih, bagaimana bisa mengkhianati kesetiaan anjingnya dengan berenak-enak sendiri di dalam swargaloka dan meninggalkan teman baiknya. Dewa pun akhirnya luluh dan mempersilakan anjingnya turut masuk.
Dalam tradisi Islam, terkenal cerita Qitmir, anjing yang menemani tujuh pemuda saleh mengasingkan diri ke gua untuk menghindari pemaksaan raja lalim agar berpaling dari Allah. Mereka kemudian tertidur selama 300 tahun dan ketika bangun, keadaan masyarakat sudah berubah menjadi taat kepada Allah. Allah kemudian menjamin ketujuh pemuda dan anjing itu masuk surga. Sejauh ini, Qitmir adalah satu-satunya anjing yang dipastikan masuk surga.
Apa yang baru dari cerita Dawam ini adalah keyakinan Usamah dan keluarganya bahwa yang masuk surga bukan hanya anjing ashabul kahfi. Hector, anjing mereka, seperti Qitmir, pun akan dan layak masuk surga. Cara Usamah sebagai keluarga muslim memperlakukan anjingnya yang mati itu sungguh menarik sekaligus pasti mengundang kontroversi.
Anjing memiliki kesetiaan tiada tanding. Anjing juga sangat amanah. Ia tidak pernah berkhianat dan berbohong. Cerita keluarga Usamah menunjukkan dengan baik relasi anjing dan manusia. Urusan anjing tidak lagi didekati secara teologis. Perkara haram dan najis sudah mentok. Dengan dengan pendekatan yang melihat anjing sebagai sesama makhluk ciptaan Allah, kebekuan cara pandang halal-haram itu diharap dicairkan. Mungkin karena itulah Dawam menuliskannya dalam bentuk cerita fiksi.
Tulisan ini ditujukan untuk mengenang M. Dawam Rahardjo, cendekiawan muslim yang toleran dan terbuka, yang ketika esai ini ditulis semalam, beliau baru saja dikabarkan wafat. Selamat jalan, Mas Dawam. Insyaallah pintu surga terbuka untukmu. Amin ya rabbal alamin.
Baca edisi sebelumnya: Pengemis yang Mendendangkan Salawat Badar dan tulisan di kolom Iqra lainnya.