MOJOK.CO – Tragedi Kanjuruhan sudah seharusnya diusut tuntas. Dan untuk mengusutnya, tentu fokusnya tak hanya kepada peristiwa di dalam stadion.
Oktober yang menyedihkan. Oktober yang menyesakkan dada. Sepak bola yang seharusnya mendatangkan dan tentang kegembiraan berubah menjadi kesedihan, kemarahan, bahkan penghilangan nyawa.
1 Oktober 2022, lebih dari 130 jiwa meninggal dalam Tragedi Kanjuruhan. Ratusan orang terluka dalam sebuah tragedi di stadion yang terletak di Malang Selatan itu. Yang terjadi di Kanjuruhan bukan hanya tragedi sepak bola. Itu tragedi kemanusiaan.
Dan jari semua orang menuding aparat keamanan sebagai pihak yang paling bersalah. Aparat keamanan telah bertindak brutal di dalam stadion. Mereka menembakkan gas air mata ke arah penonton, ke tribun stadion. Tembakan yang membuat ribuan suporter panik dan berebut jalan untuk keluar stadion dan Tragedi Kanjuruhan pun terjadi.
Fatal, dalam keadaan mata perih karena gas air mata, nafas sesak, juga kepanikan, mereka berdesakan dan saling injak di akses keluar yang sempit serta tertutup. Ratusan jiwa tak tertolong. Mereka meninggal di Kanjuruhan. Di stadion sepak bola. Tempat yang seharusnya mendatangkan kebahagiaannya.
Tudingan kepada aparat
Apapun dalilnya, aparat keamanan tak bisa mengelak dari tudingan sebagai pihak yang salah dalam Tragedi Kanjuruhan. Tindakan mereka terlalu arogan. Terlalu brutal. Ada banyak pelanggaran yang mereka lakukan.
Ketika senjata tak diperkenankan dibawa masuk stadion, aparat keamanan malah menembakkan gas air mata. Mereka gagal menciptakan rasa aman. Mereka gagal memberikan rasa nyaman dalam menjalankan tugasnya di laga yang mempertemukan Arema FC dengan Persebaya Surabaya tersebut.
Tak salah kalau semua jari menuding aparat keamanan berlaku brutal dalam Tragedi Kanjuruhan. Tak keliru kalau semua pihak menyalahkan mereka.
Bukan hanya aparat
Tapi, apakah yang bertindak brutal di Kanjuruhan malam itu hanya aparat keamanan? Di dalam stadion tentu saja aparat keamanan yang melepaskan tembakan gas air mata yang mengakibatkan 130 jiwa lebih meninggal menjadi pihak yang berlaku brutal dalam tragedi itu.
Namun, di luar stadion, adalah Aremania yang melakukan blokade dan menyerang rombongan tim Persebaya. Blokade itu membuat rombongan Persebaya tertahan 1 jam di area Stadion Kanjuruhan. Blokade ini juga bagian dari Tragedi Kanjuruhan. Tidak bisa dilepaskan, apalagi dilupakan.
Dan dalam rentang waktu itu, tak kurang dari 40 orang anggota skuat Persebaya yang berada di dalam empat mobil baracuda hidup dalam kecemasan. Hidup dengan seabrek pertanyaan akan keselamatan jiwa mereka. Apalagi, kendaraan yang mereka tumpangi bukan saja tertahan lajunya, namun juga dilempari berbagai macam benda.
Bahkan, tiga official yang tak kebagian tempat di baracuda dan harus ikut mobil pengawalan aparat keamanan, berada dalam garis tipis antara hidup dan mati. Mobil yang mereka tumpangi dirusak dan kemudian dibakar.
Terjadi miskomunikasi
Kebrutalan di dalam dan di luar stadion, 2 peristiwa itu, terjadi pada waktu bersamaan. Dan dua peristiwa yang terjadi dalam waktu bersamaan itu kemungkinan besar menjadikan miskomunikasi komando.
Saat aparat keamanan yang di dalam menembakkan gas air mata hingga penonton berebut keluar, di sisi lain, petugas yang berada di luar stadion berusaha menutup akses. Tujuannya supaya yang dalam tidak keluar stadion terlebih dahulu. Sebab, jika suporter yang berada di luar stadion semakin banyak, kondisi di luar bisa semakin kacau.
