MOJOK.CO – Namanya UIN Jakarta, kampus pusatnya di Ciputat, gedung pendidikannya di Depok. Ditambah ada aksi demo yang nggak puas dengan hasil Pemilu Mahasiswa. Komplit.
Sebelum ada trending #UINJakartaSedangTidakBaik2Saja, aing sebagai mahasiswa dari tanah Sunda yang kuliah di UIN Jakarta, sudah sejak jauh hari merasa kampus ini teh memang tidak baik-baik saja.
Nya atuh kumaha euy, ngarana weh UIN Jakarta, tapi ayana kok di Ciputat, di Kota Tangerang Selatan anu Wali Kotana cantik jelita. Aneh teu maneh, Cing?
Tapi baiklah, itu sebatas geografis, tak jadi masalah. Lambat laun waktu berjalan, setelah dua tahun menjadi mahasiswa kemudian lapuk menunggu waktu sarjana. Yang bikin heran, lama-lama kampus ini macam Ramayana saja.
Ya gimana, masuk kampus saja sekarang sudah pakai palang pintu parkir lengkap pakai tombol karcisnya dengan tarif setengah harga parkir di Gramedia. Beruntung saja tidak berlaku kelipatan. Wah kalau terjadi mampus deh uang jajan mahasiswa.
Selain itu UIN Jakarta juga melakukan pemekaran infrastruktur di mana-mana. Dua tahun lalu kampus aing sebagai pusat sastra dan humaniora mesti terkucilkan di Kelurahan Pisangan dari belantara fakultas lainnya. Tahun ini pun sama, bahkan lebih parah, dibuka kampus baru untuk beberapa jurusan anak-anak Tarbiyah di sekitar Sawangan, Depok.
Coba akan sampai sejauh mana nama “Jakarta” pada kampus kami diperluas hanya atas nama pembangunan gedung pendidikan? Kan pusing mereka kalau ditanya orang tua letak dan nama kampusnya ternyata beda daerah.
Namanya UIN Jakarta, kampus pusatnya di Ciputat Tangerang masuk Kabupaten Banten, gedung pendidikannya di Depok. Setdah. Udah kayak lego aja. Dijual terpisah.
Malam panjang di kampus UIN Jakarta juga kini kian tak terasa. Sudah ada penetapan jam malam di kampus kami. Acara kegiatan UKM kini terhambat. Apalagi buat kegiatan saresehan malam, sudah pasti tak ada juntrungnya. Kalau pun boleh, ya, pasti izinnya diperketat. Pintu masuk Doraemon kesayangan kami pun sudah mulai ditutup sejak selepas isya. Sudah tak ada lagi cerita malam ceria.
Ah, UIN Jakarta memang sedang tidak baik-baik saja.
Terakhir dan mungkin yang sedang ramai diperbincangkan, sudah beberapa hari ini UIN Jakarta sedang sibuk. Begitu pun hari-hari sebelumnya yang dipenuhi kegetolan mahasiswa konsolidasi suara di warung kopi.
Maklum, akarnya memang pemilu-pemilu juga. Ya, meski memang tarafnya masih di tingkat kampus. Tapi, ya, nggak jauh bedalah dengan tongkrongan konsolidasi Pilpres di luar sana. Ribut-ribut juga dari kerabat sampai saudara hanya gara-gara pilihan berbeda. Malah sampai adu tagar macam Cebong vs Kampret segala antar organisasi eksternal kampus.
Mungkin sudah dengar sedikit desas-desusnya, Pemilihan Umum Raya (Pemira) di tingkat kampus kali ini memang menggunakan sistem baru, menggunakan e-voting yang diberi nama Elmusyma dari pihak penyelenggara.
Ya calonnya sih masih berangkat dari organisasi eksternal kampus yang itu-itu saja, tak jauh tetap dari organ ekstra yang biasa berkontestasi dalam Pemira. Masih dominasi PMII, HMI dan sebagian partisipan dari KAMMI dan IMM.
Selasa sore menjelang magrib, hasil pemungutan suara melalui Elmusyma dibacakan oleh masing-masimg Koordinator KPPS, sebuah kelompok panitia penyelenggara Pemira. Waktu pemilihan dimulai sejak pukul 00:01 hingga berakhir pada pukul 16:00 WIC, Waktu Indonesia Ciputat.
Hasilnya memang lagi-lagi Dema Universitas kembali pada rangkulan Kanda dan Yunda HMI yang solid berkoalisi dengan IMM dan KAMMI tahun ini.
Namun yang menjadi kejutan dan membuat kemenangan Dema Universitas kian tak berarti adalah sahabat-sahabat PMII berhasil merebut tiga rumah besar dan satu panti yang biasa menjadi langganan HMI untuk bersimpuh dan berjumpa muka dan jiwa. Empat fakultas direngkuh begitu saja dari genggaman mereka di Tarbiyah, Syariah, Adab dan Psikologi.
