MOJOK.CO – UNY mengajarkan kebebasan. UAD mengajarkan ketertiban. Dan keduanya menguji kemampuan saya untuk bertahan sebagai manusia dewasa.
Kalau hidup akademik saya dibuat timeline, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) adalah masa muda yang liar. Sedangkan Universitas Ahmad Dahlan (UAD), adalah fase “tobat akademik” yang begitu tertib sampai saya curiga bakal diminta tanda tangan pakta integritas tiap masuk kelas.
Dua kampus ini tidak sedang berkompetisi. Mereka cuma tidak sengaja menjadikan saya “percobaan biologis” tentang bagaimana manusia bisa berubah karakter hanya karena ganti lingkungan.
Ada orang yang kuliah empat tahun, lulus, hidup bahagia. Lurus seperti penggaris. Tapi hidup saya tidak sesederhana itu.
Saya sempat jadi penghuni UNY lebih dari tujuh tahun, lalu pindah ke UAD lewat jalur RPL. Semacam jalur yang mengakui pengalaman hidup saya lebih valid daripada transkrip nilai saya yang carut-marut. Dua kampus itu akhirnya membentuk saya seperti uji coba laboratorium. Satu membuat saya liar, satu membuat saya tertib. Dan hingga hari ini saya masih bingung mana yang lebih “manusiawi”.
UNY: ekosistem seni yang bebas, berisik, dan indahnya tidak masuk akal
Saya kuliah di UNY, tepatnya di Fakultas Bahasa Seni dan Budaya namun demi menjaga marwah emosional kami menyebutnya tetap FBS. Dan percaya sama saya kalau FBS itu bukan sekadar fakultas, tapi bioma. Iklimnya beda dengan kampus. Ekosistem dan logika hidupnya apalagi.
Di FBS, kebebasan terjemahkan dalam sesuatu yang sangat bebas. Mahasiswa pakai kaos oblong? Biasa. Sandal jepit? Standar. Rambut gondrong? Identitas. Rokok di tangan? Networking. Ada yang bilang seni membebaskan manusia. Di FBS, seni tidak cuma membebaskan tapi mengizinkan kamu lepas kontrol.
Dan kehidupan kampusnya? Astaga. Setiap minggu ada pementasan. Teater. Musik. Pameran seni rupa. Pameran kriya. Pagelaran tari. Bahkan jathilan. Kalau fakultas lain sibuk mengurus PKM dan seminar motivasi, anak FBS sibuk menentukan naskah mana yang paling “mengguncang eksistensi”.
Kalau mau jujur, FBS itu mirip kampung seniman yang kebetulan diberi izin negara untuk meminjam bangunan beton.
Tapi kebebasan tidak datang tanpa harga. UNY, khususnya FBS, punya kultur yang secara emosional membuatmu harus mandiri tanpa perlu ditanya siap atau tidak. Di luar panggung teater dan dentuman musik, birokrasi UNY itu seperti film art-house gelap yang penuh simbol dan kamu dipaksa menafsirkannya sendiri.
Saya pernah hampir tamat dan mendapati diri saya tidak dicari siapa pun. Tidak ada dosen yang bertanya, “Kamu baik-baik saja?” atau “Skripsi kamu sampai mana?”. Bukan karena mereka jahat tapi karena kultur kami menganggap mahasiswa adalah makhluk otonom yang harus bisa bertahan hidup sendiri seperti semut rangrang.
Sayangnya, saya bukan semut rangrang. Saya lebih mirip kucing liar yang butuh dipanggil dulu baru mau makan.
UNY membersarkan saya. Tapi UNY juga membiarkan saya hanyut di lautan kebebasan yang indah sekaligus menyakitkan.
UAD: peradaban akademik yang rapi, tertib, dan secara mengejutkan… peduli
Masuk UAD lewat jalur RPL seperti dilempar dari festival seni ke seminar manajemen risiko. UAD sangat berbeda.
Di UAD, mahasiswa berpakaian rapi. Berkemeja. Rambut harus tertata. Tidak ada aroma rokok. Tidak ada kerumunan random yang memainkan gitar pukul 10 pagi. Apalagi pameran seni jalanan tiba-tiba. Kegaduhan kreatif? Nihil.
Kalau UNY itu anak kos seniman, UAD adalah pegawai BUMN yang bangun pagi, mandi air hangat, dan sarapan roti gandum.
Lingkungan kampusnya tenang, modern, higienis, dan seperti dirancang untuk mengoptimalkan nilai akademik mahasiswa, bukan adrenalin mereka. Di sini, kegiatan budaya tidak menjadi denyut jantung kampus, kegiatan akademik yang menjadi pusat orbit.
