MOJOK.CO – Pemerintah coba jadi mak comblang antara UMKM lokal dengan konsumen pasar global lewat Gernas BBI, Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia.
Salah satu tugas utama pemerintah adalah menemukan potensi masalah yang bisa berdampak runyam terhadap masyarakat luas kalau dibiarkan. Dan untuk tugas ini, pemerintah Indonesia patut diacungi semua jempol yang kita punya.
Oh, ini betulan bukan sarkasme. Contohnya ada beberapa.
Pertama, jauh sebelum media sosial menjadi arena baku hantam antar-penggunanya, pemerintah sadar bahwa internet bakal mengancam mengancam kebebasan individu. Kedua, pendidikan berbasis digital cuma menjadi omong kosong belaka kalau kelengkapan infrastruktur dasarnya tidak dipenuhi, dan pemerintah menyadari hal ini.
Urusan menemukan potensi masalah, pemerintah memang jago banget. Yang menjadi persoalan pemerintah sejak dulu adalah menentukan solusi.
UU ITE, yang semestinya menjamin kebebasan seseorang di internet, malah menjadi sarana paling gampang buat seseorang yang ingin mencicipi pengalaman bermukim di penjara. Kalau nggak percaya, cobalah bikin kritikan di sembarang medsos yang menyasar pemerintah (semakin telak kritiknya, semakin bahaya pula), atau korporasi nasional, atau common sense masyarakat. Lihat nanti hasilnya.
Pendidikan berbasis digital pun begitu. Tahu bahwa sebagian besar pelajar belum punya barang wajib bernama laptop, pemerintah berencana membagikan laptop gratis kepada para pelajar. Laptop berbasis Chrome OS; yang cuma bisa dipakai kalau nyambung ke internet. Ingat ya, pembagian laptop ini terjadi di negara dengan infrastruktur internet yang mengharukan.
Kecenderungan khas model begini kembali muncul ketika pemerintah menyadari bahwa produk UMKM dalam negeri kalah bersaing melulu dengan produk impor, terutama ketika nyemplung di pasar online. Pada rentang harga yang sama, nggak tahu kenapa, produk impor seringnya menawarkan mutu yang lebih baik ketimbang produk lokal.
Penemuan potensi masalah itulah yang mendasari keputusan pemerintah buat bikin program bernama Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) pada bulan September lalu.
Diketuai Pak Luhut—mau siapa lagi, coba?—Gernas BBI punya dua tujuan besar: memperbaiki daya saing produk UMKM lokal sehingga konsumen emoh sama produk impor lagi, dan mendorong sebanyak-banyaknya pelaku UMKM ke ekosistem digital.
Dalam ungkapan lain, Gernas BBI bertindak seperti mak comblang antara konsumen dan produk UMKM lokal. Dan harus saya katakan bahwa Gernas BBI benar-benar berusaha menjadi mak comblang yang baik.
Saya mengikuti pelatihan kewirausahaan yang diadakan oleh Gernas BBI. Pelatihan intensif selama berbulan-bulan ini mengajarkan banyak hal: manajemen produksi, manajemen distribusi, optimalisasi media sosial dan platform belanja daring, hingga tata cara membuat iklan.
Pendeknya, setelah rampung pelatihan nanti, peserta diharap tidak lagi membuat produk serupa lelucon yang dipasarkan dengan template, “Yuk diorder barang bagusnya, Kakak!”
Pelatihan semacam ini jelas langkah terpuji dari pemerintah. Tapi, semakin ke sini, saya semakin percaya kalau solusi yang pemerintah targetkan malah bakal berujung blunder. Barangkali, pemerintah tidak benar-benar tahu apa yang menjadi akar masalah sektor UMKM lokal.
Selama ini konsumen kepincut sama produk impor bukan hanya karena mutunya yang baik, bukan pula karena jiwanya kurang patriotik, melainkan karena harganya yang murah.
Ambil contoh produk sepatu kulit. Harga sepatu kulit sapi produsen lokal dipatok rata-rata lima ratus ribu rupiah, sementara produsen impor berani memasang harga paling mahal sekitar tiga ratus ribu rupiah.
Kalau harga produk masih belum berhasil menggaet konsumen, pikirkanlah ongkos kirimnya. Anda yang bermukim di Jawa dan memesan sepatu kulit impor dari Cina bakal membayar ongkir tidak lebih dari sepuluh ribu rupiah. Bandingkanlah dengan ongkir yang mesti Anda bayar kalau membeli sepatu kulit dari produsen lokal yang berlokasi di pulau Jawa juga—bayar sepuluh ribu udah pengen sujud syukur aja.
