Semua bermula ketika beberapa waktu lalu saya membaca berita di sebuah media online di Aceh dengan judul yang cukup menohok: “Band Netral Dukung Mualem Sebagai Gubernur Aceh”. Dalam berita tersebut juga dilampirkan beberapa foto sebagai fakta pendukung, yang mana membuat hati saya kian retak. Untuk pertama kalinya saya dibuat kecewa oleh band yang saya kagumi. Namun, bukan karena salah satu personilnya berganti gaya rambut, musik yang dihasilkan kurang enak didengar, atau karena penjualan album mereka kurang laku di pasaran, tapi tentang sikap politik mereka yang sepertinya kurang dipikir panjang.
Sekadar informasi, yang Netral–namanya sudah berganti menjadi NTRL–dukung itu adalah wakil gubernur Aceh saat ini. Ia merupakan pimpinan tertinggi Partai Aceh (partai lokal basis dengan eks-kombatan) yang menguasai perpolitikan di Aceh sekarang, sekaligus orang yang dapat dikatakan paling bertanggung jawab terhadap pemerintahan dan kondisi di Aceh sejak 2012 lalu. Kekecewaan saya bukan dikarenakan Netral memilih untuk memberikan dukungan politik semata, tapi lebih kepada apakah sebelumnya mereka tidak menganalisis dan mencari tahu informasi terlebih dahulu mengenai pilihannya tersebut? Minimal, informasi yang paling umum saja, tentang bagaimana kinerja dan kondisi objektif Aceh di bawah pemerintahan pihak yang mereka dukung.
Suka atau tidak, harus diakui bahwa Netral adalah salah satu grup band legendaris tanah air dengan basis pendukung yang bukan main banyaknya. Oleh karena itu, jika mereka memberikan suatu dukungan atau sikap politik, harapannya tentu saja pilihan tersebut dilandasi dengan analisis yang logis. Sebab jika tidak, mereka tentu harus ikut menanggung dosa politik pengikutnya dan rasa bersalah terhadap masyarakat Aceh.
Mas Bagus, Mas Coki, dan Mas Eno harusnya paham terlebih dahulu, indikator objektif untuk menilai suatu pemerintahan daerah yang ideal itu bagaimana. Untuk hal ini, siapa saja yang ingin mendukung atau mengusung pihak manapun sebagai pemerintah daerah jangan sampai tidak paham. Bisa malu nanti dengan para siswa SMA di sekolah saya. Secara normatif, ada 16 urusan yang menjadi tanggung jawab pemerintahan daerah. Sekalipun tidak hafal dengan 16 urusan dan tanggung jawab ini, manusia paling awam sekalipun tentu mengerti bahwa tugas paling pokok dan paling urgen yang harus dilakukan oleh pemerintah manapun di dunia ini adalah seberapa jauh kinerja mereka mampu memenuhi kesejahteraan dan kebutuhan hidup paling dasar masyarakatnya.
Kini kita lihat, di bawah pemerintahan Partai Aceh, bagaimana kondisi kemiskinan masyarakat di sana? Bagaimana dengan akses dan kualitas pendidikan dan kesehatan di Aceh? Bagaimana penanganan masalah-masalah sosialnya? Dan yang lebih penting lagi, bagaimana kondisi janda dan yatim korban konflik di Aceh yang hingga kini nasibnya tidak jelas? Kalau hal-hal yang begini sudah buat kepala Mas-Mas pusing, mending nyanyi-nyanyi dan genjrang-genjreng saja, deh. Sudah cukup para seniman dan grup band yang katanya ideologis itu dianggap mengkhianati masyarakat Papua.
Hal termudah untuk mengetahui jawaban atas beberapa pertanyaan tadi tentu dengan melakukan pencarian di Google. Dalam data BPS (Badan Pusat Statistik) yang dirilis pada Agustus 2015, misalnya, didapati fakta mencengangkan bahwa Aceh menempati peringkat pertama di Indonesia dalam hal Tingkat Pengangguran Tertinggi (TPT) yakni sebesar 9,93 persen. Sementara itu, berdasarkan data BPS Januari 2016, Aceh berada di peringkat kedua di Sumatera dan ke tujuh di Indonesia dalam hal kemiskinan tertinggi. Padahal, kami memperoleh puluhan triliun untuk APBD plus dana otonomi khusus tiap tahunnya, beserta sumber daya alam melimpah yang kami punya. Tapi tak usah heran mengapa itu terjadi, sebab pemda Aceh memang lebih mengutamakan membangun lapangan golf senilai 33 miliar, ketimbang bangun rumah dhuafa.
Data-data di atas masih kurang memukau? Oh, tenang, sejak 2015 lalu, Aceh telah resmi menjadi provinsi dengan peringkat pendidikan terburuk di Indonesia. Aceh pun juga menduduki peringkat teratas dalam hal pelecehan seksual, lho. Hebat, bukan?
Itu baru masalah mendasar, saya bahkan belum mengulas kualitas objektif para pimpinan daerah di Aceh saat ini termasuk pihak yang Anda usung itu, baik secara politis maupun moral (tapi jangan tanya ke kelompok fanatiknya, ya, budaya primordial dan patronase di sini juga masih tinggi soalnya). Kebijakan dan kinerja progresif-signifikan-kerakyatan apa yang sudah beliau dan kelompok mereka hasilkan untuk kesejahteraan dan ketentraman hidup masyarakat Aceh? Lha, 21 janji saat mereka kampanye dulu saja susah sekali direalisasikan.
Meski demikian, saya tetap sangat mengapresiasi perjuangan mereka selama masa konflik dulu yang melakukan perlawanan atas dasar yang cukup ideologis: menuntut kesejahteraan dan keadilan dalam pembagian hasil sumber daya alam. Paling tidak, mereka berhasil membuat pihak pemerintah pusat mengalah dengan memberikan status otonomi khusus dengan segudang keistimewaan yang bahkan tidak dimiliki provinsi lain. Namun, sayang, sejak perjuangan mereka bertranformasi ke ranah politis, sebagian (eks) kombatan saat ini malah sibuk saling rebut kekuasaan dengan orientasi kepentingan yang sangat eksklusif dan elitis. Hal ini sudah menjadi rahasia umum di Aceh.
Jangankan terhadap masyarakat luas, rekan-rekan seperjuangan mereka sendiri yang dulunya sama-sama angkat senjata dan naik turun gunung bareng saja banyak yang tak dapet jatah. Mas Bagus, Mas Coki, dan Mas Eno pernah denger kisah Din Minimi? Itu lho, kelompok bersenjata yang menentang pemerintah Aceh yang beberapa waktu lalu menyerah dan turun gunung karena (dengan gagahnya beraninya) dijemput oleh Kepala BIN, Sutiyoso, untuk pergi… makan malam di Istana Negara. Yang membuat saya tambah bersedih adalah, akibat dukungan Mas-Mas sekalian, mereka dengan sembarangan mengklaim bahwa pihaknya dekat dengan semua pihak, termasuk kalangan anak muda. Padahal… ah, sudahlah.
Menyaksikan ini semua, rasanya saya ingin sekali menangis guling-guling di lantai di depan Mas-Mas personil Netral sambil menyanyikan salah satu lagu favorit saya:
“Sorry, kita tak sejalan. Sepertinya kita tak sepaham. Sorry… Sorry…”