Kampus yang strategis
Berhubung tidak terpusat menjadi satu wilayah, Universitas Mercu Buana Yogyakarta saat ini memiliki 3 bangunan kampus. Kampus 1 ada di Jalan Wates, Kampus 2 ada di dekat “mantan” jembatan merah Gejayan, dan yang ke-3 ada di Condongcatur, seberang Polsek Depok Timur. Saya sendiri, karena masuk Ilmu Komunikasi, kuliahnya di Kampus 3.
Letak kampus saya ini sangat strategis. Wilayahnya saja ada di bagian “SCBD”. Mau nyari apa dan kapan saja, sangat bisa dan mudah. Tapi, walau letaknya strategis, saya sebagai alumni cukup prihatin dengan beragam fasilitas yang ada. Kampus ini saya nilai tidak memberikan pelayanan secara baik dari segi infrastruktur kepada mahasiswanya.
Ruang kelas yang berubah jadi ruang penyiksaan
Saya akan memberi bukti di mana Universitas Mercu Buana Yogyakarta, khususnya di Kampus 3, tidak memberikan fasilitas yang memadai. Yang paling utama adalah kampus ini saya kira terlalu banyak menerima mahasiswa. Jadi, saat kuliah berlangsung, tidak berjalan secara efektif.
Saya merasakan sendiri “siksaan” ini. Jadi, sebelum kelas mulai, mahasiswa yang akan masuk, harus antre di luar kelas. Saking banyaknya mahasiswa yang mau masuk kelas, antreannya jadi terasa sangat crowded.
Menunggu mah wajar. Tapi, yang jadi soal adalah kampus tidak segera merespons atrean ini dengan menyediakan bangki-kursi yang layak. Walhasil, ya kami ngemper di lorong-lorong kelas.
Lalu, ruang kelas Universitas Mercu Buana Yogyakarta ini jauh dari kata ideal. Lantaran terlalu banyak menerima mahasiswa, di dalam satu kelas, bisa ada 80 manusia, bahkan lebih. Kamu bisa membayangkan “siksaan” mahasiswa yang sudah membayar dan ingin menyerap pendidikan secara maksimal. Yah, gimana bisa maksimal, kalau kuliah saja nggak nyaman.
Saya semakin prihatin ketika belum lama ini saya datang lagi ke Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Jadi, saya ke sana lagi untuk legalisir ijazah. Beberapa adik tingkat bercerita bahwa pernah suatu kelas harus menampung 100 mahasiswa. Gila bener.
Jadi, pembaca bisa membayangkan sendiri. Bagaimana mahasiswa bisa memahami materi dari dosen kalau kuliah dengan suasana seperti di tengah pasar. Ruang kelas yang seharusnya efektif sebagai ruang belajar, malah jadi seperti ruang siksaan.
Saya pikir, 30 mahasiswa dalam satu kelas itu sudah cukup banyak. Lha ini kok bisa sampai 100 manusia? Kasihan dosennya juga yang ngajar orang sebanyak itu.
Birokrat Universitas Mercu Buana Yogyakarta tidak berpihak pada organisasi mahasiswa
Setelah ruang kelas yang seperti berubah menjadi ruang siksaan, mari bergeser ke isu lain. Jadi, menurut saya, kampus belum sadar akan pentingnya fasilitas ini. Nah, fasilitas yang saya maksud adalah sekretariat organisasi mahasiswa.
Iya, kampus 3 Universitas Mercu Buana Yogyakarta belum memiliki ruang sekretariat bagi organisasi mahasiswa. Apakah kamu heran atau geli ketika membaca fakta ini? Ya maaf, tapi faktanya memang begitu.
Bayangkan, suatu kampus tidak memberikan tempat bagi mahasiswanya untuk belajar di dalam organisasi. Oleh sebab itu, saya jadi maklum kalau tidak banyak organisasi yang tumbuh di Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
Lha wong ruang sekretariatnya saja tidak ada. Bahkan untuk organisasi yang sudah ada, kampus kerap pelit dalam memberikan “uang kegiatan” untuk organisasi.
Mohon maaf jika saya tidak bisa cerita sampai detail soal ini. Dulu, saya pernah membandingkan uang organisasi untuk organisasi di Universitas Mercu Buana Yogyakarta dengan organisasi yang ada di kampus lain. Misalnya di UIN, UNY, apalagi Atma Jaya.
Sudah pasti, organisasi di Mercu Buana mendapatkan uang yang jauh lebih kecil. Jadi ya wajar kalau kegiatan mahasiswa kerap tidak berkembang karena tidak mendapatkan dukungan berupa sumber pendanaan yang cukup.
Fasilitas yang memprihatinkan di kampus 3
Sudah ada 2 isu yang kita bahas. Mari bergeser ke isu ketiga, yaitu kenyamanan mahasiswa.
