MOJOK.CO – Meski ada “Geger Kauman”, saya menyikapi NU dan Muhammadiyah secara oportunis. Seneng kenduri, tapi juga seneng kalau lebarannya lebih dulu.
Orang Islam 14 karat seperti saya, santri Youtube mondok di Google, terkadang deg-degan kalau sudah memikirkan perkataan Kanjeng Nabi Muhammad bahwa sepeninggalnya kelak umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan dan kesemuanya akan masuk neraka. Satu saja yang masuk surga, golongan yang mengikuti nabi dan para sahabat.
Soal golongan ini diakui atau tidak memang satu simpul yang membuat dunia Islam seperti lebih doyan membicarakan surga dan neraka. Padahal ketika masih hidup di dunia, tidak sedang melakukan kebaikan yang menjadi laku nabi dan para sahabat, dan hanya sekadar mengandalkan kuatnya bersuara lantang.
Seringnya sih hanya bermodal sudah menjadi anggota salah satu ormas, yang dalam bayangan anggotanya sudah dapat stempel resmi surga.
Jadi sebenarnya tidak heran kalau kemudian orang lebih mempertahankan keyakinan terhadap ormasnya dibanding yakin terhadap apa yang dipesankan nabi. Itu yang kemudian menuntun orang lebih kerap meributkan hal teknis yang menjadi pedoman kelompoknya.
Ada yang berkeyakinan kalau salat berjamaah kakinya harus rapat dengan kiri kanannya. Sementara yang di sebelahnya risih menghindar kalau sebelahnya sudah mencoba merapatkan kakinya dengan sedikit menginjak.
Itu baru satu printilan yang sebenarnya tidak prinsip sama sekali. Belum membicarakan persoalan hukum yang multidimensi dan cakupannya luas. Tidak bisakah orang berpikir bahwa pada dasarnya ormas itu cuma ranting atau bahkan daun, sementara Islam adalah batang atau bahkan akar?
Kalau nggak selo bacain status di media sosial, mungkin tidak akan ada yang tahu kalau hari-hari ini tengah ada ketegangan antara NU dan Muhammadiyah. Dari mulai akar rumput hingga para elitenya saling sindir secara terbuka.
Ada pertarungan klasik berebut pengaruh di masyarakat atau bahkan pemerintahan, itu sudah jadi rahasia umum. Jadi semisal ada gesekan di lapangan antar keduanya, itu hanya soal waktu dan skala. Dan gayeng-gayeng terbaru itu adalah peristiwa “Geger Kauman”. Buat kamu yang nggak ngikutin beritanya, bisa baca dari sini.
Apa benar “Geger Kauman” hanya dipicu keinginan NU untuk mengadakan peringatan hari lahir di Masjid Gede, Kauman, Yogyakarta yang secara lintasan waktu sudah menjadi “rumah” Muhammadiyah selama satu abad ini? Atau sebab lain yang hanya diketahui elite kedua ormas tersebut?
Penyebutan Geger Kauman menurut saya juga terlalu berlebihan. Sejauh pengetahuan saya kalau dulu ngobrol dengan kakek-nenek, kata gégér itu sekelas dengan clash atau peperangan. Sementara kasus yang terjadi di Kauman tidak segenting itu. Disebut tidak penting pun rasanya sangat pantas.
Lebih tepat kalau disebut “regejegan”. Ribut yang tidak perlu, kontraproduktif. Menyedihkannya, para tetuanya pun terpancing untuk saling sindir yang kalau dibaca, dirasakan, dan ditimbang dengan matang, selain tidak perlu juga memalukan. Serius.
Satu dinilai telah disusupi salafi, lainnya dinilai katrok dan kekanakan. Di akar rumput lebih kasar lagi bahasanya. Bahkan saling membuat perhitungan nilai ekonomi hingga kapling wilayah.
“Rumah sakitmu untung banyak dari warga yang menjadi anggota ormas ini”, “ormasmu mengadakan acara di kantong-kantong kami baik-baik saja,” dan seterusnya. Luar biasa bukan? Dari urusan rejeki dan wilayah aja dikapling-kapling.
Saya pribadi menyikapi dua kelompok ini secara oportunis. Pilih NU karena secara kultural seneng kenduri dan ziarah kubur. Di lain waktu pilih Muhammadiyah karena terawehnya tidak tergesa dan melelahkan, juga sering lebaran lebih dulu hingga kita bisa dapat membatalkan puasa sehari lebih dulu.
Nah, di luar itu juga banyak sempalan yang membuat muslim united lah, fpi lah, lah lah lah… hampir semuanya ngaku Suni, orang yang mengikuti nabi dan sahabat. Sengit terhadap Syiah, Wahabi, dan kadang juga bersekutu “ngrecokin” NU dan MU. Di era yang penting punya kuota, pertikaian tanpa memahami akar dan main stigma pun tambah subur.
