Bisa jadi, ring road Yogyakarta menjadi jalanan paling sendu di Kota Pelajar. Jalanan sepanjang 36,7 kilometer ini menjadi saksi bisu, banyaknya air mata anak muda yang melarung kesedihan dengan tangisan sepanjang jalan.
***
Saya kepayahan mengejar laju motor Dimas (23) yang kecepatannya menyentuh 100 km/jam di Ring Road Selatan. Motor saya yang notabene adalah matik, sedang Dimas menggunakan Vixion, tunggang-langgang kepayahan mengejar lajunya. Deru mesin motor saya sudah ngos-ngosan, tangan saya pun sudah ngewel karena nggak terbiasa dengan kecepatan di atas 70 km/jam yang malahan bikin bulu kuduk saya berdiri cringit-cringit.
Kalau motor saya bisa ngomong, pasti lah ia sudah menjerit seraya berkata, “Duh, Gustiiiii!”
Ditambah angin malam yang pating sembribit, jalanan yang lengang dihantui kesepian, laju motor kami saling kejar seperti kebanyakan peristiwa di Jogja malam hari selayaknya dalam gim GTA.
Dari belakang, tubuh Dimas nampak kaku. Yang bergerak hanya tangan kanan yang memacu gas, tangan kiri yang mengokang kopling, dan kedua kaki yang siap siaga ketika disambut oleh lampu merah. Entah bagaimana dengan kondisi pipinya, penuh dengan rembesan air mata atau kering lantaran kebas saking sakit hatinya.
Dimas sedang galau lantaran diputus oleh pacarnya di awal bulan puasa ini. Katanya, puasa tahun ini bukan hanya menahan nafsu, namun juga menahan tangis. Sungguh melankolis ketika Dimas mengajak saya untuk mubeng—atau memutari—ring road seperti kebanyakan anak muda di Yogyakarta ketika bersedih.
“Boleh aku sekalian observasi untuk liputan?” tanya saya, Dimas hanya mengangguk dengan khidmat.
“Mubeng ring road itu udah seperti tradisi anak muda ketika galau,” katanya sebelum kami mentas via Ring Road Timur, Blok O. Dimas ancang-ancang, gas dipacu, mak sruntul Dimas melaju dengan kecepatan penuh, dan saya hanya bisa mbatin, “Astaghfirullah” berkali-kali sambil geleng-geleng kepala. Observasi, sih, ya, observasi, tapi ya nggak begini banget juga tho yaaa.
Merasa sudah terlalu berlebihan, di ring road sekitaran, Jalan Parangtritis, saya meminta Dimas untuk mengakhiri pelarungan sedihnya. Jika diteruskan, kok ya saya khawatir malah ada apa-apa. Bukan hanya takut dengan kondisi hati dan perasaan Dimas, namun juga dengan kondisi motor saya.
Sebelum lebih jauh, bagi pembaca yang belum pernah ke Yogya, ring road adalah sebutan untuk jalan lingkar yang melintasi dua kabupaten di Provinsi DIY, tepatnya Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Jalan lingkar ini juga memutari Kota Yogyakarta. Total panjangnya 36,7 kilometer.
Berharap kesedihan menguap di sepanjang jalan
Tidak hanya Dimas yang menganggap bahwa ring road adalah sarana yang tepat untuk melepas kesedihan, melainkan juga Rona (22) yang beberapa kali menunaikan kesedihan di ring road. Bagi Rona, mubeng ring road bukan sarana melepas sedih secara total, melainkan hanya sebagai pelampiasan saja.
“Huum, sebagai pelampiasan sedih. Tapi ya itu, sedihnya nggak bakalan gugur, tapi setelah melakukan itu (mubeng ring road, red) rasanya jadi plong. Plong aja, masalah sedihnya selesai atau nggak, mah, urusan nanti,” katanya ketika dihubungi via pesan Instagram.
Perempuan yang berstatus mahasiswi di salah satu kampus negeri Jogja ini menambahkan, perasaan plong ini adalah hasil yang ditimbulkan oleh rasa capek setelah mubeng ring road. Rona menjelaskan, “Plong didapat karena capek. Ya bayangin aja, mubeng ring road yang luasnya sebegitu, ketika pulang ke rumah ya pastinya ngelih. Habis itu tidur. Dengan tidur lah kesedihan terlupakan sementara walau nggak selesai begitu saja.”
