Kalau ada yang menarik dari pilkada Jakarta, itu adalah soal marbut. Bukan karena belakangan banyak gerakan yang digalang di masjid yang pasti melibatkan kerja para marbut, tapi adanya janji untuk mengumrahkan mereka.
Jarang-jarang marbut disebut dalam kampanye. Umumnya materi kampanye didominasi oleh omong besar tentang pendidikan gratis, kesehatan murah, penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, layanan transportasi, pembangunan fasilitas-fasilitas publik, perumahan murah, dan soal-soal agung lainnya. Marbut jelas tidak masuk kategori. Bahkan Deddy “Bang Jack” Mizwar yang lama menjadi marbut di sinetron Para Pencari Tuhan tidak menyinggungnya.
Sebagai lakon sinetron, marbut mungkin menarik, tapi tidak sebagai bahan kampanye. Marbut hanyalah para pekerja di bagian belakang. Tugas mereka memastikan bahwa pasokan air untuk kebutuhan jemaah cukup, kamar mandi tidak pesing, lampu-lampu menyala, mikrofon tidak macet, kipas angin atau AC bekerja dengan baik, karpet tidak bau, atau lantai dan halaman masjid tetap kinclong. Mereka harus datang paling awal dan pulang paling akhir. Tapi, marbut bukan posisi yang bisa diandalkan untuk mendulang suara.
Bisa dimaklumi jika tidak ada pasangan calon bupati, gubernur, atau presiden berikut para jurkamnya yang mempertimbangkan keberadaan mereka dalam kampanye-kampanye. Karena itu, janji Ahok akan memberangkatkan para marbut ke Tanah Suci jika kelak ia terpilih lagi terdengar menarik dan jelas menjadi kabar gembira bagi marbut. Soal hitung-hitungan biaya atau kecurigaan ihwal asal-usul dana yang akan digunakannya, biar dipikirkan oleh yang berwenang. Pada periode sebelumnya Ahok sudah membuktikan bahwa ia tidak cuma membual. Ke depan rencananya, ia akan memberangkatkan 3.000 marbut lagi secara berkala.
Bahwa umrah menjadi politis bukan mainan baru. Sejak masa Raffles atau Daendels, perjalanan ibadah ke Mekkah sudah dikaitkan dengan politik. Keduanya menyebut perjalanan tersebut sebagai bahaya politik. Dalam The History of Java, secara lugas Raffles mencatat bahwa setiap orang yang kembali dari ibadah haji berlagak menjadi orang suci dan masyarakat awam akan menempelinya dengan kekuatan-kekuatan gaib. Mereka akan sangat dihormati sehingga tidak sulit bagi mereka untuk menghasut rakyat untuk melakukan pemberontakan.
Situasi kini sudah berubah. “Para “pendeta Islam”—”—demikian Raffles menyebut para jemaah—bukan lagi merupakan golongan paling aktif dalam setiap peristiwa pemberontakan seperti pada masa itu. Umrah telah menjadi ritual biasa, privat, dan komoditas yang laris manis. Lihatlah di pinggir-pinggir jalan. Iklan-iklan yang mempromosikan perjalanan ziarah ke Tanah Suci ini menjamur. Biro-biro menyewa baliho berukuran raksasa. Mereka menawarkan beragam paket dan bersaing memberikan fasilitas terbaik: pesawat, hotel, tempat landing, dan tak ketinggalan nama ustad yang memandu. Dan pendaftarnya tak pernah sepi.
Namun, sikap masyarakat kita terhadap orang yang pulang dari ibadah di Mekkah tampaknya tidak banyak berubah. Politisi kita memahaminya. Mereka lalu memodifikasi umrah untuk mengerek gengsi, membangun imej, atau menarik simpati. Janji Ahok bisa jadi juga merupakan strategi politik untuk merebut dukungan dari kalangan muslim. Tapi, pilihannya pada marbut, sebuah kelompok yang statusnya bahkan tidak keren untuk ditulis dalam KTP atau sekadar disebut dalam perkenalan dengan cewek atau calon mertua, tetap menarik.
Ahok menyebut programnya ini sebagai bentuk apresiasi kepada para pelayan masjid. Ia mengakui bahwa pencapaiannya tak lepas dari doa banyak orang. Mungkin Ahok juga tahu bahwa bagi sebagian besar marbut, umrah adalah impian yang mahal.
Marbut bukan profesi yang menjanjikan. Sekalipun untuk mendaftar tidak harus ada persyaratan rumit seperti menyertakan surat kelakuan baik dari kepolisian, SKCK, atau melewati serangkaian tes psikologi, tidak pernah ada berita tentang antrean panjang pelamar marbut. Fakta itu pula agaknya yang menjelaskan mengapa meski banyak buku panduan lulus tes masuk PNS, Polri, atau BUMN, tak ada penerbit yang cukup gila untuk membuat buku sejenis agar diterima sebagai marbut.
Kalau marbut-marbut di Jakarta kelak jadi berangkat umrah, barangkali itu berkah pilkada. Anggap saja seperti hadiah bagi pemenang lomba tertentu, doorprize bagi nasabah yang beruntung, iming-iming sebuah produk, atau bonus bagi karyawan berprestasi. Tapi, soal umrah atau haji saya selalu ingat cerita tentang K.H. Bisri Musthofa, ayahanda dari KH. Ahmad Musthofa Bisri (Gus Mus) yang saya dengar waktu ikut acara melepas keberangkatan seorang calon jemaah haji.
Mbah Bisri, kata penceramah tersebut, suatu saat pernah diminta oleh seorang kepala desa dari daerahnya untuk memandunya menunaikan ibadah haji. Mereka lalu berangkat bersama. Pelaksanaaan manasik-manasik berjalan lancar, sampai kemudian tiba acara bebas. Para peserta rombongan memanfaatkan waktu dengan berfoto ria. Layaknya para wisudawan yang berpose di depan lukisan buku-buku tebal, para rombongan haji berpose naik unta dengan latar belakang padang pasir yang akan dijadikan oleh-oleh penting sepulang haji.
Semua anggota rombongan Pak Lurah sudah diambil fotonya, kecuali Pak Lurah sendiri. Gara-garanya unta yang akan dinaikinya ngambek. Unta itu menolak jongkok agar Pak Lurah bisa naik ke punggungnya lalu berdiri untuk diambil fotonya, seperti yang dengan patuh dilakukannya kepada anggota lain. Bujuk rayu dari pemandu sia-sia. Bahkan ketika Pak Lurah memaksakan diri untuk naik ke punggungnya, si unta tersinggung dan menyepaknya. Pak Lurah meringis dan kecewa, si pemandu menyerah. Kejadian ganjil tersebut segera sampai ke telinga Mbah Bisri.
Kepada Pak Lurah, Mbah Bisri meminta agar ia membaca banyak istigfar lalu menata kembali niatnya. Pak Lurah menurut. Lalu kejadian aneh kembali terjadi, unta mendatangi Pak Lurah dan menyediakan punggungnya untuk dinaiki. Sesi pemotretan pun terlaksana tanpa kendala.
Untunglah, saat ini acara foto naik onta sudah tidak lagi jadi pilihan favorit para jamaah haji dan umrah. Mereka punya banyak alternatif yang relatif lebih aman dan tak kalah berwibawa semisal berfoto memberi makan merpati liar, atau berfoto berlagak menjadi mandor kebun kurma.