Kalau ditotal, ongkos yang mesti Anda keluarkan untuk membeli barang impor jauh lebih murah ketimbang produk lokal, dan pertanyaan yang muncul kemudian adalah ini: kenapa bisa begitu?
Pekerjaan sampingan saya adalah admin medsos sebuah produsen sepatu lokal, dan sedikit-banyak saya tahu alur produksinya. Untuk mendatangkan kulit sapi siap olah ke pabrik kami di Ngawi, mula-mula si bos mesti menghubungi penyamak kulit yang berlokasi di.. Magetan dan Batang. Belum ada sentra penyamak kulit di Ngawi yang bisa menyuplai produknya secara konsisten.
Dan dari mana sapi-sapi yang disamak itu berasal? Oh, dari mana saja. Penyamak kulit di Magetan biasanya mendapatkan sapi dari Blora, yang merupakan salah satu sentra peternakan sapi di pulau Jawa. Kalau penyamak kulit di Batang biasanya memperoleh sapi dari wilayah Brebes.
Untuk sampai ke atas mesin jahit kami, kulit sapi itu menempuh jarak yang lebih jauh ketimbang peserta Tour de France paling gigih sekalipun. Hal ini tentu saja berdampak pada besarnya biaya logistik.
Soal beginian, Pemerintah Cina sadar sejak lama bahwa biaya logistik bahan baku yang tinggi bakal menyulitkan ambisi mereka untuk menjadi pemimpin industri manufaktur dunia. Oleh karena itu, mereka mengumpulkan para pelaku industri di suatu wilayah berdasarkan kesamaan produk.
Kota Dongguan, contohnya, khusus buat para pelaku industri mebel. Shenzen dipilih sebagai sentra industri elektronik. Dan Jinan adalah tempat berkumpulnya para pelaku industri kulit.
Pengelompokan produsen di suatu wilayah semacam itu berujung pada efisiensi biaya produksi, yang ujung-ujungnya berdampak pada harga produk. Di sisi lain, pemerintah Cina memberi banyak insentif kepada produsen yang berorientasi ekspor: ngasih potongan PPN, lah; ngasih subsidi ongkir, lah; sampai ke tindakan ekstrem seperti sengaja mendevaluasi mata uangnya sendiri.
Singkatnya, Pemerintah Cina punya segala yang dibutuhkan untuk menjadi penguasa industri: visi besar, roadmap jelas, infrastruktur lengkap, dan keberanian untuk melakukan cara apa pun demi mewujudkannya.
Saya tidak berkata bahwa Gernas BBI adalah program mubazir. Mau tidak mau, UMKM lokal memang harus nyemplung ke dunia digital, bahkan andai itu hanya sebagai opsi kedua. Pelatihan kewirausahaan dari Gernas BBI yang saya ikuti juga sangat bermanfaat; kenyataannya, tidak sedikit pelaku usaha mikro yang bahkan belum tahu cara mengemas produknya dengan baik dan benar.
Saya juga tidak berkata bahwa penetrasi produk impor akan membuat semua pelaku UMKM lokal berakhir di kelas pelajaran sejarah dengan guru yang menggeleng sedih sambil bilang, “Dulu, dulu sekali, nenek moyang kita adalah seorang pedagang, Anak-anak.”
Ada banyak sektor UMKM yang relatif tak terdampak serbuan produk impor. Industri makanan ringan dan oleh-oleh, contohnya, atau angkringan sekaligus warung kopi. Sulit juga membayangkan orang berpaspor Shanghai mendorong gerobak mi ayam kelewat murah keluar-masuk gang.
Yang ingin saya tekankan adalah bahwa upaya digitalisasi sebanyak mungkin pelaku UMKM—target 30 juta pelaku sampai tahun 2023, menurut Pak Luhut—tanpa proteksi yang mumpuni dan ekosistem industri yang matang adalah tindakan gegabah.
Pasar online yang meniadakan batas geografis diisi oleh konsumen penuntut dan produsen lintas negara; Anda tak bisa menjadikan patriotisme sebagai satu-satunya amunisi.
Maka, Gernas BBI perlu menyadari bahwa UMKM lokal masih perlu menyusu ibunya; berilah pendidikan dan lingkungan yang suportif, dan tunggulah hingga mereka cukup matang untuk berjalan sendiri ke agen biro jodoh.
Toh mau bagaimana juga, tidak ada orang lajang normal yang tertarik untuk mencintai 30 juta balita.
BACA JUGA Memahami Jerat Pikat Marketplace kayak Tokopedia, Bukalapak, atau Shopee dan tulisan Mita Idhatul Khumaidah lainnya.