Rona menganggap, mubeng ring road adalah cara lain untuk memperoleh lelah, kemudian di rumah ia tuntaskan dengan beristirahat, tidur salah satu contohnya. “Bangun-bangun masalah masih ada, tapi agak ringan aja rasanya. Nggak berat-berat banget. Terima kasih, ring road,” jelasnya.
Pun sama halnya dengan Dimas, tiap ia mendapatkan masalah, ring road adalah kawan curhat yang nggak mungkin berkhianat. “Se-kanca-kanca kenthel-nya saya dengan manusia, pada akhirnya kisah sedih saya ini menjadi konsumsi mereka. Makanya saya memilih untuk menempuh jalan lain—selain curhat kepada kawan—yakni bercerita kepada Ring road melalui roda-roda motor saya yang melaju dengan penuh kesedihan,” katanya.
Dimas yang notabene adalah mahasiswa Fakultas Sastra, alih-alih melempar kesedihan menggunakan tulisan dan puisi-puisinya, ia lebih akrab dengan ring road. “Puisi-puisi sedih yang saya tulis ini adalah pelepasan, sedang ring road adalah penunaiannya,” jawabnya.
Ditemui di salah satu kampus terkemuka di Yogya, Arie (25), secara teoritis menegaskan bahwa mubeng ring road yang kadang ia lakukan adalah sebagai bentuk stres rilis. “Ya, aku tahu sih, beberapa riset (tentang cara melampiaskan stress, red) menyebutkan sebagai bentuk negative escaping. Riset itu mencontohkan bentuk paling negatif lho ya, semisal ngebut di jalanan di bawah kondisi alkohol, atau justru dalam kondisi sober, itu adalah negative escaping.”
Ketika ditanya apakah takut terjadi peristiwa yang nggak diiinginkan kala mudeng ring road, Arie bilang bahwa ia tidak takut. “Yang penting mencari senang. Tapi sesedih apapun kondisi tubuh harus tetap siaga dan tentunya fokus,” pungkasnya.
Rona justru mengatakan sebaliknya. Ia merasa nyaman dengan mubeng ring road, namun kondisi Jogja yang masih penuh tanda tanya akan keamanan ketika malam, membuat dirinya ketakutan. “Biasanya aku keluar rumah pada senja-senja ba’da Magrib gitu. Itu kalau mau santai, ya. Kalau mau agak lengang jalanannya, aku memilih keluar pukul tujuh. Pol mentok jam delapan pulang, deh,” jelasnya.
Rona masih dihantui perasaan takut oleh klitih. “Ncen asuog klitih,” ungkapnya dengan muntab. Ia kembali menuturkan, “Nek keluar malem ya mau banget. Ketimbang keluar setelah Magrib yang belum sepi-sepi amat atau sore yang masih terang benderang. Kalau keluar sore, ha ini mau nangis dan mencari perasaan plong atau malah mau pamer derai air mata di bawah naungan senja?” katanya disertai emotikon tertawa.
Rona melanjutkan kembali, “Tapi ya itu tadi, klitih ganggu agendaku bahkan masalah kesedihanku sekalipun!”
Serupa namun tak sama dengan Rona, alasan Arie memilih malam hari lantaran mencari angin segar. “Boso Jowo gaul e ya cari angin seger. Motoran kan merupakan bentuk hal inisiatif dan berharap mendapatkan kondisi tenang setelah melakukan itu semua,” jelasnya.
Setali dengan Arie, Dimas mengatakan bahwa kegiatan ini adalah bentuk lebih soft peredam sedih ketimbang mabuk-mabukan atau hal negatif lainnya. “Murah, sih, enggak, kan ada bensin yang harus dibakar. Tapi ini salah satu bentuk saja. Lha aku stress rilis mau main musik, gak bisa. Mau nyanyi, suara sumbang. Mau mengutuk diri, ah eman sekali rasanya. Saya masih menganggap, diri saya masih berharga,” jelasnya.
Ditanya berapa kecepatan yang paling maksimal selama mubeng ring road, Rona dan Dimas kompak menjawab kurang lebih 100 km/jam. Sedang Arie mengatakan bisa sampai 120 km/Jam. “Hah? Segitu cepat? Lha wong itu masih bisa ditikung sama Rossi dan Pedrosa,” jawabnya sambil tertawa.
Apakah aman mubeng ring road malam hari?