Para kanda HMI ini lantas tak menerima meski berhasil menduduki kembali tahta Dema Universitas. Pasalnya 8 dari 12 fakultas di UIN Jakarta direbut lawannya dari Sahabat PMII. Seolah saja kemenangan rumah utama itu tak berasa saat gubuk-gubuk kecilnya dikuasai sang rival. Mereka kemudian menggalang masa dan melakukan aksi aliansi mahasiwa. Malam itu juga.
Sementara malamnya di ILC sedang ramai perbincangan OTT Romahurmuzy terkait jual beli jabatan di Kemenag. Terlebih hadir di sana Prof. Mahfud MD yang juga seorang kader HMI.
Menjelang penutup, Prof. Mahfud berpidato panjang lebar menegangkan suasana. Dari putaran kasus Romy ke korupsi, jual beli jabatan rektor seharga lima miliar, menyorotin Prof. Andi Faisal Bakti yang dua kali gagal dilantik, sampai ujungnya mengabarkan demonstrasi mahasiswa UIN Jakarta disampaikan di layar kaca.
Wah, makin keruh sudah suasana di Ciputat.
Esoknya, anak-anak HMI, oh maaf, maksudnya aliansi mahasiswa, kian berbondong-bondong menuju gedung rektorat. Mereka gaungkan kekecewaan pada hasil e-voting sebagai produksi kebijakan Prof. Amany sampai meminta kedatangan KPK untuk mengusut tuntas jual beli jabatan Rektor di UIN Jakarta.
Mereka bersumpah serapah, menumpahkan angkara murka berlarut, menuliskan tanda tangan sebagai bentuk dukungan bahkan hingga menulis dan melukiskan kelamin mereka di belakang banner penuh tinta kekecewaan.
Tidak berhenti di darat, di udara mereka lantas menyiapkan bahan untuk menyuarakan ketidakadilan. Ingin meniru atau mungkin mengalahkan gaungan buzzer Timses Pilppres 2019, mereka memilih mencurahkannya di Twitter dengan bermain tagar #UINsedangTidakBaik2Saja.
Seorang dosen yang telah diberhentikan dari kampus, bahkan turut menyerang kasus yang sama dan menganggap kericuhan Pemira ini berakar dari jual-beli jabatan Romy melalui Lukman Hakim Saifudin sebagai Menag yang berkongkalikong dengan dosen alumni PMII.
Sungguh memang akal sehat mahasiswa UIN Jakarta sedang tidak baik-baik saja. Mengapa ya mereka menyerukan seruan aksi penolakan itu tidak sejak jauh-jauh hari diputuskan e-voting kepada mahasiswa? Mengapa aksi penolakan hasil e-voting itu dicetuskan pasca-kekalahan mereka di beberapa fakultas? Bukan malah sebelumnya?
Tapi kita mesti tetap berbaik sangka, mungkin saja mereka ini mahasiswa yang tak biasa menelan pahitnya rasa kalah dalam berjuang. Masih bingung bagaimana cara menumpahkan getirnya patah harapan dalam politik tingkat kampus yang biasa mereka menangi. Mungkin saja ini sebuah proses penyesuaian diri. Sebuah adaptasi.
Tapi mengapa, sih, sedemikian ributnya mahasiswa berebut posisi jabatan di internal kampus?
Sebab organisasi intra kampus, memang sering disebut sebagai lumbung kaderisasi. Wadah di mana ajakan dan rangkulan bertemu mahasiswa baru mengikuti payung organisasi yang ada di belakang mereka. Jembatan di mana proses kaderisasi dilakukan cukup masif dan agitatif.
Maka seharusnya saat berkompetisi untuk saling berkolaborasi dalam kaderisasi barangkali yang mesti ditempa adalah kebesaran jiwa dalam diri. Penentuan pucuk kepemimpinan memang sebuah kompetisi di antara beragam kelompok yang saling percaya diri dan memiliki modal untuk unjuk gigi.
Namun kompetisi antara organisasi yang mendesak kaderisasi, tak bisa dipungkiri, kerap melupakan jalinan kolaborasi setelah pemilihan pemimpin itu diakhiri. Tidak jarang, kita sampai mengambil hati saat berada di posisi yang teralienasi, sementara ketika mendapati sebuah kemenangan, kita justru terlalu terlena dan berlebihan berbangga diri.
Nah, dari sekian keganjilan sampai nama UIN Jakarta bertengger di trending topik Twitter, kita memang harus mengakui bahwa #UINJakartatidakbaik2saja, dan hanya perasaan kita yang masih baik-baik saja, terutama untuk si doi. Eh.