MOJOK.CO – Ada kegelisahan besar yang ingin sekali saya curahkan tentang lagu “Aisyah Istri Rasulullah” yang sedang populer akhir-akhir ini.
Belakangan ini saya kelihatannya sedang terkena serangan cacing telinga alias earworm. Itu lho, kondisi ketika sebuah lagu tersimpan begitu saja di otak yang kemudian membuat kita sering refleks menyanyikannya. Nggak peduli kita naksir apa nggak sama lagunya, pokoknya tiba-tiba mulut udah nyanyi aja.
Kalian, misalnya, boleh saja nggak suka sama Kuburan Band, tapi kalian pasti pernah pada suatu ketika tiba-tiba melantunkan sebaris lirik “Ce, a minor, de minor, ke ge, ke ce lagi…” Iya kan? Pernah kan? Ngaku aja.
Nah, menurut ilmuwan, earworm ini bisa terjadi karena lagu tersebut terlalu sering didengar telinga kita sehingga dia terjebak di area otak, tepatnya bagian auditory cortex alias korteks pendengaran. Nah seperti kenangan bersama mantan yang sering muncul tiba-tiba di waktu yang tidak tepat —dan memang tak akan pernah tepat, earworm ini juga biasa terjadi ketika kita sedang stress atau melamun. Dua hal yang sering mengisi hari-hari karantina mandiri #DiRumahSaja belakangan ini.
Fenomena lagu terjebak di otak ini begitu mengesalkan. Apalagi kalau lagu itu terjebak di otak secara terpaksa alias sering didengar karena lingkungan kita terlalu menyukainya dan terlalu sering memutarnya.
Dan sekarang, ada sebuah lagu yang, di WhatsApp, di Facebook, sampai di Instagram, semua orang memutar lagu ini. Versi Sabyan, versi Dauky, versi Adam, sampai versi bapak-bapak nyetir mobil dengan empat istrinya. Yak, betul sekali, lagu yang belakangan membuat saya earworm adalah Aisyah Istri Rasulullah.
Buat yang belum tahu nih, lagu Aisyah Istri Rasulullah awalnya hadir dari Malaysia dengan judul Aisyah (Satu Dua Tiga Cinta Kamu) yang dibawakan oleh Projector Band. Dengan anugerah populasi tukang cover yang melimpah di Indonesia, lagu ini tak butuh waktu lama untuk segera viral dan melahirkan berbagai versi.
Awalnya saya hanya berpikir, “Ih, lucu ya!” ketika seorang ukhti menyanyikannya. Apalagi pas di bagian “…dengan Baginda kau pernah main lari-lari…”, seketika saya merasa tercengang. Sungguh saya tiada menyangka ada lagu yang menceritakan ummahatul mukmin dengan begitu santuy-nya: main lari-lari. Meskipun kisah tersebut memang masyhur utamanya di kajian romantisme Keluarga Nabi, namun saya masih tidak habis pikir bakal ada musisi yang menuangkannya secara detil dalam sebuah lagu.
Lagu ini memang mengampanyekan secara eksplisit betapa Rasulullah adalah sosok romantis dalam lirik-liriknya: minum di bekas bibir Aisyah, bermanja mencubit hidung Aisyah, hingga berbaring di jilbab Aisyah sambil diikat rambut olehnya. Masya Allah… betapa banyak ukhti yang refleks berdoa “Sisain satu yang kayak gini ya Allah” ketika mendengar lagu ini. Gimana enggak, kepribadian Rasulullah memang mampu mengalahkan romantisme oppa-oppa drakor yang memang fiktif. Ibarat kata, sama-sama halu tak bisa dimiliki, tapi yang ini versi syariah.
Sayangnya, saya justru sedih dan sedikit kesal mendengar lagu ini. Bukannya sedih karena nggak punya sparing partner untuk mempraktikkan nilai-nilai kebaikan dalam lagu tersebut. Melainkan pada pilihan kebaikan yang tertuang dalam lagu tersebut at the very first place.
Sayyidah Aisyah ra. dalam ingatan saya selama ini adalah seorang perempuan cerdas, ulama perempuan lintas bidang, seorang yang keras kepala tetapi juga baik hatinya. Beliau disebut Nabi SAW sebagai salah satu perempuan terbaik karena sangat membantu dakwah Islam melalui keluasan ilmunya. Setidaknya, Aisyah telah meriwayatkan sebanyak 2.210 hadis, jumlah yang membuatnya disebut-sebut sebagai perawi terbanyak di kalangan para sahabat setelah Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar.
Sekalipun Aisyah tidak memiliki anak biologis dengan Rasulullah, namun dari dirinya terlahir anak-anak ideologis yang menjadi pilar-pilar peradaban keilmuan Islam hingga hari ini. Sebab selain meriwayatkan ribuan hadis, Aisyah juga dikenal memiliki keilmuan di bidang tafsir, nasab, pengobatan, hingga public speaking yang membuatnya menjadi rujukan para sahabat.
Keilmuan Aisyah sendiri menjadi bukti bahwa Islam tidak meletakkan akal perempuan di bawah laki-laki. Dan sedihnya, semua kemuliaan ummahatul mukmin itu seperti tidak diberi ruang dalam popularitasnya melalui lagu Aisyah.
Alih-alih menceritakan pribadinya yang agung, lagu ini justru menceritakan gambaran fisik Aisyah dengan mendayu. “Mulia indah cantik berseri… Kulit putih bersih merah di pipimu…” Masya Allah indah sekali jika dinyanyikan seorang perempuan. Tapi entah kenapa rasanya begitu ganjil ketika para lelaki turut melisankan tubuh ummahatul mukmin seperti itu. Gimana ya, ehm, kayak kurang ahsan gitu lho, ya akhi.
Bayangkan kalau keindahan istri antum dinyanyikan sama orang lain. “Duh, manis bibirnya, putih kulitnya, kilau matanya…” Apakah antum ridho, ya akhi? Apalagi ini, istrinya Rasulullah SAW, ibunda kaum muslimin, yang dijadikan “objek keindahan” publik seperti itu. Sedih sekali, ya akhi.
Yhaaa mungkin kalian akan berpikir saya hanyalah kanebo kering yang hatinya tidak tersentuh dengan romantisme sirah cinta Aisyah dan Rasulullah. Bahkan mungkin beranggapan penyakit hati lah yang membuat saya tidak ridho keindahan fisik Bunda Aisyah terlantun sebagai puji-pujian muslim seantero medsos.
Tapi gais, percayalah, ada banyak cara untuk mengungkapkan cinta kita pada beliau ummahatul mukmin. Sebab syiar kemuliaan beliau seharusnya lebih dari sekadar mengenalkannya sebagai perempuan yang pipinya kemerah-merahan.