Aparat keamanan sepertinya tak mau mengambil risiko dengan keselamatan rombongan Persebaya. Asumsinya, jika ada 1 saja rombongan Persebaya yang terluka, api kebencian yang selama ini sudah tumbuh subur di antara suporter kedua kesebelasan, Aremania dan Bonek, bakal semakin sulit dipadamkan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan kondisinya bakal semakin tak terkendali.
Kemungkinan besar, miskomunikasi komando itulah yang menjadi jawaban kenapa pintu-pintu Stadion Kanjuruhan banyak yang tertutup malam itu. Padahal, panitia pelaksana pertandingan, juga security officer menegaskan kalau 10 menit sebelum pertandingan berakhir, pintu-pintu stadion sudah dibuka.
Sisi Tragedi Kanjuruhan yang belum disentuh
Dan apa yang terjadi di luar Stadion Kanjuruhan malam itu belum tersentuh selama ini. Apa yang terjadi di luar Stadion Kanjuruhan malam itu tidak disentuh. Semua memilih fokus ke peristiwa di dalam stadion. Tak terkecuali Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) bentukan pemerintah.
Memang dalam rekomendasi TGIPF soal Tragedi Kanjuruhan muncul keterangan tentang peristiwa di luar stadion. Tapi, itu tak banyak. Juga tidak tajam. Yang muncul hanya tentang pembakaran mobil, juga hilangnya sebagian rekaman CCTV di area pintu VIP Stadion Kanjuruhan.
Penegasan untuk mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan yang ramai digaungkan seharusnya melihat banyak perspektif. Tidak hanya melihat kejadian di dalam stadion, tapi juga yang di luar.
Besar kemungkinan kejadian di dalam dan di luar itu saling berkaitan. Jatuhnya banyak korban besar kemungkinan tak semata karena peristiwa di dalam stadion. Tak tertutup kemungkinan peristiwa yang di luar stadion juga berdampak besar kepada Tragedi Kanjuruhan.
Memang tembakan gas air mata itulah yang memicu jatuhnya banyak korban. Tapi, kalau saja pintu-pintu stadion terbuka, bisa jadi itu akan meminimalisir, bukan menihilkan, jumlah korban.
Sekali lagi, bukan tidak mungkin pintu-pintu stadion yang tertutup tersebut lantaran adanya miskomunikasi komando. Dan ini tentu harus diinvestigasi lebih tajam. Data dan fakta-faktanya harus dikuak. Seperti pertanyaan tentang siapa yang menutup pintu? Adakah perintah menutup pintu?
Yang juga harus “disentuh” adalah blokade suporter di luar stadion. Blokade itu bisa jadi juga turut memberi andil menjadikan jatuhnya banyak korban. Sebab, jalur evakuasi terhambat dan evakuasi menjadi lambat, juga sulit.
Jangan biarkan menguap
Peristiwa di luar stadion itu tak seharusnya dibiarkan menguap. Sama seperti halnya peristiwa di dalam stadion, yang di luar stadion juga harus disentuh.
Kalaupun sampai saat ini peristiwa di luar stadion dalam Tragedi Kanjuruhan itu belum tersentuh dan belum ada yang menyentuh, Aremania bisa berdiri di baris depan untuk memulainya. Mulanya bisa diawali dari pengakuan dan permohonan maaf atas kesalahan yang telah dilakukan, lalu kemudian bergerak mencari aktor yang menggerakkan dan juga pelaku blokade sekaligus penyerangan rombongan Persebaya. Sebab, jika Aremania berdiam diri, itu tak ubahnya mereka membiarkan terjadinya pembusukan terhadapan diri mereka sendiri.
Tragedi Kanjuruhan sudah seharusnya diusut tuntas. Dan untuk mengusutnya, tentu fokusnya tak hanya kepada peristiwa di dalam stadion. Peristiwa di luar stadion juga harus disentuh. Dengan begitu, kesimpulan, rekomendasi, pengusutannya komprehensif dan clear. Dan tentu itu semua agar Tragedi Kanjuruhan tak terulang kembali.
BACA JUGA Tragedi Kanjuruhan: Menormalisasi Hal yang Tidak Normal Adalah Mula Malapetaka dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Miftakhul F.S
Editor: Yamadipati Seno