MOJOK.CO – Sekelas Pak Luhut Binsar Panjaitan ternyata bisa juga merasa gabut di situasi pandemi kayak gini. Lah itu, selo banget ngejar-ngejar Pak Said Didu.
Seperti deras arus sungai yang alpa dijaga oleh umat manusia, belakangan ini kita menemukan kenyataan bahwa nama baik para pejabat punya potensi lebih besar untuk tercemar. Jangankan nama baik pejabat, nama baik institusi aparat pun bisa tercemar pula
Nah, beberapa di antara pejabat-pejabat itu—sependek ingatan saya—sering memilih jalan terjal ke pengadilan alih-alih menjaga nama baik dengan cara yang paling sederhana dan memungkinkan: beneran berperilaku baik—misalnya.
Luhut Binsar Panjaitan, orang nomor wahid dalam perkara jaga-menjaga nama baik, tengah beradu peruntungan dengan melaporkan Said Didu ke meja hijau.
Bapak Menteri paling gacor di Kabinet Indonesia Maju ini, barangkali, merasa tertantang setengah mati saat ia dicap mikirin uang melulu dan lebih mementingkan proyek perpindahan ibu kota ketimbang fokus melawan korona beberapa waktu lalu.
Tentu itu tuduhan serius yang bisa memantik jivva sapta marga Pak Luhut yang—semenjak beralih haluan menduduki jabatan fungsional—mungkin kali ini telah terkikis perlahan demi perlahan.
Oleh karena itu, yaaah wajar-wajar saja sih kalau sampai adegan gontok-gontokan di pengadilan ini tersaji di muka kita. Patriot je, ditantang!
Apalagi tantangan ini mencapai titik didih saat Pak Luhut, di tengah anjuran PSSB dan isolasi mandiri, dihantam rasa gabut.
Eh, eh, jangan salah ya, meski punya beberapa karakter yang mencirikan blio sebagai Menteri Segala Bidang, blio juga berhak untuk dijangkiti rasa gabut—seperti manusia pada umumnya.
Omong kosong kalau episode pandemi nan komikal yang sedang kita tonton ini tak ada kelindannya dengan kegabutan Pak Luhut. Soalnya, kalau emang blio punya banyak aktivitas berguna, mana sempat Pak Luhut mengurus hal-hal yang sejatinya beres oleh tukang pijat di Terminal Pakupatan itu?
Bapak saya aja, saat libur kerja, bahkan bisa mengurusi hal-ikhwal yang tidak saja nihil faedah tetapi juga terkesan menyita waktu dan tenaga; menyiram debu-debu tanah dengan air got, sembari pakai kaos singlet dan sarung yang gulungannya tak mampu menahan bobot perut.
Konon ini adalah pengejawantahan dari pepatah klasik Kepulauan Solomon, “Don’t be productive, be busy!”
Mulanya, dalam hati kecil, saya ingin menyarankan Pak Luhut untuk coba adu jangkrik, tetapi kayaknya blio punya selera yang lebih berkelas, yakni: adu kuasa hukum.
Atau buat Pak Luhut, adu kuasa hukum itu sama asyiknya kayak rakyat jelata mainan adu jangkrik ya?
Tetapi, pertanyaan fundamentalnya bukan itu, melainkan… apakah kegabutan Pak Luhut akan berujung kepada kemenangan gilang-gemilang seperti pasukan Islam saat menaklukkan Konstantinopel?
Oh, belum tentu, My Lav~
Soalnya di ujung ring, Pak Said Didu juga udah siap adu jangkrik, eh, adu kuasa hukum.
“Lawan” Pak Luhut ini meraup simpati yang cukup untuk sekadar nyakar-nyakar atau pamer-pamer taring. Pak Said Didu punya formasi yang terlatih mengacak-acak lini pertahanan Pak Luhut—atau paling tidak bikin gemetar sebentar (baca: makin geregetan).
Selain punya pijakan kuat meraup suara netizen yang muntup-muntup kadung sebel sama Pak Luhut karena kebijakan yang lumayan nyentrik belakangan ini, Pak Said Didu juga nggak kalah nyentrik.
Paling tidak Said Didu sudah berhasil ngeles untuk tidak mendatangi Bareskrim Polri untuk diperiksa karena alasan masih dalam masa PSBB. Ini namanya pinjam kebijakan lawan untuk jadi alasan bertahan. Benar-benar strategi colongan yang brilian.
Selain itu, Pak Said Didu juga patut merasa percaya diri karena didorong oleh banyak ahli dan praktisi hukum.
Paling tidak, hingga tulisan ini dibuat, ada ratusan pengacara siap turun tangan untuk menghadapi segala halang rintang yang dilangsungkan oleh Pak Luhut, dan di antara mereka berdiri para kesohor; dari Bambang Widjojanto, Denny Indrayana, Amir Sjamsudin, Ahmad Yani, hingga Munarman.
Yang sudah menandatangani klausul dan siap tempur memang baru 80, sisanya masih terhalang karena anjuran PSBB. Tetapi saya yakin, angka ini akan terus bertambah berkali lipat seturut rasa solidaritas antar-pengacara.
Sebabnya, selain aduan yang terkesan gimana gitu (baca; pencemaran nama baik), juga keluhan yang keluar dari mulut Nasrullah selaku ketua hukum Said Didu, “Kok cepat sekali. Apakah karena Pak Luhut pelapornya?” yang tentu terdengar memantik simpati.
Jarang-jarang saya mendengar gelombang semacam ini terjadi di Indonesia, dan sebab itulah pertarungan ini terasa memikat sejak awal. Boleh jadi kalangan-kalangan lain akan ikut ambil peran pada perkara ini. Paling tidak, ya jadi tim tempik sorak salah satu pihak.
Kapan lagi melihat Pak Luhut begitu gabut mengurusi celotehan Pak Said Didu? Sebab tak mungkin polemik ini berujung pada klarifikasi dan video permintaan maaf. Hayaaa, memangnya Pak Said Didu itu siapa? Influencer salah bikin konten? Youtuber bermasalah? Kan bukaaan.
Lagian, nggak penting juga Pak Said Didu itu siapa, kan yang lebih penting ditonton itu lawannya. Lah iya kan?
BACA JUGA Inilah Lima Profesi Baru yang Sangat Cocok untuk Pak Luhut atau tulisan M. Nanda Fauzan lainnya.