Ditemui di pagi hari, dalam keadaan kemrungsung karena hendak bertugas, seorang polisi lalu lintas yang saya temui memberi jawaban yang jelas. “Jalanan itu milik bersama. Siapapun boleh menggunakan. Tapi kalau konteksnya sedang sedih, rawan kehilangan fokus, saya sarankan untuk bersedih di rumah saja.”
Sembari mengikuti blio yang hendak bertugas di sekitar Ring road Terminal Giwangan, saya bertanya, “Kalau masalah klitih malam hari bagaimana, Pak?”
“Apalagi malam hari, ya? Saat ini semua pihak berusaha menanggulangi dan semoga didukung oleh muda-mudi… Apa? Galau? Nah, muda-mudi galau itu. Semoga mereka mendukung kami dengan cara sementara ini mbok ya galaunya di rumah aja dulu. Kita lawan bersama kejahatan jalanan,” tutupnya.
Triatmoko (27), salah satu driver ojek online yang pernah mengalami kejahatan jalanan bernama klitih ini mengungkapkan bahwa kalau bisa nggak keluar malam, ia lebih baik diam di rumah dan bermain bersama anak. “Kan ada rejeki yang kudu dicari, Mas. Kalau siang nggak nutup, terpaksanya sampai malam. Pun kepepetnya lewat jalan-jalan rawan klitih, duh, rasanya hati saya begitu dag-dig-dug,” kenangnya.
Tri yang berdomisili di Bantul ini mengalami kejahatan jalanan pada tahun 2020. “Nggak sampai berdarah-darah, tapi sempet dipepet dan mereka bawa Samurai (katana, red).”
Menanggapi fenomena muda-mudi patah hati dengan cara mubeng Ring road, Tri menyarankan untuk mengalokasikan kesedihan dengan cara yang lain saja. Menurutnya, cukup hati yang tersakiti, jangan tubuh sendiri apalagi perasaan orangtua yang pastinya menanti dengan doa-doa yang terpanjat setelah ibadah.
Alasan utama memilih ring road sebagai pelepas kesedihan
Ketika mengetik “ring road” di Twitter, banyak yang bercuit dan mengisahkan bahwa ring road merupakan tempat yang tepat untuk melarung kesedihan. Saking tepat dan nyamannya, banyak di antara mereka yang menobatkan bahwa ring road adalah mediator penghubung antara dirinya dengan kesedihan. Tren seperti ini bukan hanya terjadi belakangan, bahkan banyak pengguna Twitter yang bercuit tentang fenomena ini sejak tahun 2010-an ke bawah.
Ring road menjadi pilihan utama, lantas apa alasan mereka—para muda-mudi Jogja bagian galau— menamakan ring road sebagai tempat yang tepat untuk melakukan rekreasi pelepas kesedihan? Mengapa nggak pusat kota yang notabene penuh dengan hingar bingar cahaya yang berpendar indah?
Rona punya jawaban yang menarik dan logis, katanya, “Pusat kota itu rame dan kebetulan aku kurang suka sama tempat yang rame-rame. Walau rame, tetap aja merasa kesepian. Ya, istilah kerennya kesepian di tengah keramaian. Jadi percuma kalau motoran di kota, ya ngapain. Bukannya bikin plong, malah bikin bingung karena banyak lampu lalu lintas,” katanya.
Rona juga punya alasan lain, yakni perihal mengolah kesedihannya, “Lagian nek mau ngebut di pusat kota malah jadi mikir dua kali. Pertama karena jalannya yang relatif sempit dan banyak orang lewat. Kedua, yang aku sebutkan tadi, banyak banget lampu lalu lintasnya. Kan nggak lucu ya kalau mau nangis malah ke-pause sama bangjo,” katanya sembari gojek.
“Tapi beneran deh, aku nggak guyon, bayangin aja lagi enak-enak nangis menikmati suasana, eh tiap beberapa meter ada lampu lalu lintas. Kan jadi nggak los gitu, lucu banget kalau nangis tiap tiga menit sekali, terus diem di bangjo, ketika lampu hijau, nangis lagi. Ini aku mau nangis dengan loooos, bukan mau casting FTV Azab,” jelas Rona.
Arie, yang sejatinya suka motoran untuk ngulik jalan-jalan kecil di Jogja ini juga condong memilih ring road sebagai tempat melarung kesedihan. “Aku suka ngulik, cari tempat bagus dan nyaman. Tapi kalau ke pusat kota kan harus memeras ingatan ya. Maksud dari memeras ingatan itu, ya, mengingat jalan, momen, hal-hal seru, dan lainnya. Ya, kasarannya, sih, wedi ndak kesasar,” ujar Arie.
