Jika ada cara yang paling ideal untuk mengajarkan keikhlasan, salah satunya adalah dengan mati lampu.
Ada tiga musim yang sudah pasti dirasakan oleh warga Kota Jambi: musim durian, musim duku, dan musim mati lampu. Untuk dua musim yang pertama disambut dengan suka cita, sementara musim satunya jelas disambut dengan gerutu dan ratapan kesedihan.
Saat kecil, saya seringkali menggerutu karena saat asyik-asyik menonton kartun jam 7 malam, lalu mendadak mati lampu. Kalau sudah mati lampu, terutama kalau terjadi pada malam hari, rumah-rumah yang dekat dengan rumah saya akan terdengar suara-suara celetukan yang khas.
“Aduh! PLN Kampret!”, “Yahhh! Belum di-save kerjaannya!”, “Yaampun! Itu sinetronnya lagi seru kenapa mati listriknya!”. Dalam rumah saya ada pula yang berteriak, “Duh, bikin rusak mesin aja ini PLN, aduh!”.
Yang terakhir itu adalah ayah saya.
Dan karena sering mendengarnya, saya pun pernah meniru hal tersebut. Ibu saya, kendati penyabar, akan menunjukkan wajah paling tak mengenakkannya ketika saya mengeluh. Kata beliau: “Bersyukur, Nak, ini gelapnya masih di dunia. Coba kalau gelapnya ini di liang lahat, kamu nggak bisa lagi rasain asiknya pakai listrik.”
Saya lalu menunjuk ayah saya begitu. Beliau kembali melanjutkan: “Tiru yang baik-baik aja dari ayah…”
Saya langsung terdiam, ambil air wudhu, sholat dan istighfar. Pikir saya saat itu: beban ayah banyak sebagai kepala keluarga, dan juga, mungkin ini cara Tuhan agar membuat saya meninggalkan perkara duniawi dan lebih dekat kepada-Nya.
Berbeda dengan ibu, kakek saya, saat beliau masih hidup dan turut tinggal bersama ayah dan ibu, akan akrab dengan gagang telpon jika listrik sudah mati. Menelpon PLN langsung adalah tradisinya. Ia akan bertanya kenapa rumah kami juga turut padam listriknya.
Sebagai eks-direktur PLN, saya merasakan apa yang dirasakan kakek: bagaimana bisa, perusahaan tempatnya bekerja mengkhianatinya sehingga rumahnya juga turut mati lampu?
Jika kakek sudah komplain, seperti biasa, hanya dua jawaban yang akan diberikan oleh PLN. Kalau tidak permohonan maaf karena PLN kekurangan kekuatan listrik untuk menerangi seluruh kota, ya estimasi kapan pemadaman berlangsung.
Meski sudah sering ditelpon, rumah kami tetap saja mati lampu dan ayah tak ada pilihan selain membeli genset agar elektronik dalam rumah bisa berumur panjang.
Mati lampu kemudian menjadi hal yang akrab dan biasa bagi saya. Sejak kepindahan keluarga saya ke Jambi pada medio 2000-an, hingga saya memutuskan merantau ke Bandung pada 2013, saya masih sering diserang dengan mati lampu.
Namun demikian, perbedaannya sangat terasa antara ketika saya di Bandung dan Jambi: jika di Bandung paling-paling mati lampu sekali dalam setahun, di Jambi ada bulan di mana memang khusus di dedikasikan untuk mati lampu.
Tak mutlak sebulan, jelas. Namun lantaran saking seringnya, Anda akan mafhum jika listrik mati seolah bukan lagi persoalan serius bagi warga Jambi. Koran-koran lokal bahkan pernah sampai berinisiatif untuk mengumumkan jadwal mati lampu agar warga kotanya berjaga-jaga.
Kendati sering diserang dengan argumen bahwa padamnya listrik membuat banyak usaha merugi, toh, tidak ada pilihan selain ikhlas pada akhirnya jika mati lampu sudah melanda.
Pernah ada anomali terjadi. Ada sebuah musim di mana musim mati lampu bisa tertunda.
Saat Ramadhan, misal, biasanya itu terjadi di saat sahur dan berbuka. Atau saat di mana televisi menayangkan perhelatan olahraga seperti sepak bola, bulu tangkis, hingga menonton Rossi di MotoGP. Tiga olahraga ini memang sangat ramai dan paling sering diadakan nonton bareng oleh berbagai bidang usaha kerakyatan.
Kadang mati lampu bisa tertunda penuh hingga tayangan olahraga selesai, kadang di setengah laga bisa terpotong.
Saya pernah mengalaminya pada saat menyaksikan final Liga Champions di Athena pada tahun 2007. Listrik rumah padam setelah gol Inzaghi di menit ’45, dan kakek saya terus mengganggu saya karena Milan saat itu menang. Yang lucu: kendati memiliki genset, kami sama-sama tak mengerti bagaimana cara menyalakannya. Bedebah.
Kami kemudian memutuskan agar membaca koran saja untuk mengetahui siapa yang menang dalam pertandingan tersebut.
Saya langsung tidur sambil berdoa agar kejadian seperti final di Istanbul tahun 2005 silam, di mana Liverpool secara ajaib bisa berbalik mengalahkan Milan dan bahkan membawa trofi Liga Champions, bisa terjadi. Meski, ya, saya sudah punya firasat akan kalah.
Dan hal tersebut terbukti pada akhirnya: kekalahan Liverpool 1-2 dari Milan menjadi headline koran lokal hari itu.
Pengalaman lain yakni ketika mendengar kabar listrik mati di Kota Jambi setelah Valentino Rossi jatuh di sirkuit Motegi, Jepang. Ada dua hal yang bisa saya petik dari momentum ini.
Pertama, betapa mati lampu sesungguhnya adalah ujian serius dari Tuhan kepada umat-Nya. Kedua, disadari atau tidak, mati lampu menyelamatkan orang-orang Jambi dari kecewa yang berat karena idola seluruh kota seperti Rossi harus dipecundangi musuh bebuyutannya, Marc Marquez.
Saya kira, sesungguhnya mati lampu adalah paksaan dari Tuhan agar kita bisa mengikhlaskan apa yang tidak pernah bisa kita ubah.