Jadi, salah satu fasilitas yang cukup memprihatinkan di kampus 3 Universitas Mercu Buana Yogyakarta adalah soal kantin. Jadi, di kampus 3 ini hanya ada 1 kantin. Sudah begitu, mereka tidak menjual makanan berat, tapi cuma snack dan minuman.
Belum lagi di sekitaran kantin dan wilayah kampus tidak ada tempat duduk yang layak. Ada sih tempat duduk, tapi hanya beberapa saja. Itu saja belum lama ini kampus menyediakannya.
Seingat saya, kampus akhirnya mau menyediakan tempat duduk berkat kritikan pers mahasiswa. Mereka sempat menulis tentang tidak adanya tempat duduk di kampus 3. Makanya, kampus mungkin sadar diri untuk menyediakan tempat duduk. Tapi hingga saat ini, tempat duduk di Kampus 3 masih sangat kurang.
Lalu, bagaimana dengan mahasiswa yang ada di kampus? Kalau tidak kebagian kursi ya mereka ngemper. Entah itu di “kursi tribun” yang ada di teater atau lesehan di sembarang tempat.
Selain bangku, kampus 3 juga tidak punya lift atau eskalator. Padahal, kampus 3 itu ada beberapa lantai. Jadi kamu bisa membayangkan betapa capeknya mahasiswa yang harus naik tangga dari lantai 1 ke lantai paling atas ketika ada keperluan kuliah.
Mahasiswa Universitas Mercu Buana Yogyakarta jadi tidak betah di kampus
Salah satu isu yang bisa membuat semua mahasiswa di Universitas Mercu Buana Yogyakarta sepakat adalah soal jarak. Begini, seperti yang saya singgung di awal, Kampus 1 ada di Jalan Wates, sementara kampus 3 di Condongcatur.
Masalahnya, 2 kampus itu jaraknya jauh sekali. Kira-kira 20 kilometer lebih. Padahal, kadang ada keperluan mahasiswa yang hanya bisa diselesaikan di kampus 1.
Nah, ada 1 hal yang menurut saya sangat miris. Jadi, saya mendengar kalau mahasiswa di kampus 1 dan 2 merasa iri dengan kampus 3. Katanya, kampus 3 punya lebih banyak fasilitas.
Waduh, kalau kampus 3 saja sudah sedemikian memprihatinkan, seperti apa nasib kuliah di kampus 1 dan 2? Duh, Universitas Mercu Buana Yogyakarta, mari berbenah.
Satu hal yang pasti, mahasiswa jadi tidak betah berlama-lama di kampus. Banyak di antara mahasiswa yang pada akhirnya lebih memilih langsung pulang, ke coffee shop untuk nugas, atau nongkrong di kedai lainnya. Akhirnya, tidak ada keterikatan antara kampus dan mahasiswanya.
Kuliah habis puluhan juta
Sampai sini, mungkin ada banyak dari pembaca yang memandang saya kurang bersyukur sudah jadi alumni Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Saya pribadi tidak bermaksud mencari-cari kesalahan kampus. Bukan begitu ya.
Jadi, menurut saya, fasilitas yang didapat kawan-kawan mahasiswa belum sebanding dengan uang kuliah yang mereka keluarkan. Seperti kampus-kampus lain, kuliah di Universitas Mercu Buana Yogyakarta itu tidak murah.
Khususnya bagi mahasiswa yang serba pas-pasan. Mereka sudah menghabiskan biaya sampai puluhan juta rupiah.
Saya buka-bukaan saja. Kemarin saya sempat membuat rekap biaya kuliah di Mercu. Hingga semester 9, angkanya nyaris menyentuh Rp50 juta. Soal nominal, jumlahnya bisa berbeda untuk keuangan masing-masing. Namun, bagi saya, Rp50 juta itu angka yang besar.
Dan, Rp50 juta itu untuk Ilmu Komunikasi ya. Beda jurusan, mungkin, bisa beda biaya. Sudah begitu. biaya di atas belum termasuk uang kos, makan, dan lain-lain. Sekali lagi murni biaya yang mesti dikeluarkan saat mengenyam pendidikan di Mercu.
Oleh sebab itu, saya merasa seharusnya kampus bisa memberi lebih untuk mahasiswanya. Saya bilang begini karena setelah 3 tahun meninggal kampus, ternyata tidak ada perkembangan yang signifikan.
Sejak saya masuk di 2019, hingga saat ini 2025, kampus 3 Universitas Mercu Buana Yogyakarta tidak banyak perubahan. Alias sudah 5 tahun tapi kampus ini tidak juga semakin modern dan maju dari segi pembangunan.
Semua alumni pasti mencintai Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Namun, cinta yang jernih adalah cinta yang berani mengkritik. Dengan begitu, kampus dan mahasiswa bisa berkembang bersama. Bukankah itu salah satu tujuan sekolah nggak gratis? Eh….
Penulis: Khoirul Atfifudin
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 10 Perguruan Tinggi Swasta Terbaik di Yogyakarta yang Bisa Jadi Pilihan dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