“Kalau ring road lebih difavoritkan itu alasannya karena yang mau bersedih itu kebanyakan males mikir, jadi ya milih jalan yang linear dan ring road jawabannya. Lagian, ring road ya ngono-ngono thok, mosok kesasar?” lanjutnya.
Menangis dan bersedihlah, namun tetap fokus dan bertanggungjawab
Dimas sadar akan kerasnya jalanan. Ia mengenakan setelan lengkap mulai dari helm sampai sepatu. Setelah ia berhenti di pinggiran ring road dekat Toko Cat Warna Abadi, Jalan Parangtritis, ia menunduk lesu. Saya yang masih ndredeg lantaran mengikuti laju motornya yang berkecepatan penuh, hanya bisa menepuk-nepuk pundaknya.
“Semua bakal baik-baik saja, baik itu kisah cintamu juga dirimu sendiri,” kata saya. Padahal kaki saya masih kesemutan dan sedikit gemetaran.
Saya jadi ingat apa yang dikatakan oleh Arie, satu hari sebelum bersua dengan Dimas, katanya, “Sedih hak segala manusia. Melaju dengan cepat pun boleh, kan, selagi sesuai aturan. Tapi fokus di ring road itu amat perlu. Bukan hanya sekadar menjaga kesehatan tubuh kita, namun juga pengguna jalan yang lainnya,” tutup Arie yang pernah memutari ring road sebanyak 2 putaran.
Jujur saja, walau Dimas dalam aksi pelarungan kesedihan di ring road sudah menggunakan perlengkapan dan keamanan berkendara yang memadai, namun sisi emosional dirinya terlalu meluap-luap. Tangisnya menutupi titik fokus dalam berkendara dan bisa saja membahayakan dirinya atau malah pengguna jalan yang lainnya.
“Emosi itu bahaya sekali,” kata Dimas yang masih termangu di jalan. “Saya terlalu terlelap oleh perasaan sedih dan lupa bahwa pengguna jalan lain juga punya kepentingan yang nggak kalah penting dari saya,” tutup Dimas.
Sultan HB X memberi penegasan bagi yang ingin melarung kesedihan di ring road
Sebuah peristiwa bersejarah terjadi di tahun 2017 yang bisa jadi menjadi penegas bagi anak-anak muda untuk melarung kesedihan dalam hatinya. Di tahun itu, Raja Keraton Yogyakarta sekaligus Gubernur DIY Sri Sultan HB X mengubah penamaan ring road menjadi beberapa nama jalan yaitu Jalan Pajajaran, Jalan Siliwangi, Jalan Majapahit, Jalan Brawijaya serta Jalan Ahmad Yani dan Jalan Prof Dr Wirjono Projodikoro.
Penamaan jalan itu, terutama empat nama pertama memiliki makna filosofis cukup dalam terkait peristiwa yang terjadi sekitar 600 tahun lalu yang dikenal dengan Perang Bubat. Rombongan dari Sunda yang memenuhi undangan kerajaan Majapahit untuk menyatukan keluarga melalui pernikahan putri kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka dengan Raja Majapahit Hayam Wuruk. Sayang pernikahan itu urung terjadi karena rombongan dari Sunda dihabisi oleh Mahapatih Gadjah Mada yang menilai kedatangan rombongan itu untuk tunduk pada Majapahit. Sejak saat itu, ada anggapan bahwa orang Sunda dilarang menikah dengan orang Jawa.
Peresmian nama jalan dihadiri Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Walikota Bandung Ridwan Kamil yang anggaplah mewakili masyarakat Sunda dan Sekda Provinsi Jawa Timur Akhmad Sukardi yang menjadi simbol dari Kerajaan Majapahit. Di depan mereka, Sultan HB X menyampaikan bahwa pemberian nama jalan itu merupakan simbol persatuan sekaligus rekonsiliasi kultural. “Saling memaafkan, saling tidak ada dendam.”
Jadi jika ingin benar-benar melarung kesedihan di ring road Yogyakarta, awali dulu dengan saling memaafkan, saling tidak ada dendam dan berdamai dengan diri sendiri.
BACA JUGA Di Balik Ayam Geprek Bu Rum, Ada Kasih dan Kisah Ibu yang Mandiri lainnya.