Dan hal paling mengejutkan buat saya bahwa birokrasi UAD sangat manusiawi. Saya masuk RPL dibimbing tahap demi tahap. Ditanya kendala. Dijelaskan prosedur.
Dosen-dosennya memberi perhatian yang sama tulusnya seperti bapak saya kalau melihat hidup saya mulai melantur. Saya sampai bingung ini kampus atau layanan pelanggan premium?
Tapi tentu saja, ada hal yang harus saya adaptasi. UAD sangat islami. Sangat tertib dalam urusan ibadah.
Menjelang azan, speaker kampus memanggil seluruh kelas. Kuliah berhenti sejenak. Ritme belajar terinterupsi sedikit, tapi itu bagian dari kultur kampus.
UNY mengajarkan kebebasan. UAD mengajarkan ketertiban. Dan keduanya menguji kemampuan saya untuk bertahan sebagai manusia dewasa.
UNY vs UAD: dua kultur akademik yang tidak bisa dibenturkan, tapi bisa dijelaskan
UNY, terutama FBS, menghasilkan mahasiswa dengan karakter spontan, berani berekspresi, sedikit berantakan, sangat kreatif, dan tidak pernah kekurangan topik untuk diperdebatkan.
Mereka hidup dengan ritme “asal ada gagasan, hidup lanjut”. Mereka tidak takut gagal, tapi sering lupa administrasi. Mereka tidak takut tampil, tapi sering lupa absen. Saya salah satu dari mereka.
Mahasiswa UAD, setidaknya dalam pengamatan saya, punya ciri stabil, rapi, menjaga etika, disiplin, dan bisa memproduksi PowerPoint yang bersih tanpa diminta. Mereka seperti staf administrasi profesional yang dilatih sejak semester satu.
Mahasiswa FBS UNY ibarat seniman yang memakai peta sebagai alas minum kopi. Mahasiswa UAD ibarat pegawai kantor yang bisa membuat peta cadangan kalau peta asli kebakar.
Keduanya dibutuhkan dunia. Satu menciptakan konser, satu mengurus izin panggungnya.
Kultur dosen: Sutradara vs administrator
Dosen-dosen UNY, terutama FBS, sering berperan seperti sutradara teater. Mengajar pakai metafora, membuka diskusi dengan pertanyaan eksistensial, menyebut sastra sebagai “perjuangan rohani”.
Sedangkan dosen UAD seperti administrator akademik yang sistematis. Mereka rapi, mendidik dengan lembut, tapi tegas di struktur.
Bedanya sederhana. UNY memukul dari depan “Ayo berpikir lebih liar!” UAD memukul dari belakang “Ayo rapi sedikit, Nak!”
Birokrasi: Kabut vs cahaya LED
UNY itu birokrasi berkabut. UAD itu birokrasi lampu LED. UNY memberi ruang besar untuk merdeka, tapi tidak selalu memegang tanganmu. UAD memberi panduan jelas sampai kamu kadang merasa dimanja secara administratif.
Dan jujur saja, setelah pernah hidup di dua kutub birokrasi yang ekstrem ini, saya sadar bahwa kadang saya butuh chaos UNY, kadang saya butuh ketertiban UAD. Sayangnya tubuh saya tidak dibekali sistem operasi untuk menerima keduanya sekaligus tanpa pening.
Mungkin bukan dua kampus itu. Mungkin tetap saya
Saya pahami sesuatu. Mungkin UNY bukan terlalu bebas. Mungkin UAD bukan terlalu tertib. Mungkin saya saja yang terlalu gampang hanyut.
Saya menikmati panggung UNY, tapi saya juga menikmati perhatian dosen UAD. Saya mencintai kebebasan, tapi saya juga butuh ditegur. Saya merasa hidup di UNY, tapi saya merasa dibimbing di UAD.
Dan kesimpulannya sederhana. Dua kampus terbaik di Jogja menurut saya pribadi ini tidak sedang saya bandingkan. Dua kampus ini sedang saya jadikan peta untuk memahami hidup saya sendiri.
UNY membesarkan saya sebagai manusia liar. UAD menyetrap saya sebagai manusia yang perlu disiplin. Dan keduanya memaksa saya tumbuh, dan mungkin caranya saja yang berbeda
Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Alasan Saya Masuk dan Betah Kuliah di UNY hingga S2 dari Awalnya Asal Pilih Saja dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.