Kalau mau menggunakan rasa malunya, sebenarnya ngaku Islam itu malu.
Kenapa? Ya karena konsekuensi berislam itu berat. Islam terlahir progresif di masanya. Tidak seperti saat ini, kerap terjebak dalam urusan tidak produktif. Era borderless komunikasi kok sampai bisa macet.
Kalau ada forum komunikasi resmi antar ormas yang merasa benar semua ini, kasus Kauman sebenarnya tidak perlu terjadi.
Benar satu pihak (NU) telah mengantungi izin, tetapi ada hal-hal lain yang harus disepakati juga dan itu harus disampaikan secara terbuka oleh Muhammadiyah. Misal mengatakan, “Kami tuh aslinya takut, kalau orang NU yang ngaji yang datang bisa 10 ribu orang, dan tempat kami mungkin akan berantakan”.
Bukankah itu jauh lebih baik daripada mengatakan, “NU, hambok kalian tuh peka dikit. Masa ngadain acara harlah di sentra Muhammadiyah?”
Pihak NU juga tidak perlu tersinggung kalau semisal mendapat syarat seperti itu. Kenyataannya bukankah memang seperti itu, tidak bisa menjamin kebersihan dan mengontrol jumlah yang datang?
Apa yang harus kemudian dilakukan? Tentu menjawab dengan santun, “Baik, saudaraku, kami akan menghubungi EO yang pernah mengadakan aksi dengan mendatangkan 7 juta manusia di Monas.” Gitu kan enak.
Secara organisasi, memang keduanya bermanfaat untuk republik ini. Sama-sama berkiprah dari mulai mendistribusikan zakat hingga berjibaku dalam beragam bidang pembangunan, utamanya kesehatan dan pendidikan.
Akan tetapi ya itu, sadari dulu kalau secara periodik sering tidak bisa menahan diri dan memilih bersitegang tidak perlu. Apa memang ada niatan menduplikasi perseteruan cicak dan buaya menjadi kodok dan gajah?
Di situasi yang sebenarnya sangat norak seperti sekarang ini, harusnya ingat dengan yang mereka “muliakan” selama ini; Mbah Dahlan, Mbah Hasyim hingga Gus Dur.
Dua disebut pertama itu ya ampun banget akhlaknya, saling nggak enak hati kalau tengah saling berkunjung. Saling dorong mengimami sholat, mau qunut apa nggak, dan seterusnya. Masuk warung pun saya kira akan saling berebut nraktir.
Gus Dur lebih unik lagi. Saat banyak orang berang soal Syiah, jawabnya enteng saja, “Syiah itu NU plus Imamah. Kalau NU, Syiah minus Imamah.”
Mana pernah Gus Dur menyesatkan keyakinan orang lain?
Padahal kalau ditelusuri, akan banyak perbedaan antara Suni-Syiah. Tapi bukan itu masalahnya, kebanyakan orang gagal menangkap pesan besar di balik kesantaian Gus Dur.
“Untuk apa diributkan?”
Nah, ini ritual sosial aja ribut, nanti pemilu ribut lagi, bagi-bagi posisi ribut lagi. Makanya saya sangat mendukung kalau negeri ini sekulernya jangan nanggung. Misalnya, bicara agama terlalu banyak dibanding praktik, maka dikenai denda dan akun medsosnya langsung dibekukan. Biar nggak biasa klaim organisasinya punya kontribusi paling banyak di negeri ini.
Kalau dibiarkan, jangan-jangan pada ngangguk setuju kalau ditawarkan perubahan UU. Agama yang diakui negara ditambah sekalian jadi Islam NU atau Islam Muhammadiyah? Biar beda sekalian.
Nanti remah-remahan kayak saya dan sebagian pembaca Mojok garis santuy, seumpama dimasukkan ke agama lain-lain dan onlen-onlen juga nggak perlu protes aja. Terima saja, yang penting negara memberi kuota melimpah.
Terakhir, setiap mau bersitegang soal keagamaan, benar-salah, surga-neraka, cukup bayangkan wajah saudara-saudara kita yang beragama lain menjadi prihatin, sedih atau bahkan cekikikan.
Soalnya, rasa malu dalam beragama itu penting, karena itu cara terbaik untuk menghindarkan diri dari kekeliruan tidak perlu. Masalahnya, rasa tersebut memang ada yang terberi (gharizi) dan perlu diupayakan (muktasab).
Kok saya tahu istilah Arabnya? Karena saya santri Youtube dari Pondok Google. Tempat di mana peran NU dan Muhammadiyah bagi masyarakat sebenarnya sudah tergerogoti. Itu kalau mereka mau menyadari.
BACA JUGA Mengapa NU Lucu dan Muhammadiyah Tidak atau tulisan soal NU-Muhammadiyah lainnya.