Upacara bendera adalah hal yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan saya. Maksudnya, saya tidak pernah bisa selalu ngeles dari upacara bendera. Mulai dari SD sampai SMA, ngelesnya hanya bisa beberapa kali saja. Tapi setiap tahun, paling tidak saya pernah absen sebanyak 2 atau 3 kali. Jadi kalau dari SD sampai SMA bisa dihitung berapa kali saya tidak ikut upacara bendera. Nggak usah ambil kalkulator, cukup dibayangin saja ya jumlahnya. 🙂
Tapi sampai saat ini, saya masih sering berpikir keras. Apa benar upacara bendera merupakan cara ampuh dan jitu untuk menanamkan nasionalisme? Maaf, jangan disambit ya. Selama mengikuti upacara bendera, saya tidak pernah merasakan kekhidmatan seperti yang diharapkan oleh bapak ibu guru. Format upacara bendera yang seperti itu bagi saya terlalu membosankan.
Tempat dan formatnya upacara selalu sama. Dari SD sampai SMA ya tetap begitu-begitu saja. Beda dengan format upacara bendera yang dilakukan dengan cara-cara yang unik. Coba lihat upacara bendera yang dilakukan di puncak gunung, di dasar laut dengan memakai baju seadanya atau pengibaran bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum pertandingan sepak bola. Saya yang lihat di televisi saja kadang sampai nangis terharu. Apalagi melihat upacara bendera di perbatasan dan sekolah-sekolah terpencil yang minim fasilitas. Duh, lihat fotonya saja saya sudah mewek nggak karuan. Dan rasa seperti itu, tidak pernah saya dapatkan ketika mengikuti upacara bendera di sekolah.
Meski upacara bendera adalah rutinitas yang membosankan, ada satu peristiwa yang tidak akan saya lupakan seumur hidup. Saya lupa tanggal berapa upacara itu berlangsung. Kalau tidak salah ingat, sewaktu saya duduk di kelas dua SMP. Kejadiannya bagini.
Senin adalah hari yang selalu saya tunggu. Bukan karena upacaranya, tapi karena setelahnya ada jam pelajaran olahraga. Bukan pula pelajaran olahraganya yang saya tunggu. Tapi jeda waktu untuk tidak bertemu dengan Bu Eny –Guru Matematika sekaligus wali kelas- yang killer-nya nggak nguati. Setidaknya sehabis upacara bendera tidak langsung pelajarannya Bu Eny, tapi rileks dulu dengan olahraga. Habis bosan upacara bendera langsung dapat efek kejut Matematika itu adalah hal yang sangat tidak menyehatkan.
Setiap olahraga, semua siswa dibebaskan memakai sepatu dengan warna dan model apa saja. Saya tentu gak mau kalah dong. Harus tampil seunik mungkin. Meskipun nantinya cuma dipakai buat lari-lari muter lapangan basket gak apa-apa. Yang penting sudah menjadi pusat perhatian. Jadi, setiap hari Senin saya membawa dua macam sepatu. Satu sepatu berwarna hitam polos datar dan tak menarik perhatian plus kaos kaki putih dan satu sepatu olahraga warna kuning ngejreng meriah dengan kaos kaki garis-garis kuning putih dengan ornamen tawon.
Setiap berangkat sekolah pas hari senin dari rumah tentu saja saya memakai sepatu yang kece dulu dong. Kalaupun harus ganti dengan sepatu yang ‘datar’ untuk upacara, setidaknya ketika menjejak gerbang sekolah harus keren dulu. Padahal ujung-ujungnya, pas upacara jadi nggak keren karena pakai sepatu yang ‘datar-datar’ saja. Tidak masalah ketika harus ribet ganti sepatu ketika bel upacara berbunyi.
Suatu hari, saya bangun terlambat pas hari senin. Tanpa mandi, terburu-buru berangkat, dan sialnya tiba di sekolah ketika upacara dimulai. Setelah melipir sana-sini dan membuat gaduh semua penghuni lapangan, sampailah saya ke barisan kelas. Barisan kelas saya ada di tengah lapangan, berhadapan dengan pembina upacara.
Bisa ditebak kejadian selanjutnya? Saat pidato pembina upacara, saya yang ada di barisan belakang diminta untuk maju di barisan paling depan. Semua mata memandang ke arah saya. Saya tetap cuek dan apa adanya. Tapi firasatku mengatakan pasti ada yang aneh dengan diriku, karena di barisan paduan suara banyak yang cekikikan. Saya menunduk saja, mencoba mengikuti alur upacara. Siapa tahu, dalam suasana seperti ini rasa khidmat itu akan muncul. Sedetik setelah itu, pecahlah gelasnya. Maksudnya pecahlah sudah misteri yang menjadi tanda tanya besar dengan cekikikan yang tadi sempat terjadi. Ternyata, saya masih memakai sepatu kebanggaan sewaktu hari senin. Ya, sepatu dengan warna yang ngejreng meriah dan kaos kaki yang tak kalah meriah di momen upacara bendera. Saking terkejutnya waktu itu, saya lupa membawa sepatu upacara.
Kisah sepatu upacara yang tertukar dengan sepatu olahraga ini tak akan pernah saya lupakan. Setidaknya, pernah mewarnai upacara bendera kala itu. Gara-gara sepatu yang tertukar ini pula, kekhidmatan upacara jadi terganggu.
Maafkan aku ya Indonesia. Sekalipun dalam upacara bendera di sekolah aku tidak pernah merasakan kekhidmatan dan pernah membuat onar, aku tetap cinta kamu. Meskipun sepatuku pernah tertukar ketika upacara bendera, dalam ingatanku benderamu tak akan pernah tertukar dengan bendera Polandia.