MOJOK.CO – 2018 dibuka dengan kasus-kasus mempelai yang pingsan di pelaminan setelah pelukan sama mantan yang datang. Semua kasus yang viral terjadi di Sulawesi Selatan. Why?
Dalam rentang waktu yang tak terlalu lama, ada dua kejadian mempelai pingsan saat mantannya datang ke resepsi pernikahan.
Kejadian pertama, Januari 2018, mempelai pria bernama Noki ambruk setelah ia memeluk mantannya yang datang ke resepsi dan menyumbangkan sebuah lagu berjudul “Balo Lipa’”. Kejadian kedua, awal Maret 2018, gantian seorang mempelai perempuan yang semaput di pelaminan. Sindy namanya, tak kuasa melawan tarikan gravitasi saat mantannya hadir memberi selamat atas pernikahannya dengan pria pilihan orangtua. Sindy roboh setelah sang mantan berbadan tegap itu memberinya pelukan perpisahan.
Peristiwa pertama terjadi di Wajo, peristiwa kedua terjadi di Luwu Timur. Dua-duanya di Sulawesi Selatan walau beritanya viral ke mana-mana berkat medsos hingga melenting ke media mainstream.
Entah sekadar ingin tahu atau memang heran, bos saya pun bertanya kepada saya. Ada apa dengan fenomena pingsan di pelaminan itu? Mengapa banyak terjadi di Sulawesi Selatan? Apa betul itu semacam epidemi?
Angka kejadian dua itu sudah banyak karena bisa jadi pertanda fenomena puncak gunung es. Artinya, besar kemungkinan ada banyak kasus lain yang terjadi di lapisan samudra bawah namun luput dari pantauan voyeurisme media.
Adapun pertanyaan si bos itu, tentu butuh kajian sosiologi mendalam untuk menjawabnya. Namun, sebagai putra daerah dan punya pengalaman datang ke kawinan mantan (soal ini akan diceritakan di akhir tulisan), saya mesti bilang, di tempat asal saya itu, bisa menikah dengan orang yang kita sayangi dan menyayangi kita adalah sebuah prestasi yang tingkat keajaibannya setara Liverpool menang Liga Inggris lagi.
Ini bukan curcol, tapi memang banyak faktor eksternal yang bisa memengaruhi berhasil tidaknya dirimu bersanding di pelaminan dengan orang yang namanya kau tulis di halaman persembahan skripsi. Mulai dari uang panai’, Konsorsium Para Tante, hingga rombongan pangujareng.
Uang panai’ adalah sebutan untuk sejumlah dana yang harus disediakan oleh calon pengantin pria untuk calon pengantin perempuan dan keluarganya. Uang panai’ ini sering disalahkaprahi sebagai mahar, padahal beda.
Dalam syariat pernikahan, mahar wajib ada walau hanya berjumlah seribu rupiah atau berupa sebuah cincin besi. Sedangkan uang panai’ tidak wajib. Namun dalam perkembangan selanjutnya, perangkat kultur berkongkalikong dan membuat uang panai’ seolah-olah harus ada dan menjadi syarat wajib pernikahan. Uang panai’ menjadi penanda strata. Makin besar uang panai’ yang disetorkan oleh calon pengantin pria, makin tinggi status sosial bagi penerima maupun pemberi.
Yang terjadi kemudian adalah semacam gagah-gagahan. Beberapa waktu lalu, sebuah koran lokal Sulawesi Selatan memberitakan seorang pria tua kaya melamar perempuan bunga desa dengan uang panai’ ratusan juta rupiah. Sesuatu yang membuat pemuda-pemuda yang baru belajar bikin curriculum vitae jadi minder sampai selangkangan.
Padahal menurut sejumlah cerita turun-temurun, sejarah uang panai’ adalah sejarah penyelamatan. Dalam kultur Bugis-Makassar, seorang pria baru dianggap siap membangun rumah tangga apabila ia sudah bisa “mengelilingi dapur sebanyak tujuh kali”. Itu makna kiasan yang berarti ia sudah bisa menghidupi keluarganya dengan membuat dapurnya tetap berasap minimal seminggu.
Nah, uang panai’ itu sebagai simbol kesiapan untuk tawaf di kitchen set. Kesiapan untuk menyediakan menu empat sehat lima sempurna bagi istri dan anak-anak. Jadi kalau ada yang bertanya, apakah perempuan Sulawesi itu matre? Oh, tentu tidak. Leluhur kami sengaja menciptakan local wisdom itu untuk melindungi perempuan-perempuan kami dari bujuk rayu pendekar berwatak culas yang hanya bermodal kata-kata bersayap dan lirik lagu Eagles, “When we’re hungry, love will keep us alive….”
Yang jadi masalah, filosofi uang panai’ ini kemudian terdistorsi dan membuat banyak pasangan akhirnya gagal bersanding meskipun saling mencintai. Seorang sineas Makassar bahkan membuat film dengan tema ini dan menjadi salah satu film laris di sana. Artinya fenomena itu memang seterang matahari pukul dua belas.
Penyebabnya sangat kompleks. Das Kapital-nya Opa Marx perlu dikombinasikan dengan analisis economic value added-nya Om Peter Drucker untuk memetakan akar masalahnya. Tapi, karena artikel ini dibatasi hanya 1.500 kata (sampai di sini saja sudah 664 kata, kalau judulnya tidak diubah redaktur), maka sebaiknya kita skip saja dan lanjut pada penjelasan dua faktor lainnya.
