MOJOK.CO – Saya langsung jatuh cinta ketika kali pertama menggunakan laptop Lenovo ThinkPad pada 2007. Laptop yang bentuknya kayak bento itu.
Sejak 2009 sampai sekarang, saya sudah lima kali ganti laptop. Laptop pertama saya adalah Satellite seri jadul (lupa serinya) 14 inci keluaran Toshiba. Prosesornya Intel Dual-Core yang menemani saya main Counter Strike 1.6 sampai baterainya meninggal. Kedua adalah Dell Inspiron M102z. Sebuah laptop 11.6 inci dengan prosesor AMD E-450 yang konyolnya mau berjibaku bersama saya main game Just Cause 2 dan Modern Warfare 2 meski “agak ogah-ogahan”.
Sebelum lanjut, ada lucunya kalau kita coba dengarkan musik keygen legendaris yang dulu saya dengarkan ketika menginstal Just Cause 2 sambil “oleng kapten” di sini:
Masuk tahun keempat perkuliahan, ketika mengerjakan skripsi, Dell Inspiron kecil yang saya pakai sudah mulai berisik seperti penyedot debu. Saat itulah saya tahu, Inspiron kecil itu sudah saatnya beristirahat.
Setelah itu, saya ganti laptop Lenovo IdeaPad Z40-75 dengan prosesor AMD A10. Kenapa AMD? Jelas, karena harganya terjangkau. Tapi sayang, ia cepat karam di darat, celaka di tempat aman. Mati begitu saja di atas meja setelah sepuluh hari dipakai skripsian.
Saya membawanya ke pusat servis resmi. Satu minggu setelahnya saya mendapat kabar kalau papan induk Lenovo IdeaPad Z40-75 saya mati. Saya masih bersyukur karena tidak mendengar kalimat, “IC power-nya kena, Mas.”
Saya ditawari ganti laptop yang sama, tapi dengan prosesor Intel i7 atau uang dikembalikan sepenuhnya sesuai harga beli. Saya memilih yang kedua.
Uang sudah kembali, tapi saya memutuskan untuk berhenti membeli laptop. Saya membeli Lenovo ThinkPad seri X240 bekas. Lha, kok, bukan laptop? Karena iklan mereka bilang “It’s not a laptop. It’s a ThinkPad.”
Setahun setelah lulus, saya menjadi buruh kontrak di Jakarta dan mendapat pinjaman laptop Dell Latitude 5480. Ini laptop keempat saya. Pengalaman bersamanya hanya berlangsung dua bulan karena kemudian kantor saya tutup dan laptop harus dikembalikan.
Saya senang pakai Dell karena bisa pakai sistem operasi Linux dengan lancar dan nggak ribet. Di tempat kerja baru, saya dapat pinjaman MacBook Air.
Dari lima laptop itu—Satellite, Inspiron, IdeaPad, Latitude, dan Air—saya paling nyaman pakai… bukan, bukan Air, tapi Latitude. Air mungkin cukup oke buat pamer waktu nongkrong di kafe, tapi ya, cuma itu saja. Latitude adalah pilihan kedua saya setelah laptop Lenovo ThinkPad.
Saya jatuh cinta untuk kali pertama dengan laptop Lenovo ThinkPad pada 2007. Laptop ini kokoh, tahan banting. Ia punya indikator perangkat keras yang kelap-kelip seperti hiasan pohon natal.
Dan, tentu saja saya tak bisa melupakan sensasi luar biasa yang didapatkan ketika memainkan kursor menggunakan benda merah kecil aneh yang ada di tengah-tengah kibornya. Yang Maha TrackPoint.
Sebagian orang mungkin membencinya. Tapi, saya pikir, ini merupakan alat navigasi kursor paling presisi. Ada juga orang yang nggak suka laptop Lenovo ThinkPad karena desainnya.
Alkisah, desain laptop Lenovo ThinkPad mengambil inspirasi dari “bento”. Bukan lagu Iwan Fals tentu saja, tapi bekal khas Jepang. Lebih tepatnya shokado bento—bento tradisional dengan wadah kotak sederhana yang dipernis warna hitam.
Ketika tertutup, ia terlihat sangat sederhana. Tapi, begitu dibuka, semuanya tampak cantik seperti bento yang ditata dengan penuh kasih sayang.
Ketika banyak produsen ramai-ramai bikin laptop berwarna putih, Lenovo ThinkPad hadir dengan warna berbeda, hitam. Karena berani tampil beda, laptop Lenovo ThinkPad menjadi salah satu laptop laris.
Berkat keberanian Lenovo, bermunculan komputer pribadi, stasiun kerja, dan peladen dengan sasis warna hitam. Tentu saja itu punya dampak yang besar terhadap citra merek dan kesuksesan laptop Lenovo ThinkPad.
Laptop ini adalah pilihan terbaik untuk orang yang pekerjaannya mengetik, baik menulis, atau rekayasa perangkat lunak. Benda merah ikonik di tengah itu membuat kita tak perlu menggeser posisi tangan dari kibor untuk sekadar memindahkan kursor. Jadi, kita tak akan kehilangan momentum. Mengetik lebih lancar, kerjaan selesai lebih cepat.
Dan tentu saja seperti sahabat sekain baju yang selalu menyemangati saat sedang kuyu, kibor ThinkPad mendorong kembali jari-jari kita yang mulai lelah untuk terus melanjutkan ketikan. Eh, kok malah terdengar seperti bos yang jahat, ya?
Sekarang sudah sekitar satu tahun saya berpisah dengan laptop Lenovo ThinkPad. Saya meminjamkannya pada teman yang butuh untuk pekerjaannya. Saya sendiri sudah ada laptop pinjaman. Ia pernah bilang tertarik untuk membelinya karena sudah terlanjur cocok. Tapi, sampai sekarang, saya belum dengar kabarnya lagi.
Selama ini, saya selalu merekomendasikan laptop Lenovo ThinkPad jika ada teman yang mau beli laptop. Sampai saat ini, saya sukses mengonversi empat orang. Satu teman sekolah dan tiga teman aktivis yang salah satunya sekarang menjadi pegawai BPD daerah Padalarang.
Nah, jika tertarik membeli Lenovo ThinkPad tahun ini, ada tiga pilihan yang bisa kamu pilih. Pertama, seri X atau T dengan prosesor AMD Ryzen seri 4000 yang akan keluar sebentar lagi. Kedua, membeli T480 bekas yang harganya mulai turun dan RAM-nya bisa di-upgrade. Ketiga, membeli X395 AMD Ryzen 7 seri 3000.
Saya, sih, mau yang pertama, kalau dibolehin sama pacar.
BACA JUGA Rekomendasi Laptop Tipis Terbaik dari Semua Kelas Harga atau tulisan soal gadget lainnya di warung terdekat, ahh maaf, di rubrik KONTER.