Adapun Konsorsium Para Tante (KPT), ini sebenarnya kasuistik dan ada di semua kultur. Tadinya saya pikir cuma saya yang mengalaminya. Namun, dalam polling iseng yang saya buat di Facebook, ternyata banyak juga kawan saya yang mengaku pernah menghadapi kasus yang sama.
Konsorsium Para Tante (KPT) ini adalah kelompok sempalan dalam keluarga (biasanya tante-tante keluarga perempuan) yang sering tiba-tiba nongol menjadi pengambil keputusan krusial. Seperti lazimnya kelompok sempalan dalam negara, mereka ini yang berpotensi memicu separatisme hubungan perkekasihan yang telah dijalin sejak bangku sekolah. KPT juga biasanya yang berperan penting menentukan besaran uang panai’.
“Sinta itu S-3 lho, masak uang panai’-nya sama kayak anak S-1?”
“Santi kan cantik, sudah naik haji pula. Lima puluh juta rasanya baru pantas.”
“Adiknya yang tempo hari nikah kan dikasih 40 juta, kakaknya jangan di bawahnya itu dong.”
Kalimat-kalimat semacam itulah yang lazim terdengar dalam pertemuan keluarga atau pembicaraan pra-pernikahan. Kebetulan salah satunya adalah momen faktual yang pernah terjadi pada, sebut saja, penulis artikel ini.
Sementara kelompok pangujareng atau panguja’ adalah faksi lain yang biasanya tidak berhubungan langsung dengan pihak keluarga mana pun. Panguja’ makna harfiahnya ‘menghina’, ‘mengolok-olok’, atau ‘menyindir’. Seperti namanya, kelompok ini sebenarnya kecil perannya, tapi bisa menyebabkan mental breakdown.
“Itu wajah atau pantat panci?”
“Tidak ada yang lebih tampan lagi?”
“Kau sudah injak kodok, kah?”
Itu adalah beberapa contoh ujaran kebencian kelompok ini. Yang terakhir terkait takhayul bahwa orang yang baru saja menginjak kodok akan melihat semua hal di dunia ini cantik dan indah belaka. Termasuk orang-orangnya.
Sialnya, sering terjadi Konsorsium Para Tante dan kelompok pangujareng ini adalah kelompok yang sama. Jika seperti itu kondisinya, kelar hidup lo!
Balik lagi ke soal kenapa belakangan banyak mantan yang semaput di pelaminan.
Dua hari lalu, seperti yang saya sebut tadi, saya membuat polling di Facebook. Pertanyaannya: seandainya kamu diundang ke kawinan mantan, apa yang akan kamu lakukan?
Latar belakang polling itu adalah dua peristiwa yang saya sebutkan di awal tulisan. Pada dua peristiwa itu, yang pingsan adalah pihak mempelai, sementara mantan yang diundang tegar-tegar saja. Itu seolah-olah menguatkan kredo bahwa meninggalkan sesungguhnya jauh lebih menyakitkan daripada ditinggalkan. Berhenti mencintai sering lebih pedih daripada berhenti dicintai. Percayalah….
Namun, dari komentar-komentar yang masuk di polling yang saya bikin itu, banyak juga yang mengaku hampir ambruk saat datang ke kawinan mantan sebagai undangan. Barangkali hanya karena melihat menu prasmanan yang menggiurkan sehingga ia cukup kuat berdiri sampai tiba saatnya foto bersama dan pamit pulang.
Dari komentar-komentar di polling itu juga, saya berkesimpulan kasus pingsan di pelaminan (baik sebagai mempelai atau sebagai tamu) memang berpotensi menjadi epidemi bahkan meningkat statusnya menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) jika tidak segera diantisipasi.
Lalu apa yang perlu dilakukan untuk mencegah potensi epidemi itu?
Judul artikel ini sengaja diakhiri dengan tanda tanya karena saya memang tidak tahu jawabannya. Bukan sengaja mau clickbait. Untuk hal ini, saya meminjam jawaban filosofis seorang guru di sekolah anak saya ketika saya bertanya apakah di sekolah itu mengajarkan paus itu ikan atau bukan. “Nanti kita sama-sama cari jawabannya….”
Saya punya pengalaman dua kali ditinggal nikah, tapi itu rasanya belum cukup sebagai sertifikasi pengalaman untuk jadi motivator bagaimana tetap tangguh di resepsi mantan. Kejadian pertama saya tidak hadir di pernikahannya karena beda kota. Saya cuma mengirimkan doa dan menitip kepada sahabat saya yang juga sahabatnya. “Tolong titip ciumkan keningnya, bilang dari saya, gitu.” Mereka sama-sama perempuan, jadi tak ada yang curiga ketika amanah yang bisa menyebabkan turbulensi itu telah disampaikan.
Kejadian kedua, saya datang ke pernikahannya. Tapi, cuma sampai parkiran motor gedung resepsi, balik kanan pulang ke kosan, “memutar” lagu Bob Marley di kepala, dan berharap hujan turun untuk menyamarkan air mata.
Cukup! Cukup, Alfonso!